NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #6

Bab 6; Kesempatan Emas

Reina menepuk tangan sahabatnya. Menganggukkan kepala, berdiri tegap. Mata cantiknya mengitari semua yang hadir. Sorot lampu yang tadi temaram berubah terang. Rupanya sang Profesor yang tersinggung ingin mempermalukan gadis-gadis ini. 

“My name is Tanaka Reina, and I’m from Economic Faculty. I like hermes, louis vitton, cartier, and other luxurious things. Of course, I’m also fond of Ferrari, Porsche, Benz too. And for you gentlemen, I’ll be glad to spend my time with you who are able to provide me with all those things!”

Para hadirin tidak menyangka gadis tinggi semampai yang cantik itu bisa melafalkan Bahasa Inggris dengan sangat fasih. Senyum ejekan yang tadi membayang berubah menjadi pekik kekaguman. Suitan panjang susul menyusul mengubah suasana yang tadi penuh kekakuan menjadi gegap gempita.

Calm down, calm down!” teriak Profesor menenangkan teriakan kekacauan yang didominasi mahasiswa laki-laki. 

“So, what is your question, Young Lady?” susul professor.

Reina tak peduli dengan perintah Profesor. Kepercayaan dirinya semakin melambung. Sorot matanya mengitari seluruh ruangan. Memindai cowok-cowok ganteng tak peduli mereka berasal dari bangsa mana. 

Sang Profesor sepertinya telah salah pilih orang. Kekuasaan mutlak yang tadi digenggam atas kelas ini telah dikudeta seorang gadis muda. Dia tak sanggup lagi menenangkan suitan dan teriakan yang terus beriringan di seantero hall

Sahabat Haruka itu menatap lurus ke arah panggung di mana sang Profesor mengusap dahinya yang berkilat karena peluh. 

My question is, what is the correlation of global economy recession with those luxurios things I’ve mentioned before?”

Tentu saja pertanyaan yang akan mudah dijawab oleh sang profesor ahli ekonomi. No problem. Reina telah membalikkan keadaan. Tak peduli seberapa penting dan seberapa susah pertanyaan yang diajukan, dia sudah bisa menarik perhatian para mahasiswa dengan Bahasa Inggris dan kecantikannya. Mengubah perhatian itu menjadi senjata untuk membuat sang profesor kehilangan legitimasi di hadapan para mahasiswa. 

Satu setengah jam kuliah berikutnya yang dihantarkan Sang Profesor tak lagi sama. Suasana kelas sudah tidak hening lagi. Perhatian para mahasiswa berganti menjadi tatapan ke layar ponsel masing-masing. Mereka kasak-kusuk sambil mencari sosok “Tanaka Reina, mahasiswi tingkat akhir fakultas ekonomi” di facebook, Instagram, dan segala layanan media sosial lainnya.  

Kala pelajaran usai, Haruka cepat mengemasi buku catatan dan peralatan tulis, memasukkannya ke dalam tas. Matanya tak bisa lepas dari sosok yang terlebih dahulu beranjak meninggalkan ruang kuliah. Pemuda itu berjalan cepat diikuti sahabatnya yang gemuk. Tergesa meninggalkan ruangan tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya. Dia tak peduli lagi Reina yang telah dikerubuti para fans dadakan. Disibaknya mahasiswa yang mengerubungi tempatnya. Setengah berlari dia mengejar Fahmi yang berjalan cepat menyusuri taman di depan ruang perkuliahan. 

“Tunggu! Fahmi san, tunggu!” teriaknya.

Seolah telinga pemuda itu pekak, dia terus berjalan cepat tanpa peduli teriakannya. Sahabat di belakang pemuda itu juga tidak memperlambat langkahnya. Haruka berlari kecil dengan napas memburu mengejar pemuda itu. Dia menyalip dua mahasiswa asing itu, mencegatnya, menghalangi langkah mereka. 

Mata Haruka menyusuri tubuh tinggi kurus di hadapannya. Fahmi menatapnya lekat.

“Ada apa Nona Yasuda?”

Haruka tersenyum senang. Napasnya yang memburu tidak sia-sia mendengar Fahmi masih mengingat namanya.

“Aku ingin bicara.”

Fahmi mengernyitkan dahi. Helaan napas berat keluar dari hidungnya yang mancung. 

“Saya ada arubaito setengah jam lagi. Maaf, saya harus cepat-cepat pergi.”

Haruka mengeluarkan buku catatan dan bolpoin. Menuliskan nomor ponselnya, merobek lembar catatan itu, dan menyorongkannya ke Fahmi.

“Lima ribu yen untuk satu jam!” katanya di sela napas yang masih memburu.

“Apa ini?”

“Nomor ponselku. Arubaito. Mengajariku komputer. Satu jam lima ribu yen!”

Pemuda berkulit coklat itu memicingkan matanya. Dia masih tak percaya dengan apa yang masuk ke gendang telinga. Amran yang berdiri di sebelahnya terbelalak.

“Bagaimana Yasuda san tahu saya bisa komputer?”

“Itu!” 

Gadis itu menunjuk tanda pengenal yang masih melekat di jaket Fahmi.

Fahmi tersenyum dingin. Dia melepas kartu tanda pengenal yang tertulis nama dan jurusan Sistem Informasi. 

Tatapan pemuda itu beralih ke sobekan kertas di tangan Haruka, kemudian ke arah gadis mungil yang masih menatap dengan pandangan penuh harap. 

Fahmi menerima sobekan kertas itu. Memasukkannya ke dalam saku jaket. “Saya akan pertimbangkan. Tapi maaf, tidak untuk hari ini. Karena seharian ini jadwal arubaito saya sudah penuh.”

Kalau saja pemuda di hadapannya ini tidak mengusik malam-malamnya, bibir Haruka akan penuh dengan semburan cercaan karena kesombongan jawaban pemuda itu. Dia tahu berapa yen yang akan diterima dari baito kuli angkut yang akan didapatkan pemuda ini. 

Alih-alih marah, bibir tipis Haruka merekah. Pipinya pucat memerah menahan hawa dingin. 

“Besok juga boleh. Iya atau tidak, kutunggu teleponmu hari ini. Oke?”

Fahmi mengangguk. Tanpa mengucap salam dia meninggalkan Haruka diikuti Amran yang mengekor dengan menggelengkan kepala. 

Haruka menatap sosok tinggi kurus itu hingga hilang di tikungan. Hatinya diliputi ribuan perasaan tak menentu. Senang karena bisa bertemu lagi dengan pemuda yang selama ini terus membayang di kelopak matanya, jengkel karena untuk pertama kali dalam hidupnya diperlakukan dingin oleh seorang lelaki. Pemuda asing pula. Kalau saja pemuda itu bekerja di perusahaannya, dia akan membebankan pekerjaan yang tak akan sanggup ditanggungnya. 

Chikisso![1]”

Entah pada siapa umpatan itu ditujukan. Pada Fahmi, atau pada diri sendiri yang tak bisa memungkiri sedang terjerat beragam rasa.

***

Pemuda itu merebahkan tubuhnya yang tambun terlentang di atas tatami. Kakinya dimasukkan ke bawah meja kotatsu hingga paha. Kedua tangannya merentang ke atas. Perutnya yang gendut tertutup selembar selimut tipis membentuk gunung kecil. Matanya terbuka menatap atap putih, seolah mencerna kekuatan lampu led sebesar dua puluh watt yang tidak terlalu terang.

“Berapa menit lagi, Mi?” teriaknya pelan tak bertenaga.

 “Sebentar. Paling juga lima menit,” balas sahabatnya dari dapur.

Asap yang dihasilkan dari penggorengan membuat hidung Amran kembang kempis. Kedua tangannya yang tadi terlentang ditangkupkan di atas perut. 

“Lama sekali. Dua menit lagi kalau belum matang, tolong panggil ambulans,” rengeknya.

Fahmi yang sibuk di dapur tertawa. Suara penggorengan bersahutan dengan ledakan minyak mendidih membuat konsentrasinya beralih dari lenguh Amran ke bagian tubuh ayam yang meledak. 

Lihat selengkapnya