NAMIDA
By
DIDIK SUHARSONO
Bab 1; Kerinduan
Fahmi menyelonjorkan kedua kakinya di bawah meja kotatsu[1]. Kehangatan yang dihantarkan peralatan listrik di balik meja menjalari jemarinya, naik pelan ke betis, kemudian ke paha. Duduknya serasa nyaman kala pantatnya merasakan kelembutan rumput igusa tatami. Bau khas yang dihasilkan rumput asli Jepang itu menguasai labirin paru-parunya. Membuatnya sejenak mengalami transenden. Memaksa benaknya lupa akan kerasnya kehidupan yang selama ini mendera.
Dibukanya layar laptop di atas meja di depannya. Pemuda itu memilih menu video call. Ditekannya Nomor perangkat keras di belahan dunia lain yang sedang menunggunya. Tidak menunggu lama, layar laptop dipenuhi tampilan gambar wajahnya. Sembari menunggu nada panggil tersambung, dibenahi kancing jaket agar kulit yang terbuka tidak tergigit hawa dingin.
Sinar lampu di atap memberitahu posisi jarum jam yang bertengger di dinding. Pukul enam malam. Hanya tersisa waktu setengah jam untuk segera menyelesaikan komunikasi dengan orang-orang yang dikasihinya.
Amran, sahabatnya satu apartemen, sedang berkutat dengan persiapan makan malam di dapur. Kelontang peralatan masak membuat degup jantung Fahmi berdetak lebih cepat. Dia harus membagi konsentrasi antara wajah yang akan tampil di layar laptop, waktu yang mencekik, bau gosong telur dan ikan goreng.
“Amran, berisik. Pelan-pelan dikit, dong!” teriaknya.
“Tanggung. Dikit lagi!” balas suara dari dapur yang dipisahkan tembok tipis tanpa pintu.
Apartemen sempit yang disewa patungan dengan sahabatnya sejak tiga tahun lalu itu merupakan tempat terbaik sesuai kantongnya. Bukan hanya berdekatan dengan kampus Universitas Kyushu tempatnya belajar, biaya sewanya juga sangat merakyat. Cocok untuk beasiswa yang harus dia bagi dengan keluarganya. Hanya ada kamar tidur merangkap ruang belajar dibatasi tembok tipis dengan dapur dan kamar mandi plus toilet. Tidak banyak barang mewah di dalamnya kecuali lemari es, dan meja kotatsu sebagai meja makan merangkap meja belajar.
Tampilan layar laptop yang dipenuhi wajah gadis cantik membuat Fahmi tidak menggubris lagi celoteh sahabatnya itu. Uap hangat yang keluar dari hidungnya menempel lembut di layar.
“Assalamu’alaikum, Kak Fahmi.”
“Wa’alaikumsalam. Bagaimana kabar di rumah?”
“Alhamdulillah, semua sehat. Kakak?”
“Alhamdulillah.”
Senyum manis adiknya cukup mengobati kerinduan Fahmi. Dia melirik jam dinding.
“Rini, kakak tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi harus cepat berangkat kerja,” sambungnya.
“Kak Fahmi selalu begitu. Baru juga tersambung, sudah mau ditutup,” semprot gadis itu.
Mulut tipis kemerahan di layar yang tadinya tersenyum lebar berubah mengerucut. Matanya yang lebar memicing.
Fahmi tersenyum melihat perubahan wajah adik perempuannya.
“Dua bulan lagi Kakak kan pulang. Nanti di rumah kita akan puaskan bicaranya, ya?”
Belum juga gadis cantik itu membalas, celetukan dari ruang samping membuat mulut Fahmi mengerucut.
“Itulah kakakmu, Rin. Selain tidak punya waktu, dia juga tidak punya hati!”
Amran muncul dengan sepiring nasi putih, telur goreng dan sambal. Disorongkannya piring dengan nasi yang mengepul ke sahabatnya. Fahmi menunjuk area kosong di meja kotatsu.
“Eh, Kak Amran. Halo, Kak.”
Rini melambaikan tangannya. Dibalasnya lambaian itu dengan kecupan cium jauh.
“Kakak juga belum berangkat?”
“Aku kan menunggu wajah cantikmu muncul dulu.”
“Ah, Kak Amran bisa saja.”
Melihat gelagat teman satu kamar yang ingin mengacaukan suasana hati adiknya, Fahmi bergerak cepat. Didorongnya bahu Amran agar tidak tertangkap kamera yang berkedip di layar.
“Sana berangkat dulu. Nanti aku susul!”
Amran terkekeh. “Jahat sekali kau calon kakak ipar!”
“Cepaaat. Atau aku tidak akan memasak untukmu besok malam!”
Pemuda seumur Fahmi itu mengangkat kedua tangannya. Sebelum berlalu dia melambaikan tangannya ke arah layar laptop.
Belum juga seluruh tangannya hilang dari layar, Rini sudah berteriak memanggil. “Kak Amran, tunggu!”
Sang kakak menekuk dahi. Ada rasa tak suka dengan sikap adiknya.
“Apa lagi, sih? Genit juga kau sekarang.”
Seperti mendapat durian runtuh, Amran menggeser tubuhnya yang tambun mendekat ke layar laptop. Mendorong pelan posisi Fahmi agar menjauh. Pemuda gemuk pendek itu menguasai seluruh teritorial sahabatnya. Menyisakan sedikit tempat duduk untuk Fahmi yang terbebat kedongkolan.
“Ada apa cantik? Masih kangen sama Kakak?”
Pipi Rini memerah. Dia menggelembungkan kedua pipi itu, membuat bibirnya yang tipis mengerucut.
“Ih, Kak Amran ge-er banget! Rini cuma ingin memastikan saja, dua bulan lagi Kak Amran ikut main ke rumah kami, kan?”
“Tentu dong, cantik. Tiket sudah terbeli. Cuma tinggal kerja keras buat cari uang saku saja, ha ha ha.”
“Asyik. Jangan lupa oleh-oleh untuk Rini, ya, Kak.”
“Beres! Untuk gadis cantik sepertimu, apa sih yang enggak.”
Amran mengaduh sambil memegangi ulu hatinya. Tulang siku sahabatnya yang sejak tadi manyun telak mengenai lambungnya.
“Sudah, aku berangkat dulu. Kakakmu ini jahat. Dia bisa membunuhku kalau aku menggombalimu terus.”
“Bye! Hati-hati di jalan Kak Amran.”
Tubuh gendut Amran bergerak malas menjauh. Diseretnya telapak kakinya yang tebal keluar dari ruangan. Pintu yang membatasi beranda sempit dengan ruangan dibiarkan sengaja terbuka. Hawa dingin masuk ke ruang dalam. Menyusup ke dalam tubuh Fahmi yang tak banyak terbebat daging. Tawa lebar Rini membuat gigitan hawa dingin yang merasuk hingga tulang tak dihiraukannya.