9 Tahun Lalu
Semua berawal dari panggilan telepon di siang bolong itu. Teja masih mengingat jelas seolah baru kemarin kabar itu menghantamnya telak. Siang itu, Teja baru saja selesai maskeran dan mandi setelah melakukan yoga dengan ibu-ibu kompleks yang juga memiliki rutinitas olahraga yang sama. Jika ada telepon jam segini, biasanya dari Padma yang minta ditransfer uang saku atau telepon dari penggemar-penggemar Haykal yang selalu minta orang rumah untuk memberitahu nomor ponsel Haykal. Teja sama sekali tidak mencurigai sesuatu.
Telepon itu diangkatnya, tapi tak ada suara siapa pun berbicara. Lalu panggilan ditutup hingga hal itu berlangsung tiga kali sampai Teja membentak siapa pun yang usil itu untuk menjauhkan telepon dan kembali belajar dengan tekun. Ia sangat yakin penelepon itu pastilah cewek-cewek haus perhatian yang ingin mendapatkan perhatian Haykal, putra bungsunya yang kebetulan berwajah rupawan.
“Mbak Suteja, ini saya Marini…”
“Marini? Marini siapa ya?” Teja mengernyit, mengingat-ingat apa ada kenalan yang memiliki nama demikian. Satu-satunya ingatan tentang Marini hanyalah sebuah kartu pos milik suaminya waktu masih dinas di Bali yang dikirimkan pada perempuan bernama Marini. Tapi apa mungkin kebetulan konyol semacam ini akan terjadi?
“Saya teman lama Mas Jarot.”
Saat itu rasanya Teja bagai bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang berdetak amat kencang. Tentu saja yang betul-betul dimaksud wanita ini bukan teman sembarang teman karena sejak dulu Teja tahu bahwa suaminya pernah memiliki mantan kekasih bernama Marini. Wanita ini bersikap seolah-olah Teja tidak tahu apa-apa. Sungguh lancang.
“Teman apa? Ada apa kamu menelepon ke sini?”
Serta merta nada suara Teja kini berubah ketus.
“Mbak ngomongnya berubah. Semoga itu artinya Mbak tahu siapa saya.”
“Memang kenapa kalau saya tahu?” tantang Teja emosi hingga seluruh tangannya gemetar dan telapak tangannya berkeringat.
“Berarti saya nggak perlu repot-repot menjelaskan. Saya mau minta Mas Jarot datang ke tempat saya. Saya lelah sembunyi-sembunyi di belakang Mbak karena kebutuhan saya dan anak-anak makin besar dan dia seharusnya menafkahi saya setiap bulan, tapi sudah dua bulan Mas Jarot susah dihubungi. Jangan berani-berani menikahi saya kalau dia—”
BRAK!
Teja menutup paksa telepon itu hingga benda itu terguling keras dari meja. Wanita itu tidak cukup peduli untuk membereskan dan meletakkan ke tempatnya lagi. Kewarasan dan pikirannya sudah tidak selaras lagi. Teja masih duduk di kursinya dan terdiam lama. Tangannya gemetar dan tanpa sadar kuku-kuku tangannya habis ia gigiti. Didera kepanikan membuatnya tak sempat merasakan sakit hingga ujung jarinya berdarah.
Sebuah dorongan membuat Teja berlari keluar tanpa mengunci pintu rumah. Ia bahkan lupa masih mengenakan daster dan hanya menyambar jas milik suaminya di gantungan baju. Saat keluar, ia buru-buru memanggil tukang becak yang mangkal di dekat rumah. Tidak seperti biasa yang sebelum naik, Teja lebih dulu tawar menawar tarif dengan abang becak, kali ini Teja enggan menawar dan memutuskan langsung duduk dan menyebutkan alamat kantor suaminya yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumah. Sebuah tujuan yang lumayan jauh untuk dicapai dengan naik becak.
Meski di rumah ada mobil dan motor, semua tidak ada gunanya bagi Teja. Sejak menikah, Teja tidak pernah lagi naik motor karena suaminya tidak mengizinkan istrinya suka keluyuran. Tidak juga diajari menyetir mobil karena alasan suami tidak tenang kalau mobil dibawa orang lain kecuali dirinya sendiri. Teja tidak pernah melawan suami. Sejak kecil ia dididik dan diajarkan untuk menurut apa kata suami karena dia selalu mengingat kata almarhum ibunya, surganya istri ada di kaki suami. Teja tidak ambil pusing untuk melawan argumen karena di agama juga diajarkan hal yang sama. Suami adalah imam dalam hidupnya, jika yang benar memang demikian, tidak mengapa ia hidup dengan menyimpan kemarahan dan kekecewaan sendiri.
Tapi, dalam hati kecilnya ia berharap tidak akan pernah merasakan kekecewaan semacam ini. Pertengkaran soal keuangan dan soal anak-anak, Teja bisa menahan kekecewaan karena sebesar apapun kemarahannya dan kekesalannya, suami akan terus mendatanginya dan memberikan penghiburan. Sebentar saja, Teja yang merajuk bisa tertawa lagi. Hanya saja untuk hal satu ini, Teja tidak pernah diajarkan bagaimana caranya bertahan. Bagaimana ketika perhatian Mas Jarot tidak ada lagi untuknya?
”Allahu Akbar, Bu Jarot toh ini?” Pekik salah seorang bawahan suaminya saat melihat Teja mondar-mandir di sekitar kantor suaminya yang adalah sebuah kantor wilayah Dirjen Pajak. Suaminya yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Humas tentu memiliki beberapa bawahan yang kerap ditemui Teja, termasuk sosok yang ada di hadapannya ini, Raka. Raka dan yang lain sering berinteraksi dengan suami dan saling mengenal antar keluarga bahkan di luar acara-acara yang diselenggarakan kantor.