Bab 5; Oligodendroglioma
Rumah sakit Kyushudai hari Senin pagi terlihat penuh. Aroma pembersih ruangan campur aduk dengan bau obat. Membuat gedung bertingkat lima belas lantai itu terasa kelam. Wajah pasien berkursi roda berlomba dengan wajah prihatin pendorongnya. Baju warna-warni milik pengunjung hilir mudik berbaur dengan baju putih milik perawat dan dokter. Pasien rawat jalan duduk rapi menunggu nama-nama mereka dipanggil.
Haruka duduk termenung di depan instalasi rawat jalan spesialis saraf. Tubuh mungilnya yang terbalut jaket merah sedikit menggigil. Rambutnya yang pendek dibiarkan terurai tanpa jepit pengikat rambut. Angin dingin yang menerobos tatkala pintu geser terbuka menguraikan rambut itu.
Duduk di sebelahnya seorang wanita sekira umur delapan puluh tahunan. Ia diam mendekap tasnya erat. Berbeda dengan Haruka yang sering membetulkan letak pantatnya, tidak tampak ekspresi gelisah di wajah nenek itu. Keriput di bibirnya berlipat kala melirik teman duduknya yang sejak tadi tak mau diam.
“Baru pertama sendirian ke rumah sakit?”
Haruka menoleh asal suara dari sebelahnya. Dia ingin memastikan nenek yang duduk di sebelahnya ini mengajaknya bicara. Melihat mata tua itu berbinar ramah, dia mengangguk tipis sambil membalas senyumnya.
“Kalau ke rumah sakit, sih, sudah beberapa kali, Nek. Betul kata Nenek, ini yang pertama kali sendiri.”
“Sakit apa?”
“Kepala saya sering pusing. Dua hari yang lalu sudah CT Scan. Hari ini janji ketemu dokter untuk melihat hasilnya. Kalau Nenek?”
Nenek itu kembali tersenyum lebar. Giginya yang masih terawat baik menyembul terbuka. Menghangatkan suasana yang menggelisahkan pengunjung di sebelahnya.
“Biasa, penyakit tua.”
“Nenek sendirian ke sini?”
“Iya. Semua anak dan cucu nenek sudah berkeluarga. Mereka tinggal di Tokyo.”
Nenek itu menghela napas panjang.
“Anak-anak muda sekarang tidak mau lagi tinggal di desa. Sedangkan jumlah penduduk Jepang semakin lama semakin menurun. Orang tua seperti nenek semakin bertambah. Entah bagaimana masa depan Negeri ini selanjutnya. Saat itu terjadi, mungkin aku sudah tidak mengetahuinya.”
Nenek itu mengganti helaan napasnya dengan nada terkekeh.
“Tenang saja, Nek. Pasti pemerintah punya jalan keluar,” kata Haruka.
Dia ikut tertawa melihat nenek di sebelahnya seolah mencemooh hidupnya sendiri.
“Itu yang aku suka dari kamu. Selalu optimis.”
Dua jempol dari nenek itu bertepatan dengan panggilan dari perawat untuk Haruka. Gadis itu menganggukkan kepalanya, berlalu mengikut panggilan perawat.
Di dalam ruangan, seorang pria berjaket putih khas petugas medis menunggunya. Senyumnya mengembang. Mempersilakan Haruka menempati tempat duduk di depan mejanya. Di belakang meja, layar putih menampilkan foto thorax kepala.
“Saya Dokter Tanaka Hideki. Silakan duduk.”
Kursi di depan meja dokter semakin membuat Haruka menggigil. Bantalan empuk kursi terasa mengeras kala didudukinya.
“Bagaimana keadaan Yasuda san saat ini?”
Haruka terdiam sebentar. Dia menatap pemilik wajah yang dipenuhi keriput di depannya. Profesor Tanaka Hideki terkenal sebagai dokter ahli saraf yang tidak diragukan lagi kemampuannya. Wajahnya sering nongol di layar televisi sebagai pembicara kesehatan. Pun tulisan-tulisannya banyak memenuhi media yang berhubungan dengan penyakit saraf. Atas alasan itulah dia mempercayakan analisa penyakitnya pada orang ini.
“Akhir-akhir ini belakang kepala saya sering sakit mendadak. Penglihatan saya juga terkadang kabur. Tapi, sakit kepala dan penglihatan kabur itu cepat menghilang seiring waktu.”
Profesor Tanaka Hideki balik menatap gadis di depannya. “Apakah ada mual dan muntah? Terutama di pagi hari?”
“Iya, Dok. Tapi tidak terlalu sering.”
Dahi sang profesor yang dipenuhi kerut ketuaan semakin berlipat. Dia berdiri membalikkan tubuhnya. Menunjuk foto rontgen yang ada di layar di belakangnya.
“Ini hasil foto rontgen dan CT Scan milik Anda. Ada benjolan di dalam otak. Menurut analisa saya, Nona terkena gejala penyakit Oligodendroglioma.”
Keduanya diam sejenak. Haruka bukan mahasiswa kedokteran atau biologi yang langsung paham dengan istilah asing. Menuntaskan pertanyaan yang bergelayut di wajah pasiennya, Tanaka Hideki berusaha menjelaskan dengan Bahasa yang lebih sederhana.
“Oligodendroglioma adalah tumor langka yang berkembang di sel glial atau oligodendrosit. Sel ini menghasilkan selubung myelin yang memiliki banyak lapisan lemak untuk melindungi saraf di otak dan sumsum tulang belakang. Umumnya membawa prognosis yang lebih baik bila dibandingkan dengan astrositoma.”
Haruka tetap terpaku pada gambar foto rontgen di depannya. Keterangan tentang penyakit dan penampilan foto tidak membuatnya mengerti dengan penyakit yang dideritanya.
“Bisa disederhanakan, Dok?”