"Lihat, setelah konsisten mengunggah konten di jam yang sama setiap hari, kamu bisa lihat sendiri growth-nya. Engagement meningkat drastis, terus juga kamu jadi tahu kecenderungan follower kamu paling suka kalo kamu bikin konten kayak gimana. Nih, kayak yang ini nih... Kamu jadi tahu konten reels belum tentu mendulang like banyak. Bisa jadi konten slide gini malah lebih bisa menarik perhatian."
Gue cuma bisa menyimak saat Erga bicara banyak tentang trik menaikkan engagement media sosial yang untuk sementara, akun film dia masih gue kelola sesuai kesepakatan kami. Karena insiden kedatangan Gio, rencana makan malam kami tertunda. Gue pikir Erga nggak lagi berminat mengganti janji makan malam itu karena dia sibuk. Nggak nyangka, dia justru menghubungi gue lebih dulu dan mengajak bertemu di suatu restoran kasual di kawasan kota.
Obrolan kami masih berputar di masalah pekerjaan, tentang film, tentang bagaimana serabutannya pekerjaan Erga sebelum jadi asisten sutradara dan menjajaki karirnya sebagai sutradara debutan melalui film yang akunnya sedang gue pegang. Gue pikir, obrolan dengannya akan membosankan karena gue bukan Naya yang sangat familiar dengan film. Nggak banyak film yang pernah gue tonton dan perbendaharaan kata dalam hal film pun masih minimal, tapi aku senang Erga sabar menjelaskan, membuat analogi lucu tentang film-film yang dia bahas dengan perbandingan film-film kartun yang lebih dulu populer dan familiar. Setelah mengenalnya, dia nggak segalak dan sedingin yang gue kira.
Satu hal saja, gue berharap pertemuan ini terjadi sebelum peristiwa Naya yang akhirnya memberitahu seisi rumah apa yang terjadi antara dirinya dan Gio. Mengetahui hal itu, sulit buat gue buat tertawa-tawa seolah peristiwa tragis yang dialami adik gue nggak pernah terjadi.
”Gue pasti bosenin ya, karena lo lebih milih mengamati motif alas tisu ini ketimbang mendengarkan omongan gue,” ucap Erga dengan lembut, tapi bernada setengah menyindir.
”Ketahuan ya? Kenapa? Lo merasa tersinggung kalau gue nggak menunjukkan reaksi yang lo mau?”
Erga tersenyum, menelengkan kepalanya dan menatap gue. “Kenapa gue harus tersinggung buat hal seremeh itu? Kalau lo lebih tertarik menatap benda-benda random artinya bisa dua hal, gue yang terlalu membosankan atau lo yang lagi banyak pikiran. Berhubung gue percaya gue nggak pernah jadi laki-laki yang membosankan, opsinya cuma satu.”
”Sombong ya lo?” Ucap gue sembari menggeleng.
”I just know what I’m capable of… Yang gue nggak bisa itu cuma mecahin masalah orang secara spesifik, tapi kalau diminta mendengarkan, I’m all ears,” jawab Erga dengan tatapan seolah berusaha meyakinkan gue.
Gue sedikit gamang karena pada kenyataannya, bercerita bukan hal yang sulit, hanya saja gue nggak tahu harus mulai dari mana jika yang ada di kepala gue saat ini cuma penyesalan. Gue mungkin nggak terlalu peduli pandangan orang lain tentang diri gue, tapi gue juga belum ingin menyingkirkan Erga andai dia tahu apa yang pernah gue lakukan di masa lalu dan apa yang gue lakukan hingga hubungan gue dengan Naya memburuk.
”Gue orang jahat, Ga…”
Erga mengernyit. “Apa maksud lo?”
”Gue jahat. Seenggaknya dulu dan orang yang gue jahatin itu adek gue sendiri. Gue selalu mengira adek gue lebay karena masih menyimpan dendam masa lalu sama gue.”
”Adek mana yang lo omongin? Naya?”
Gue nggak menjawab dan masih lanjut bicara, “Gue pindah ke Jogja karena mau kami baikan dan yang gue lakukan buat meyakinkan dia supaya mau maafin gue semuanya hal-hal shallow. Nyariin dia jodoh, baik-baikin anaknya, beliin dia makanan dan hal-hal nggak penting lainnya karena masalah dia jauh lebih besar ketimbang yang gue tahu selama ini. Dan, gue baru tahu kemarin alasan dia menjauh dari kami, keluarganya. Sekarang gue nggak tahu lagi… Gue makin merasa buruk karena sudah jadi kakak yang nggak berguna.”
Saat mengucapkan itu, tangis gue tiba-tiba tumpah. Pagi ini saat gue bangun, gue sama sekali nggak berencana menangis di depan Erga. Yang gue tahu, gue berpikir jangan sampai gue terlalu kentara saat pikiran gue kosong dan melamun sendiri karena jelas nggak ada hal yang bikin gue lebih bahagia saat ini kecuali masalah keluarga kami selesai dengan sendirinya.
Erga menggenggam tangan gue dengan hangat. “Padma, bukan lo yang menentukan apa yang lo lakuin buat dia itu kecil atau besar. Bukan lo juga yang menentukan masalah seseorang itu besar atau kecil. Adik lo mungkin mengalami hal berat artinya yang dia butuhkan sekarang adalah waktu untuknya bisa menyembuhkan diri. Hanya dia yang tahu bagaimana masalahnya akan mempengaruhi hidupnya. Menurut gue, yang udah lo lakuin bukan hal yang kecil. Lo cuma perlu terus melakukan hal ‘kecil’ lainnya supaya dia tahu lo selalu ada buat dia. Hidup mungkin berat buat dia, tapi lo ada supaya dia merasa hidup lebih ringan. Dan itu dimulai dari hal kecil yang lo lakuin ke dia, termasuk ngasih sewa ruko dengan harga murah.”
Gue mengernyit, “Lo tahu soal itu?”
”Tentu saja gue tahu karena Naya sendiri yang bilang ke gue waktu kami pertama kalo mengobrol soal permintaan izin Nandi supaya bisa ikut syuting. Salon dia cukup bagus dan luas untuk salon yang baru buka dan dia kembangkan sendiri, dan gue sempat tanya berapa sewa ruko sebagai modal awal. Dia menjawab dengan tersenyum kalau harga sewanya murah karena pemilik ruko adalah kakak perempuannya sendiri. Meski dia nggak minta dikasih harga murah, tapi itu bikin dia bersyukur karena artinya dia bisa maksimalin budget buat pos yang lain.”
”Naya bilang begitu?”
Sialan. Gue hampir menangis lagi mendengar cerita Erga. Saat Erga mengangguk pun, air mata gue mengalir lagi.
”See? Jangan bilang hal baik yang lo lakuin itu hal kecil dan nggak guna. Lo mungkin pernah bikin salah sama dia di masa lalu, tapi lo punya masa kini dan masa depan yang bisa lo manfaatin. Manusia itu selalu berubah, Ma. Kayak lo yang berubah jadi penyayang sama adek lo, dia pun begitu, suatu saat bakal luluh sama kebaikan lo.”
Gue mati-matian menghentikan air mata gue yang masih mengalir. Sialan, hidung gue jadi lebih mampet karena terus-terusan berair. Gue jadi kelihatan nggak keren di depan Erga. Erga pun menyodorkan beberapa lembar tisu sekaligus dan langsung gue hancurkan sekaligus dengan sekali tiup hidung.