“Konyol, kamu mencoba bunuh diri? Setelah bertengkar sama Bunda? Kamu anggap apa kami ini, hah? Kamu pikir kami akan baik-baik saja kalau kamu beneran mati?”
”Mbak Padma… tenang dulu, Mbak… ini di rumah sakit!” ucap Nana mencegah Padma makin mendekati ranjang Naya.
“Kalau kamu marah pada semua orang, tuntut orang-orang yang nyakitin kamu. Balaskan rasa sakitmu dan bikin mereka ngerasain sakit yang kamu rasakan. Jangan jadi menyedihkan dengan mengakhiri hidupmu. Pengecut sekali kamu, berpikir Nandi akan baik-baik saja kalau tahu ibunya meninggal bunuh diri? Anak sekecil itu harus mengalami penderitaan di saat dia sedang senang-senangnya menanjaki bakat dan minatnya?”
Kemarahan Padma makin tidak terbendung. Nana yang mendampingi bosnya dan menungguinya di rumah sakit mendapatkan tugas tambahan dengan menenangkan Padma.
Teja yang sedari tadi mendengarkan seruan Padma akhirnya berinisiatif menarik lengan putri sulungnya supaya pergi dari kamar Naya. Memastikan bahwa Naya yang belum lama ini siuman dan tatapan matanya kosong dan cuma bisa menatap ke luar jendela bisa beristirahat tenang.
“Pulang, Ma… jangan ganggu Naya, dia sedang istirahat…”
“Tapi, Bun—”
“Kamu pikir menghadapi Naya yang sudah depresi kata-kata marahmu bisa menjangkau jiwanya? Dia butuh ditemani, bukan kamu marahi!”
“Naya harus dengar yang sebenarnya. Dia harus tahu kalau tindakannya itu—”
“Nanti, kalau dia sudah pulih dia akan sadar dan malu dengan tindakannya. Sekarang Naya butuh kita, jangan menghakiminya lagi. Sudah bagus nyawanya tertolong dan belum terlambat menyelamatkan Naya. Itu saja yang kita perlu syukuri, Ma… Syukurlah, Naya masih bertahan hidup.”
Padma menyadari bahwa sikapnya yang emosional dan gegabah adalah perwujudan betapa ia sangat mengkhawatirkan adiknya. Semingguan ini ia amat gelisah karena Naya tidak sadarkan diri selama tiga hari dan tidak mau ditengok siapa pun terkecuali oleh psikiater yang pernah merawatnya. Fakta bahwa Naya sudah setahun lebih berkonsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan dan mengkonsumsi obat-obatan antidepresan dan penenang dengan tidak rutin dan menyalahi dosis membuatnya kondisinya tidak semakin membaik dan terus memburuk. Puncaknya adalah hari di saat Allan menemukannya pingsan di ruang kerjanya.
Ah, Allan… Padma belum pernah amat mensyukuri kehadiran orang asing dalam hidupnya sanggup menjadikannya penolong Naya.
Dilihatnya Naya berbisik di telinga Nana. Nana berusaha keras menangkap apa yang ingin disampaikan bosnya itu dan mengangguk-angguk. Sebentar kemudian, Nana dengan canggung mendekati Padma dan berucap.
“Nganu, Mbak Naya bilang… malam itu dia kena serangan panik dan nggak ingat sudah minum obat berapa butir. Karena rasanya sakit, jadinya dia minum yang dia tahu cukup buat ngurangin sakit. Mbak Naya nggak berniat bunuh diri. I-itu katanya.”
Mendengar itu Padma tertegun dan melihat Naya yang masih diam berbaring menatap ke arah jendela. Rupanya adiknya itu mendengar kemarahan dan kekhawatirannya.
Syukurlah…
Padma bisa merasakan lututnya lemas dan ia terduduk nyaris berlutut.
“Terus… Mbak Naya juga bilang, suara Mbak Padma lebih cempreng ketimbang suara sinden gagal, bikin kupingnya sakit dan jadi susah tidur. Mbak Naya minta Mbak Padma pulang aja. Mbak Naya bilang dia nggak akan mati sebelum lihat Nandi jadi aktor kelas dunia kayak Joe Taslim. Tenang aja. Katanya dia mau jadi lebih kaya dari Mbak Padma.”
“...”