Gue ingat hari itu ketika kabar buruk tentang Naya jatuh menghantam rumah kami seperti ledakan sebuah bom. Masalah yang dibawa Naya membuat Bunda dan Ayah seketika melupakan masalah gue yang baru terlilit utang sejak perceraian gue dengan suami yang pertama. Gue yang masih muda dan labil sudah melakukan banyak pemborosan karena saat awal-awal menikah, gue cukup bahagia karena tahu gue menikahi laki-laki yang tergolong kaya. Gue mendapatkan kartu kredit untuk pertama kalinya. Yakin karena yang membayar tagihan adalah suami gue, gue pun dengan bodohnya berfoya-foya memberi barang-barang yang tadinya cuma bisa gue impikan semata. Lalu BOOM! Perceraian itu terjadi dan jelas laki-laki yang sudah berstatus mantan suami itu berhenti membayarkan semua utang-utang akibat pemborosan yang gue lakukan. Untuk melunasi semua tagihan gue harus meminjam uang dari teman gue yang kaya. Saat ini gue sedang merayu Bunda dan Ayah untuk membayarkan utang supaya gue nggak perlu kerja di Jakarta dan empat bulan gue harus rela kerja tanpa digaji dan hanya dapat uang makan doang.
Ayah masih mempertimbangkan untuk ngasih gue uang buat bayar utang. Namun, Bunda menolak terang-terangan keinginan Ayah. Hari itu, gue ingat benar mood Bunda sedang jelek-jeleknya. Belum pernah gue lihat Bunda sekesal dan sejudes itu. Lalu Naya tiba-tiba pulang, membuat kami semua kebingungan karena biasanya jika akan pulang ke rumah Naya selalu mengabari lebih dulu.
Dan bom itu dengan santainya diletakkan di meja ruang tengah tepat jam delapan malam. Sebuah foto USG janin dikeluarkan Naya dari dompetnya.
”Aku hamil, Bun… Yah. Aku bakal besarkan anak yang ada di perutku ini, tapi aku nggak mau menikah.”
Saat itu gue refleks tertawa keras. Saat menyadari seluruh penghuni ruangan memelototi gue, gue pun buru-buru menutup mulut. Damn… Sejak kapan Naya sudah sejauh itu berhubungan dengan laki-laki sampai hamil? Sampai pertengkaran kami di parkiran kelab malam waktu itu, gue masih mengira adik gue yang satu ini belum pernah pacaran serius karena waktunya banyak dihabiskan berdiam diri di rumah nonton film dan mengetik naskah skenario film pendek yang sudah beberapa kali dia buat dengan teman-teman dari komunitas filmnya. Naya dengan caranya sendiri selalu bikin gue iri karena dia selalu passionate dengan hal-hal yang dia suka dan tekuni, membuat gue yang nggak punya kelebihan selain tampang gue yang gue yakin lebih cantik darinya merasa insecure di dekatnya. Dan, sosok yang selalu bikin gue serba salah itu tiba-tiba hamil sementara pacar saja dia nggak punya.
Ah, sebentar, lebih tepatnya gue nggak pernah tahu laki-laki macam apa yang pernah dekat dengan Naya. Padahal Naya selalu tahu siapa saja laki-laki yang pernah dekat dengan gue. Sialan benar, ini nggak adil…
Gue ingin berkomentar, tapi melihat wajah Bunda yang begitu suram dengan sepasang mata menatap tajam ke arah Naya membuat gue urung melontarkan sesuatu dari mulut gue sendiri.
”Hamil? Kamu lagi ngajak kami bercanda, Nay? Kamu nggak lihat bunda dan ayahmu sedang sibuk memikirkan masalah kakakmu yang hidupnya penuh lelucon ini dan kamu malah nambahin lelucon baru dalam hidup kami? Maksudnya apa, hah?”
Ucapan tajam itu membuat gue terdiam. Seingat gue, Bunda bukan orang yang gampang berkata sinis semacam itu? Gue tahu mungkin gue lah yang sudah membebani wanita itu sedemikian besar dengan keegoisan dan tingkah kekanak-kanakan gue yang memaksakan diri menikah meski secara kedewasaan gue nggak pantas untuk jadi seorang istri. Kenapa Bunda bersikap sekeras itu?
”Aku tahu yang aku lakukan udah bikin kalian malu, tapi aku nggak ingin menambah dosa dengan menggugurkan bayi ini.”
Mendengar itu gue mendengus, teringat pertengkaran kami di parkiran malam hari itu dan Naya dengan standar moralnya yang oh-so-high itu menyebut gue udah mencemarkan nama baik keluarga karena kabur dari rumah suami gue dan pernah aborsi. Sebuah ucapan yang bikin gue naik pitam saat itu karena Naya lebih memilih mempercayai omong kosong Gio ketimbang mempercayai gue yang adalah kakaknya sendiri.
”Kenapa kamu nggak gugurin aja janin kamu? Jangan sampai deh kamu maksain gedein anak yang nggak kamu inginkan karena malu sama perkataanmu waktu kita ribut-ribut di parkiran. Aku nggak akan nge-judge kamu cuma gara-gara kamu aborsi kok! Standar moralku kan nggak setinggi kamu…”
”Padma!” Seru Bunda yang bikin gue terpaksa membungkam mulut sekalipun ada banyak hal yang menggunung di kepala dan ingin gue tumpahin sejak gue melihat adik gue masuk ke rumah ini.
“Kamu pikir membesarkan anak tanpa ada ayahnya adalah solusi yang benar? Kamu pikir ini di mana? Di Amerika? Yang orang-orang bisa seenaknya kumpul kebo dan nggak jadi omongan tetangga?” cecar Bunda lagi.
“Kalau kalian malu dengan keadaanku, aku bisa tinggal di kota lain. Aku tetap akan tinggal di Jogja.”
“Terus? Mau kayak gimana setelah kamu lahirin anakmu? Memangnya kamu sudah lulus? Udah bisa nyari duit sendiri? Kamu cuma mahasiswa semester 6, lulus aja belum kok pake sok-sokan gedein anak sendirian.”
Ada apa dengan Bunda hari ini? Kemana sifat lemah lembutnya yang selalu bikin gue dan Naya merasa aman? Dan Ayah juga kenapa sih? Kenapa cuma Bunda yang bicara? Kenapa Ayah cuma bisa diam?
“Aku memang nggak bisa menjanjikan apa-apa, tapi aku janji aku bakal mandiri supaya nggak ngerepotin Bunda dan Ayah.”
“Jangan sok tahu!!!”