Bab 7; Rasa Yang Pertama
Selama perkuliahan, konsentrasi Fahmi terus melayang tak menentu. Berkali-kali dia melirik arloji pemberian ibunya. Detik-detik berjalan sangat lambat. Detail perjumpaan awal dan perjumpaan berikutnya dengan Haruka terus membayang. Membuat tak satu pun materi kuliah masuk ke otaknya. Kala dosen mematikan laptop dan menyibak tirai jendela ruang kelas, Fahmi keluar terlebih dahulu. Tas ranselnya dipenuhi laptop dan buku ajar. Terasa semakin berat bersama beban rasa yang menggelayut di pundaknya.
Dia tidak tahu kenapa detak jantungnya terus berdebar. Persendian tulangnya serasa kaku, langkahnya terasa berat. Sosok gadis dengan bibir tipis, hidung mancung, rambut pendek serta mata sesipit matanya itu terus membayang di kelopak mata. Apa yang dirasanya saat ini menakutkan sekali. Membuatnya tak mampu berpikir jernih. Mengubah hatinya yang selama ini nyaman dengan kekosongan menjadi penuh carut marut perasaan. Kalau saja dia tak ingat prinsip yang ditanamkan almarhum ayahnya, bahwa sekali kalimat terucap betapa pun berat rintangannya harus dihadapi, ingin ditelepon gadis itu untuk membatalkan janjinya.
Butuh waktu kurang lebih setengah jam dengan kereta bawah tanah untuk sampai di restoran unagi tempat pertemuan. Hari kerja di jam mendekati istirahat, stasiun kereta bawah tanah mulai penuh. Perjalanan kereta di mulai dari stasiun Hakozakikyudai-Mae. Kereta itu berhenti di setiap stasiun yang dituju, kemudian menurunkan dan menaikkan penumpang tanpa kenal lelah. Dia membayangkan, bila saja suatu hari seluruh wilayah Indonesia bisa dipasang rel kereta bawah tanah, tak perlu lagi dia berimpitan di mikrolet.
Kereta terus melaju melewati Chiyokencho guchi dan Gokufumachi tanpa mempedulikan lintasan harapan akan kemajuan Indonesia. Tatkala kereta menurunkan kecepatan mendekati stasiun Nakasu Kawabata, dia berdiri di depan pintu, siap menjadi pemenang pertama lomba menapakkan kaki terlebih dahulu di stasiun itu. Dia hanya punya waktu sepuluh menit dari stasiun Nakasu kawabata hingga Restoran Yoshizuka Unagiya. Perutnya yang sudah diisi penuh pagi tadi tak menjerit lagi walau jam makan siang sudah mulai berdentang. Seperti apa yang telah disampaikannya ke Amran, dia hanya akan memesan air putih. Makan siang menghabiskan hampir dua ribu yen terlalu mewah baginya.
Kaki Fahmi dipaksa setengah berlari agar tiba tepat pada waktunya. Ransel dipunggungnya berderak saat dia berlari mendaki jembatan Hakata yang membelah sungai Nakasu. Café Hakata Taichaya dilewatinya tanpa peduli bau harum masakan dari café itu menggelitik perutnya. Jalan Hakatagawa dilaluinya dengan kecepatan penuh. Untung musim dingin, sehingga tubuhnya tidak bermandi peluh yang membuat penampilannya akan terlihat kusam. Namun, diusirnya pikiran itu jauh-jauh. Sejak kapan dia peduli akan penampilan sebelum bertemu seorang gadis?
Yang dituju sudah terlihat di depan mata. Bangunan mewah tiga lantai yang terkenal seantero Jepang sebagai restoran yang menyajikan berbagai masakan Unagi itu terasa tidak cocok dengan penampilannya yang sedikit dekil. Tak ada waktu lagi untuk berbenah penampilan ketika pandangannya tertuju pada Mercedes merah dua pintu yang sudah nangkring di halaman parkir.
Yasuda Haruka sudah menunggunya di dalam.
“Irasshaimase[1]!” pekik karyawan perempuan saat daun pintu bergeser terbuka.
Dia menganggukkan kepala. Menyebutkan nama gadis yang akan ditemuinya. Entah karena sudah reservasi sebelumnya, atau gadis itu memang memasukkan restoran ini sebagai salah satu tempat favorit kulinernya, pelayan restoran yang tadi menyambutnya mengangguk ramah padanya. Mengantarnya ke sebuah ruangan khusus.
Pandangan Fahmi menyusuri suasana ruangan yang masih sepi. Terdapat puluhan meja dan ratusan kursi yang sebagian besar masih tak berpenghuni. Pelayan itu mengetuk pelan pintu geser sebuah ruang VIP. Sebuah suara perempuan yang beberapa hari ini kerap menyapa terdengar dari luar. Memintanya untuk masuk ke dalam.
Haruka duduk menghadap sebuah meja besar yang cukup untuk sepuluh orang. Bau khas rumput igusa sebagai pembentuk lantai tatami menyapa hidung Fahmi.
“Maaf membuat Yasuda san menunggu.”
Haruka menggeleng. Rambutnya yang pendek disisir rapi. Penjepit rambut dengan mahkota kupu-kupu menghiasi.
“Aku juga baru tiba sepuluh menit yang lalu.”
Fahmi melepas sepatunya. Menata sepatu itu dengan ujung menghadap ke depan. Tubuhnya yang setinggi seratus delapan puluh senti membuatnya harus merunduk agar tidak menabrak lampu gantung di atap.
“Silakan duduk.”
“Terima kasih.”
Pemuda itu mengambil bantal kecil sebagai tatakan pantatnya agar lebih nyaman. Berhadap-hadapan dengan Haruka. Meja pembatas yang lumayan besar beserta ruangan yang hanya diisi dua orang membuat suasana sedingin cuaca di luar. Tanpa basa basi, Fahmi mengeluarkan laptop, bersiap menjalankan arubaito termahal yang pernah dilakukannya.
“Fahmi san sudah makan siang? Kita pesan makanan dulu, ya.”
Tak urung Fahmi mengikuti perintah gadis di depannya ini. Kedudukan Haruka sebagai anak pemilik perusahaan seolah sudah mendarah daging. Dia lupa bahwa pemuda yang duduk di depannya ini bukan bawahannya, walaupun dia membayar waktu yang akan dilewatkan pemuda ini untuknya.
“Mau makan apa?”
Haruka menyorongkan satu menu ke Fahmi. Mata pemuda itu terbelalak mendapati harga yang tertera di menu paling murah berkisar tiga ribu yen. Dua kali lipat dari perkiraan. Dia membolak-balik halaman menu berkali-kali, berusaha mencari yang termurah. Matanya selalu tertumbuk pada foto segelas ocha hangat.
“Eee … saya minum ocha hangat saja.”
“Tidak makan? Kan belum makan siang?”
Fahmi menjadi serba salah. Satu sisi harga dirinya terancam dilecehkan. Sisi lain otaknya juga berhitung cepat. Harga dirinya mengalahkan hitungan matematika.
“Saya Unagi bakar manis dan nasi putih dan ocha hangat,” cetusnya.
Haruka memencet bel di meja. Tidak lama kemudian pelayan yang tadi mengantar Fahmi muncul dari balik pintu geser. Haruka menyebutkan pesanan Fahmi: dua set. Satu set untuknya.
Fahmi menatap gadis mungil yang terbalut kemeja putih kasual dan celana pantalon hitam itu. Baru kali ini dia bisa mendapat gambaran jelas wajah dan penampilan Haruka. Tanpa sadar dia teringat dengan Amran. Walaupun tidak setampan dirinya, tapi mata elangnya bila menilai seorang wanita sangat cepat dan tepat. Gadis di depannya ini memang tajir. Cantik, pintar, kaya, penuh kuasa.
“Bagaimana luka Fahmi san?”
“Eh, anoo, eetoo … ah, sudah sembuh sama sekali. Luka di siku dan di pinggang saya juga sudah tidak sakit lagi.”
Fahmi gelagapan mendapat pertanyaan yang tak disangka. Matanya yang tidak terlalu sering mengamati penampilan seorang wanita seolah terpaku pada wajah Haruka. Apalagi gadis itu tersenyum lebar melihat kekakuan Fahmi. Giginya yang kecil dan tertata rapi putih berkilat tertimpa sinar dari lampu di atasnya. Pandangan Fahmi tak ingin lepas dari senyum itu, tapi bayangan ibu dan adik-adiknya yang menunggu keberhasilannya membuat dia mengalihkan sorot mata ke laptop yang sudah terbuka monitornya.
“Bisa kita mulai?” tanyanya mengalihkan haru-biru perasaannya.
Alih-alih mengiyakan, pertanyaan dari gadis yang duduk di depannya ini semakin membuatnya jauh dari kata “memulai”.
“Fahmi san umur berapa? Jangan panggil aku ‘Yasuda’, panggil saja namaku. Ha ru ka,” kata Haruka sengaja mengeja nama kecilnya.