”Bunda nggak bisa mencegah kedatangan orang itu. Maafin Bunda ya, Nak…”
”Itu bukan salah Bunda. Nggak perlu menyesal begitu, Bun…”
”Tapi—“
”Aku bakal baik-baik saja. Dokter bilang hari ini aku sudah boleh pulang.”
”Bagus. Seenggaknya itu kabar bagus buat kamu untuk hari ini. Nanti biar Bunda yang jemput saja karena Padma saat ini lagi… Yah, kamu tahulah…”
”Ada Allan di sini. Selama ini Allan yang mau repot-repot ngurusin aku di rumah sakit.”
”Allan? Ternyata anak itu memang belum menyerah sama kamu.”
Keningku mengernyit. “Maksud Bunda apa?”
”Bukan apa-apa. Memang ada banyak rintangan dalam setiap hubungan, tapi asal kamu tahu, Bunda pasti dukung kamu demi mendapatkan pasangan yang sesuai pilihan hatimu.”
Memangnya ada apa dengan Allan? Kenapa saat membahas Allan, Bunda malah mengait-ngaitkannya denganku? Bukankah Padma yang dijodohkan dengan Allan? Saat berniat menanyakannya, aku melihat telepon masuk dari Haykal, adik laki-lakiku. Selain Bunda, Haykal juga kini sering tiba-tiba mengirim pesan dan meminta maaf. Dari Bunda aku juga tahu Haykal lah yang memberi tahu alamat rumah kami dan memberikan informasi itu kepada Gio dan dia nggak henti-hentinya menghubungiku dan memastikan aku baik-baik saja. Sejujurnya, aku merasa kesal pada adikku itu, tapi mengingat yang pernah dia lakukan untuk membantuku di saat aku menjauh dari keluargaku yang lain, aku nggak bisa menepis bahwa adik yang juga hanya selisih dua tahun dariku itu pun telah banyak berjasa.
“Bun, nanti sambung lagi ya, ada telepon masuk lagi ini,” ucapku, menghentikan pembicaraanku dengan Bunda, sengaja aku nggak menyebutkan nama Haykal meski tujuan mereka menghubungiku sama. Setelah panggilan dengan Bunda terputus, aku menerima panggilan dari yang lainnya.
”Hei, penganten baru?” godaku, mencoba mencairkan suasana, dan terutama… rasa bersalahnya.
”Mbak Nay, aku kayaknya bersalah banget sama Mbak.”