Bab 3; Lelaki Pekerja
Tidak lebih dari sepuluh menit mobil mewah merah marun memasuki pelataran sebuah gedung tiga lantai bernuansa klasik Eropa. Batu bata yang membentuk gedung itu tidak dipoles. Ditata rapi seperti aslinya. Jendela besar berkelambu memantulkan lampu terang dari dalam ruangan menembus kaca. Di banyak tempat, puluhan lampumenerangi pelataran area gedung yang bersebelahan langsung dengan jalan besar.
Tempat parkir menjorok ke dalam. Cukup menampung dua belas mobil sekaligus. Tampilan gedung berlantai tiga itu semakin mencolok kala lampu besar menerangi papan berukuran dua kali lima meter bertuliskan “Yasuda Kagu & Art Shop”.
Yasuda Itsuo, ayah Haruka, membeli gedung itu dua tahun yang lalu dari seorang pengusaha yang bangkrut. Setelah mengalami perombakan di beberapa tempat, gudang dan kantor bekas perusahaan bir itu berubah menjadi toko mebel impor dari Eropa. Toko mebel ini adalah toko kedua puluh dua yang dimiliki perusahaan Yasuda Co., Ltd, tetapi, menjadi toko pertama yang akan dikelola anak perempuan pemiliknya.
Setelah mengalami renovasi bangunan yang memakan waktu dan biaya besar, “Yasuda Kagu & Art Shop” dengan empat puluh tiga ruangan kecil sebagai tempat pameran furnitur dan handicraft produksi negara-negara Eropa itu akan membuka penjualan pertamanya beberapa minggu ke depan.
Haruka berlari kecil menghindari guyuran salju. Tas Gucci yang dibelinya saat ikut ayahnya memesan langsung furnitur yang diinginkannya di Perancis dipakainya sebagai penutup kepala. Tas warna coklat seharga satu setengah juta yen itu beralih fungsi sebagai pengganti payung di tangan gadis mungil ini.
Sebelum memasuki lobi utama gedung yang dipisahkan oleh pintu kaca geser otomatis, Haruka mengepakkan butiran salju dari jaket kulit dan sepatunya. Dientakkan sepatu high heel-nya hingga sol sepatu itu menimbulkan suara nyaring mengatasi suara teriakan lelaki yang sedang memberi instruksi pada para pekerja.
Suara teriakan lelaki itu seketika berhenti, disusul suara langkah kaki sepatu menyambut kedatangan sang majikan.
“Selamat petang. Kami semua sedang menunggu perintah Ohime-sama[1].”
Lelaki berumur belum tiga puluh tahun dan berperawakan sedang itu menyambut Haruka dengan senyum mengembang. Wajahnya tampan dengan hidung mancung dan bentuk tulang wajah yang kokoh. Dia terlihat segar di tengah amukan salju yang terus mengguyur.
“Maaf aku terlambat. Brrr, dingin sekali di luar,” balas Haruka.
Gadis mungil yang belum juga lulus dari kuliah itu segera memasuki lobi utama. Mesin pemanas yang belum dihidupkan membuatnya enggan melepas jaket.
“Tumben terlambat?”
“Aku ada kecelakaan kecil. Mobilku menyenggol seseorang.”
Sebelum pria di depannya ini memotong, Haruka sudah melanjutkan, “Tapi, tidak ada masalah. Semua sudah berjalan baik.”
“Untunglah. Ohime-sama siap memberikan instruksi?”
Haruka mengerenyitkan dahi. Mata sipit dengan alis kecil bertaut dipadu hidung kecil mancung itu berbanding terbalik dengan bibir tipisnya yang mengerucut. Kedua pipinya kemerahan menahan hawa dingin dan kejengkelan. Canda pria kepercayaan ayahnya ini tidak membuat hatinya yang masih mendongkol akan kesombongan pemuda asing yang tadi ditubruknya lumer.
Walaupun Okabe Masahiro, orang kepercayaan ayahnya dalam struktur perusahaan menduduki level manajer, tetapi Haruka sebagai anak satu-satunya ahli waris dari aset milyaran yen milik kedua orang tuanya itu masih lebih tinggi kedudukannya. Wanita mungil itu bisa saja memberhentikan Okabe. Atau memindah tugaskannya ke cabang perusahaan di luar Negeri kalau dia mau.
“Kuingatkan sekali lagi. Pertama jangan panggil aku ‘Ohime-sama’, aku tidak suka panggilan itu. Kedua, aku sedang tidak ingin bercanda,” katanya dingin.
Okabe Masahiro menunduk kecut. Wajahnya memerah. Jelas terlihat harga dirinya terluka.
Dia mengenal anak majikannya ini sejak tujuh tahun lalu. Dia yang baru lulus kuliah saat itu bekerja keras tanpa kenal lelah demi kemajuan perusahaan, demi ayah gadis ini. Memang kerja kerasnya bertahun-tahun akhirnya mendapat apresiasi dengan kenaikan pangkat yang cepat, tetapi, yang diinginkannya lebih dari sekedar pangkat. Dia ingin menggapai lebih dari itu. Semua keinginannya itu ada pada anak majikannya.
“Maafkan aku. Kamu yakin tidak sakit? Wajahmu terlihat pucat. Kau bisa menyerahkan semua pekerjaan padaku bila butuh istirahat.”
Haruka meledak. “Sudah kukatakan, aku tidak apa-apa!” Dia bukan remaja bodoh yang tak tahu sinyal perhatian lelaki ini padanya.
Haruka dulu sangat suka dengan lelaki di depannya ini. Dia merasa perhatian yang ditunjukkan Okabe merupakan perhatian seorang kakak laki-laki yang dirindukan kehadirannya. Namun ketika menginjak tahun kedua di universitas, perhatian dan pandangan Okabe berubah menjadi perhatian dan pandangan seorang pria dewasa terhadap wanita. Hal ini membuat rasa muak, sedih, dan marah berkelindan menggantikan rasa sayang seorang adik terhadap kakaknya.
Okabe menundukkan tubuhnya sembilan puluh derajat. Walau hatinya meranggas, sebagai seorang pegawai, dia tahu kedudukannya tidak sebanding di hadapan wanita ini.
“Baiklah. Ayo kita mulai.”
Haruka mengangguk pelan. Melihat lelaki yang pernah dianggap sebagai kakaknya merasa bersalah, dia jadi tidak enak sendiri. Bagaimanapun juga, Okabe telah merelakan waktu libur tahun baru untuk dirinya.
“Berapa orang yang datang?” tanyanya lemah.