Bab 4; Mencoba Bertahan
“Kalau kamu masih mau ingin bekerja, masuklah. Copot sepatumu dan ganti dengan sepatu yang sudah disiapkan.”
Seolah kerbau dicocok hidung, Fahmi melangkahkan kaki yang terasa semakin berat. Dia memandang wajah mungil di depannya. Mencari keseriusan dari kalimat yang diucapkan. Kala mendapati sorot mata itu tidak main-main, dia melepas sepatunya. Memilih ukuran sepatu yang berjejer di sebelah dalam pintu masuk. Tetapi telapak kakinya yang terlalu besar tidak ada yang cocok dengan sepatu yang tersisa.
Diliriknya Okabe. Lelaki itu mendelik. Menggerutu tak jelas.
“Okabe san, dia adalah pemuda yang aku tubruk tadi. Dia terlambat karena ulahku. Beri pemuda ini kesempatan untuk bekerja. Tanpa dipotong upahnya walau terlambat.”
Pria yang berdiri di samping Haruka itu terkesiap. Wajahnya segera berubah ramah. Senyumnya mengembang menatap Fahmi yang masih berdiri mematung. Tergopoh ia berlalu masuk ke dalam. Sebentar kemudian kembali dengan menenteng sepasang sepatu yang berukuran lumayan besar.
“Ini, coba pakai. Sepatu Tanaka. Ukuran tubuhnya setinggi kamu. Mungkin cocok.”
Okabe membungkuk. Disorongkan sepasang sepatu di tangannya itu ke kaki pemuda itu. Diangkatnya kaki kanan Fahmi, dibimbingnya sepatu itu ke kakinya.
Fahmi merasa rikuh diperlakukan seperti itu. Dia tahu pria yang sedang membungkuk dan berusaha meraih sepatu ini berusaha menebus rasa bersalahnya.
“Tidak apa-apa, Tuan. Saya bisa memakai sepatu sendiri.”
“Ah, iya, iya. Lebih baik aku meneruskan pekerjaanku,” kata Okabe tergopoh.
Haruka tersenyum melihat pemandangan di depannya. Pada dasarnya pria kepercayaan ayahnya ini adalah lelaki yang baik, tetapi, masih tidak cukup baik untuk bisa meluluhkan hatinya.
“Okabe san, kita tukar orang. Pemuda ini bekerja di bawahku, kau ganti dengan dua orang dari tempatku.”
“Ya, baik.” jawab Okabe tegas. Dia bergegas masuk dengan tergopoh.
“Nah, mana lembar arubaito-mu?”
Haruka mengulurkan telapak tangannya ke arah pemuda di hadapannya. Fahmi menyerahkan lembaran yang diinginkan wanita itu. Haruka meneliti lembaran itu. Tersenyum landai menatap Fahmi yang masih berwajah tegang.
“Oh, namamu Fahmi. Mahasiswa Kyushu Daigaku.” Haruka berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Namaku Yasuda Haruka. Kamu yakin masih kuat kerja?”
Mulut Fahmi terasa pahit. Jerit luka di siku dan pinggang tidak seberapa dibandingkan detak jantungnya yang mengeras. Dia tidak berharap bertemu lagi dengan gadis kaya dan sombong ini. Terutama tidak dalam posisi dia berharap mendapat pekerjaan darinya.
“Saya masih kuat kerja!” katanya meyakinkan gadis di depannya, sekaligus meyakinkan dirinya sendiri.
Haruka mengambil bolpoin dari saku kemejanya, memberi tanda dan catatan di lembar itu, kemudian mengembalikan lembar arubaito itu ke Fahmi.
“Oke. Kita coba dulu empat jam malam ini. Jika masih sanggup, besok kau bisa datang lagi.”
Fahmi mengangguk tegas.
“Ikuti aku. Ada dua belas pekerja termasuk kamu. Kau di bawah perintahku.”
Haruka mendekat ke arah pintu geser, menguncinya. Tanpa mengindahkan Fahmi yang masih berdiri kikuk, dia beranjak ke dalam. Pemuda tinggi kurus itu mengekor di belakang Haruka.
Di dalam toko yang sudah tersekat-sekat tembok tipis, karton berserakan di lantai. Ada yang sudah terbuka sebagian. Beberapa pemuda berwarna kulit sawo matang mengangguk saat berpapasan dengannya. Mata Fahmi tertumbuk pada sosok tambun yang melotot. Amran menggelengkan kepala. Ia mendelik jengkel melihat sahabatnya berjalan terseok-seok di belakang pemilik toko. Fahmi tersenyum masam. Mengedikkan kedua bahunya membalas delikan mata sobatnya.
“Nah, Fahmi san. Lima orang ini adalah teman-temanmu untuk tiga hari mendatang. Itu pun bila kau masih sanggup meneruskan pekerjaan ini. Mereka aku bagi dalam lima ruangan tersendiri untuk mengatur barang-barang yang sudah siap di ruangan itu. Buka kartonnya, keluarkan barangnya, buka pembungkusnya, kemudian taruh di tempat sesuai gambar yang menempel di dinding. Mengerti?”
“Hai, Wakarimashita![1]”
“Karena semua ruangan sudah terisi masing-masing pekerja, tugasmu adalah membenahi ruangan itu.”
Haruka menunjuk sebuah ruangan yang berukuran tiga kali lipat lebih besar daripada lima ruangan lain beserta puluhan karton besar-besar yang menumpuk.
“Karton-karton itu berisi sofa set dan meja yang terbuat dari kayu oak. Asli impor dari Italia. Sangat mahal sekali. Bahkan untuk ukuran orang Jepang sekali pun. Hati-hati bila membuka bungkusnya, dan saat menata mebel ini di tempat yang telah ditentukan. Bila frame kayunya tersenggol dan rusak, aku tidak segan-segan akan meminta perusaknya mengganti seusai harga barang itu berikut ongkos kirimnya. Bagaimana? Kau sanggup?”
“Sanggup, Yasuda san!” tegasnya.
“Bagus. Nah, sekarang mulailah. Jika ada pertanyaan kamu bisa memanggilku di ruang sebelah.”
“Baik.”
“Selamat bekerja. Sekali lagi, hati-hati. Itu barang-barang mahal,” kata gadis mungil itu memberi penekanan pada kata “Mahal”.
“Hai!”
Tubuh kecil mungil berambut pendek itu meninggalkan Fahmi sendiri dengan puluhan karton besar. Suara sol sepatu high heel-nya terdengar nyaring kala mengentak di lantai keramik, seolah memberi tahu Fahmi siapa yang menjadi bos di gedung ini.