"Jadi... Orang yang mau ke sini itu orang yang dulu udah nyakitin Mbak Naya?"
"Naya."
"Eh apa?"
"Nggak pake embel-embel "mbak". Aku minta tolong sama kamu buat pura-pura bertunangan sama aku dan sebentar lagi kita nikah. Mana ada tunangan yang manggil calon istrinya dengan sebutan "mbak"."
Entah apa yang sudah kulakukan karena rona wajah Allan kini berubah memerah. Sejujurnya itu pemandangan yang menggemaskan, tapi aku sedang tidak dalam posisi untuk mengagumi laki-laki lain. Satu laki-laki yang kini dikabarkan sudah menungguku di rumah Bunda dan Padma saja sudah membuat energiku habis memikirkannya. Aku takut, satu sandiwara kecil yang melibatkan Allan saja nggak cukup untuk menyingkirkan Gio. Setelah sekian lama, apa tujuannya datang kemari dan mencariku ketika selama sembilan tahun dia nggak pernah merasa repot-repot untuk mencari tahu kabarku?
"Na-Naya..."
"Iya apa, sayang?" godaku dan Allan makin tersipu-sipu. Reaksinya membuatku menikmati setiap detik yang kuhabiskan untuk menjadikannya calon suami bohongan. Aku mengutuk diriku sendiri karena merasa sikapku itu sama sekali nggak pantas. Mungkin aku bisa tertawa-tawa dan bersikap usil begini hanya untuk sesaat. Aku tahu setelah ini dan melihat wajah laki-laki yang pernah membuatku sakit hati itu, aku nggak akan bisa tertawa lagi.
"Apa kita nggak sebaiknya saling ngasih tahu soal diri masing-masing? Kali aja orang itu nggak percaya kalau kita pacaran."
"Hmmm... Dia sih bukan orang yang peduli sama hal-hal kayak gitu sih, tapi omongan kamu benar juga."
"Berapa lama sebaiknya kita pacaran, kalau-kalau dia nanya?"
"Tiga tahun?"
"Susah deh dia percaya. Tiga tahun lalu saya masih pengangguran, Mbak."
"Naya," ralatku.
"I-iya, Nay."
Aku tertawa lagi melihat kecanggungannya. Aku segera memudarkan senyumku, tidak ingin terlalu terbiasa dengan kenyamanan macam ini.
"Ya udah gimana kalau dua tahun?" usulku.
"Dua tahun lalu saya sibuk diklat luar kota dan masih pacaran sama mantan saya yang dulu. Nanti saya ketahuan bohong."
"Allan, ini kita kan juga lagi bohong. Sama aja, kan? Percaya deh, dia juga nggak akan ngecek sampe segitunya."
"Tapi kalau bisa bohongnya meyakinkan, Nay. Gimana kalau satu tahun?"
"Satu tahun? Nggak wajar kali baru pacaran satu tahun udah mau nikah."
"Wajar kok, wajar banget malah. Apalagi jatuh cintanya pas pandangan pertama dan akunya bucin banget sama kamu. Tahu kalau kamu nggak suka pacaran yang bertele-tele dan nggak jelas juntrungannya makanya aku buru-buru lamar."
Aku terdiam. Sesaat merasa apa yang dia ucapkan benar-benar terjadi dan bukan hanya ada konsep yang ada di kepalanya tentang hubungan pura-pura ini. Aku selalu merasa Allan itu polos dan naif, tapi kadang-kadang apa yang dia tunjukkan seolah dia bisa membuat luluh wanita mana pun dengan kata-katanya. Aku tersenyum getir, mencoba menyembunyikan emosiku. Dia hanya melontarkan idenya bukan sedang menyatakan perasaannya. Begitulah yang aku tekankan berkali-kali.
"Gitu ya? Bagus juga idenya... Bohong aja niat kamu."
"Apalagi kalau beneran, aku pasti bakal lebih niat," ucap Allan, menatapku tajam.
Sesaat aku merasa dia sedang menggodaku. Apa aku cuma berhalusinasi?
Sayangnya, obrolan kami harus berhenti karena mobil yang ia kendarai kini berhenti di depan rumah Bunda dan Padma. Membuatku gamang sejenak menatap dari jauh suasana halaman dan teras rumah itu. Pengaruh obat-obatan dan istirahatku yang mulai membaik harus dikacaukan lagi dengan kehadiran Gio di rumah itu. Ironis sekali.
"Nay, kamu masuk dulu ke rumah itu, aku yang angkat barang-barang kamu ke ruko dan di kamar kamu yang di atas."
Ucapan Allan menyadarkanku kalau nggak ada gunanya aku cuma melamun dan berharap hari ini cuma mimpi buruk semata. Aku sudah memberitahu Padma bahwa untuk menghadapi Gio, aku akan berpura-pura menjadi calon istri Allan dan untuk pertama kalinya aku minta bantuan Padma supaya dia mau bekerja sama.
Aku berjalan masuk ke dalam rumah Padma dan memberi salam, berusaha keras menutupi kegugupanku. Saat itu, aku bisa dengan jelas melihat bagian belakang laki-laki itu yang tengah duduk di sofa membelakangiku. Lalu kulihat dia menengok dan bangkit dari duduknya. Tentu saja, laki-laki perlente yang juga sangat memperhatikan penampilannya nggak akan pernah kelihatan menua sedikitpun. Aku sudah membayangkan pertemuan ini di kepalaku sejak bertahun-tahun lalu. Rambut Gio masih tebal dan sepasang matanya yang berwarna cokelat terang dan sedikit sayu adalah satu-satunya bukti penuaan yang ada pada dirinya, bahwa waktu terus berjalan dan mata yang tadinya selalu siap menerkam seperti elang, kini melembut menatapku.
Jangan tertipu, Nay. Gio selalu dengan mudah menemukan cara untuk membujuk siapa pun.