Laki-laki itu memberikan kartu kreditnya pada pelayan dan berusaha keras melepaskan diri dari salah satu kliennya yang mabuk berat karena minuman beralkohol. Sudah berjam-jam dia menemani kliennya itu sebagai bagian dari pekerjaan dan pertaruhan karirnya. Awalnya tentu saja menyenangkan, dan selalu berakhir dengan kliennya mabuk, lalu tidak bisa bangun dan pulang sendiri.
”Kayak biasa, Mbak. Tagihannya tolong dibuat dua rangkap. Yang satu rangkap naikkan harganya dua puluh persen,” ucap laki-laki sembari mengerling ke arah pelayan yang sudah sering ia mintai bantuan perkara upscale tagihan. Pelayan itu sudah paham dan berjalan menuju kasir.
”Gio… Gio… Emang ya penyakit lama nggak bisa ilang. Mau lo kerja di mana aja, liciknya masih dibawa-bawa,” ucap laki-laki yang bahkan berdiri tegak saja dia sudah tidak sanggup karena alkohol membuat tulang dan sendinya loyo.
”Kalau satu klien saja kelakuannya kayak lo, gue rela dituduh jadi licik. Semua demi bertahan hidup.”
”Tapi gue klien lo paling lama dan paling loyal sama perusahaan lo. Gue yang bikin akun lo menggendut dan portofolio lo kelihatan bagus. Jadi, ayolah… lo juga mabok kayak gue dan jangan pelit keluarin duit buat nyenengin gue. Lo tinggal suruh perusahaan bayar, kayak yang biasa lo lakuin…”
Gio mendengus, “Kalau kita sama-sama mabuk, gue nggak yakin lo bisa pulang selamat ke apartemen lo.”
”Siapa yang bilang gue pulang ke apartemen gue sendiri? Gue tinggal hubungin dia, lalu dia tinggal bukain pintunya sekaligus celana dalamnya buat gue.”
Remy, laki-laki yang kadang bertingkah seperti teman dan kadang bagai musuh untuknya itu menunjukkan layar ponsel yang bertuliskan satu kontak yang dinamai dengan “Kalina Sayang” yang sepertinya sengaja memprovokasi Gio karena klien itu jelas tahu Kalina yang dimaksud adalah mantan istri Gio yang bercerai kurang dari setahun lalu. Gio ingin sekali merutuki laki-laki pemabuk ini, tapi demi keberlangsungan karir dan hidupnya, dia bertekad tidak akan tunduk pada emosi dan amarahnya. Sesuatu yang pernah membuat istrinya marah besar dan akhirnya menceraikannya karena Gio lebih memilih menyelamatkan karirnya ketimbang mempertahankan pernikahannya. Lelaki perhitungan seperti Gio tahu benar, karirnya lebih berharga ketimbang perempuan yang mata duitan dan dengan senang hati menerima laki-laki mana pun asal berduit melebihi suaminya sendiri.
Remy tertawa-tawa, tahu benar Gio dengan ketampanannya yang bagai legenda di dunia marketing itu tidak akan pernah tidak tunduk di kakinya. Dan ia sangat menikmati ketika Gio gamang memilih untuk mempertahankan hubungan bisnis sebagai perusahaan dan kliennya atau resign untuk bisa menghindari dirinya. Memiliki kuasa dan uang memang adalah hal terbaik. Remy tertawa keras, tidak mempedulikan bahwa efek alkohol kini keras menghantamnya, membuatnya terhuyung hingga pingsan.
Gio menepuk-nepuk wajah Remy dengan keras. Mengetahui laki-laki itu tidak akan sadar dalam waktu dekat, Gio pun memukul bagian atas kepalanya yang botak, tanda ia sudah sangat muak menghadapi orang ini dan menyebutnya dengan “botak keparat”. Pekerjaan belum selesai. Gio masih harus mengantar pulang orang ini yang tidak mungkin laki-laki tambun begini dia bopong sendirian. Sembari menghela napas, ia menghubungi satu nomor di dalam daftar kontaknya yang sering ia mintai tolong urusan remeh begini.
”Lex? Lo di rumah? Gue minta tolong lo ke bar yang biasa. Ada gedebok pisang yang mesti gue anter pulang,” ucapnya sembari nyengir sinis ke arah Remy.
”Si Remy? Kenapa lo nggak panggilin taksi aja?”
”Dia bisa ngamuk-ngamuk kalo tahu gue nyerahin dia pas teler berat ke taksi online. Terakhir gadget dia lenyap dicolong dan gue jadi bulan-bulanannya sampai datanya balik. Emang anjing ini orang.”
”Ya udah gue ke situ setengah jam-an.”
Gio menghela napas dan menutup panggilannya. Sembari menunggu, ia menyalakan satu batang lagi rokoknya untuk kesekian kalinya, lalu menengadahkan kepalanya menatap langit-langit di ruangan VIP ini dan membiarkan asap yang dia embuskan terbang ke langit-langit. Botol-botol minuman yang kosong terlihat berserakan. Masih ada gadis-gadis pendamping yang masih berasyik-masyuk dengan anak buah Remy dengan kedua bibir mereka saling memagut dan tangan si lelaki menjelajah ke mana-mana. Kelakuan anak buah pun tidak ada bedanya dengan bosnya.