Yasuda Haruka menyeruput miso[1] terburu, kemudian melahap suapan terakhir nasi putih dan potongan ikan sanma. Dia berhati-hati agar sisa sup miso yang masih menempel di bibirnya tidak menetes mengotori baju putihnya. Tanpa mempedulikan kedua orang tuanya yang memperhatikan cara makannya, dia mengakhiri makan malamnya dengan ocha[2] hangat. Meneguknya sekaligus dalam sekali tarikan napas.
“Pelan-pelan makannya.”
Protes ibunya hanya ditanggapi dengan anggukan karena sisa ocha hangat masih melekat di tenggorokannya.
“Aku harus cepat berangkat. Tidak ada waktu lagi,” balas Haruka setelah berhasil menyelesaikan tegukan terakhir.
“Ke mana?” tanya Yasuda Itsuo.
Lelaki itu memutar bola matanya. Mengamati berbagai macam makanan yang tidak disentuh putrinya.
“Seminggu lagi pembukaan toko baru. Aku ingin ikut mengawasi penataannya.”
“Bukankah ada Okabe?”
Gadis itu menggelengkan kepala. Rambut yang dipotong pendek di atas tengkuk tidak berubah sama sekali akibat gerakannya.
“Ini adalah toko pertama yang kudesain sendiri. Aku tidak ingin menyerahkan penataannya pada Okabe san. Lagi pula, banyak karyawan yang masih libur tahun baru.”
Pria yang duduk di depannya ini mengernyitkan dahi. Dia mencondongkan tubuhnya yang tinggi dan tegap mendekati posisi tempat duduk anaknya yang dipisahkan meja makan yang masih dipenuhi piring dan mangkuk berisi bermacam makanan.
“Siapa yang akan membantumu? Butuh banyak tangan untuk mendekor dan menata empat puluh tiga ruangan dalam gedung itu.”
Alih-alih menjawab pertanyaan ayahnya, Haruka berdiri, mengemasi piring dan peralatan makan miliknya. Ia membawa peralatan itu ke tempat cucian piring. Tubuhnya yang mungil seperti tubuh ibunya bergerak lincah dua tiga kali bolak balik dari meja makan ke tempat cuci piring. Karpet tebal dengan kain lembut yang membalut lantai kayu membuat telapak kakinya yang terlilit stoking terasa nyaman.
“Untung tidak semua penduduk Kota Fukuoka merayakan libur tahun baru,” teriaknya menjawab pertanyaan ayahnya.
“Siapa?” teriak Hiroko.
Suara wanita itu ditelan ruangan luas nan mewah tanpa sekat. Wanita mungil itu berdiri mengemasi peralatan makan suaminya. Dia mengikuti anak perempuan satu-satunya itu yang sibuk membersihkan peralatan makan.
“Ada dua belas mahasiswa asing yang akan membantu,” jawab Haruka ringan.
“Mereka tidak libur? Pulang ke Negara asalnya?”
Haruka menaikkan kedua bahunya.
“Mereka butuh uang untuk biaya kuliah. Mungkin.”
“Hebat … Aaa, untung ada mereka,” kata Hiroko berdiri di samping anaknya.
Bulir salju turun deras membasahi kaca jendela besar pengganti dinding luar. Lima lampu yang menempel di atap memancarkan sinar terang. Membuat seluruh mebel impor dari Eropa memantulkan kembali sinar itu ke segala ruangan.
Haruka melirik jarum seharga delapan ratus ribu yen yang sedang asyik bertengger di angka romawi tujuh. Setengah jam lagi Okabe akan menunggunya dengan tatapan penuh harap agar dia segera memberi petunjuk.
“Okaasan[3]. Aku tak ikut menemani cuci piring.”
“Iya, pergi sana. Tapi jangan pulang terlalu larut,” balas ibunya.
Haruka bergegas meninggalkan peralatan makan yang diambil-alih ibunya. Bergerak cepat memasuki kamarnya, keluar lagi dengan tas tertenteng di bahu. Tubuh mungilnya terbalut blazer hitam dan celana hitam. Rambutnya yang pendek dibiarkan tak tersisir. Dia menenteng sepatu high heel hitam baru. Kalau saja raut mukanya tidak dipoles riasan sedikit tebal dan dandanan ala office lady, orang mengira dia masih anak SMA.
“Aku pergi dulu,” kata Haruka tanpa menoleh.
Sebelum dia membuka pintu yang menghubungkan ruang keluarga yang hangat dengan beranda yang dingin, teriakan ayahnya membuat gadis itu menghentikan langkahnya, “Haruka! Tunggu.”
“Apa?”