”Serius, Mbak Padma itu lucu juga ternyata ya kalau lagi naksir orang? Bucinnya itu lho, kayak anak remaja baru puber. Yang muda sok dewasa, yang udah dewasa malah ngalah-ngalahin anak muda dramanya. Eh, Mbak… sopnya mau nambah lagi nggak? Enak banget ternyata, saya juga jadi ikutan nyemilin nih…”
Aku tersenyum melihat tingkah polah Allan yang hari ini menjengukku dan membawakan satu wadah sop buntut yang ia pesan di restoran langganan keluarganya. Aku sudah dengar darinya kalau acara perjodohan dengan Padma tidak direstui orangtuanya, ditambah dia juga tahu kalau Padma nggak ada perasaan dengannya sama halnya seperti Allan yang juga nggak kunjung punya chemistry dengan Padma. Sederhananya, laki-laki itu bilang dia nggak klik dengan Padma. Sesungguhnya aku nggak tahu harus bagaimana dengan kabar ini. Aku ikut lega, tapi juga sekaligus bersimpati dengan Padma. Agaknya statusnya yang janda setelah tiga kali menikah dan tiga kali cerai cukup berat untuk mendapatkan restu orang tua calon pasangannya.
Yah, bukan berarti aku lebih memiliki peluang ketimbang Padma. Sepertinya orang tuanya juga nggak akan memberikan restu andai putranya memilihku. Nggak akan ada yang mau merestui putranya menjalin hubungan dengan perempuan ibu tunggal tanpa pernikahan. Namun, sejujurnya ini juga melegakan bagiku. Aku menyukai Allan, tapi juga belum siap untuk menjadikannya sebagai laki-laki yang berpotensi jadi pasangan hidupku. Lebih mudah bagiku kalau kami hanya berteman baik. Seperti sekarang ini.
Melihat kondisiku yang masih juga belum diizinkan pulang dari rumah sakit, sepertinya aku bakal terus merepotkan Allan. Aku tahu aku bilang kami lebih baik berteman, tapi jika dia terus bersikap baik kepadaku seperti ini, aku juga takut aku nggak bisa mempertahankan niatku untuk terus berteman. Akan sangat mengesalkan kalau aku jadi terlalu terbiasa dengannya.
“Kamu nggak usah terus-terusan datang ke sini, Lan. Nanti keluargamu marah kalau tahu kamu terus-terusan nemenin aku,” ucapku memberinya peringatan.
“Aku ke sini nggak ada hubungannya sama keluargaku, Mbak. Aku udah ngerasa deket banget sama keluarga Mbak. Bu Teja dan Mbak Padma. Kalian semua orang baik.”
Aku hanya tersenyum, tapi nggak berani membalas tatapannya. Tatapanku hanya menerawang ke luar jendela. Seharusnya aku nggak perlu orang lain memberitahuku kalau ibuku dan kakak perempuanku itu orang baik. Seharusnya aku yang paling tahu itu, tapi entah bagaimana aku belum bisa mengamini ataupun mengelak pernyataan itu. Jika Bunda dan Padma orang baik, aku pun mungkin nggak lebih baik ketimbang mereka. Mereka jahat padaku? Yang kulakukan sampai aku berakhir di rumah sakit ini juga mungkin lebih jahat.
Serangan panik yang berujung tindakan suicidal nggak pernah aku rencanakan sebelumnya. Namun, sejak kedatangan Bunda dan Padma yang tinggal di dekatku, aku makin bergantung dengan obat antidepresan dan obat penenang. Makin lama dosis penenang yang kubutuhkan makin meningkat seiring dengan makin sulitnya aku tidur tiap malam. Dosis standar nggak lagi membuatku tertidur. Aku makin tersiksa dengan keberadaan mereka. Lalu Bunda tiba-tiba muncul sore itu menegurku dan aku nggak bisa menahan diri untuk meluapkan kemarahanku. Aku sudah jadi orang jahat bagi orang yang seharusnya kusayangi karena orang tuaku tinggal ibuku yang tersisa. Ayah mungkin membenciku dan mengutukku dari alam kuburnya kalau tahu di umur setua ini aku masih mengata-ngatai Bunda. Aku nggak tahan membayangkan betapa aku masih mengecewakan orang-orang di dekatku. Lalu semuanya terasa menghantamku bak serbuan jarum adrenalin yang menusuk di kepala dan di dadaku sekaligus. Rasa sakit itu makin lama makin nggak tertahankan. Yang tersisa di kepalaku adalah bagaimana aku mengakhiri rasa sakitku secepat mungkin.
”Mbak Naya nggak usah banyak mikirin orang lain. Nggak usah mikirin apa aku repot atau enggak. Mbak Padma juga ngomelin Mbak karena dia khawatir banget sampe nangis-nangis waktu Mbak nggak sadar setelah tiga hari di rumah sakit. Jangan mempertanyakan apa dirimu layak menerima itu semua. Kamu layak, Mbak. Layak banget buat disayangi dan diprioritaskan.”
Mendengar itu rasanya aku ingin menangis dan membiarkan diriku hanyut di pelukan Allan. Namun, aku tahu itu akan menambah masalah baru. Aku tahu Allan mengatakan itu untuk menghiburku, tapi rasanya luar biasa saat seseorang yang belum lama kau kenal memberi begitu banyak perhatian padahal dirimu bukan siapa-siapa baginya.
”Kenapa kamu baik banget sih, Lan? Orang sebaik kamu pasti dibesarkan dengan baik sama bapak ibu kamu ya? Pantes sih, mereka nggak kasih restu kamu sama Padma. Sama aku juga pasti nggak akan dikasih ya? Kamu punya temen nggak? Yang baiknya kayak kamu? Kenalin aku ke dia dong…” candaku yang hanya disambut senyuman malu-malu darinya.
”Aku lagi usaha minta restu ke mereka, Mbak.” Lirih suara Allan hingga aku hampir nggak mendengarnya. Tentu saja karena saat itu ada sesuatu yang lebih menyita perhatianku. Ponselku berdering dan nomornya sama sekali nggak kukenal.
Aku menatap ke Allan, minta izin untukku mengangkat panggilan ini sebentar. Allan pun bangkit dan berdiri sedikit menjauh dariku, memberiku ruang untuk bicara dengan nyaman dengan siapa pun yang memiliki urusan denganku. Aku sudah lama meninggalkan pekerjaan dan mengabaikan apapun yang sudah terjadi di salon dan terlalu memasrahkan semuanya pada Nana. Kondisiku sudah cukup baik, harusnya besok atau lusa aku sudah dibolehkan pulang.
”Halo?”
”Nay?”
Aku terdiam mencoba mengenali suara bariton yang kupikir aku mengenalinya. Lalu sedetik kemudian, bulu kudukku meremang dengan sendirinya sekalipun suara di seberang belum membunyikan bel di kepalaku. Tubuhku bereaksi lebih dulu yang artinya aku memiliki koneksi dengan siapa pun pemilik suara itu.
”Kamu… siapa?”