Bab 8; Tidak Ada Masalah Tanpa Jalan Keluar
Tanpa terasa dua jam lebih Fahmi menghabiskan waktu terjebak antara surga dan neraka. Surga untuk kenikmatan yang belum pernah dirasakan selama ini, dan neraka untuk otak yang dipacu lebih keras dibanding mencerna soal ujian tersulit yang pernah dikerjakan. Akhirnya, surga dan neraka itu bertemu dalam satu titik realitas lewat helaan napas Haruka.
“Bagaimana? Kamu sudah mengerti?”
Fahmi tak kuasa menjawab. Dia hanya bisa mengangguk sementara waktu tercepat yang pernah direguknya mulai melambat. Jarum jam di tangannya menunjukkan angka dua setengah jam telah dihabiskan bersama gadis ini. Sama dengan dua belas ribu lima ratus yen jika dia menghitung setengah jam sama dengan separuh upah yang akan diterimanya. Namun, kebersamaan yang membobol pertahanan beku akan getar-getar manis yang selama ini belum pernah dirasa sanggup dibayarnya dengan tidak menerima upah sesen pun.
“Kapan bisa kumulai?”
Maksud pertanyaannya adalah: kapan bisa bertemu denganmu lagi?
“Besok?” tanya balik Haruka.
Fahmi pura-pura berpikir. Kebiasaan untuk tidak menampakkan apa yang berkecamuk di hati membuat dahinya otomatis berkerut.
“Kenapa? Kamu sudah ada skedul arubaito di tempat lain?”
Sebelum kesempatan emas yang akan diraih terbang bersama keangkuhannya, Fahmi menggeleng tegas.
“Oke. Mulai besok jam enam sore?”
Haruka tertawa ceria.
Kembali Fahmi harus bergetar kala menggenggam telapak tangan Haruka yang disorongkan dari samping.
“Bagaimana? Bisa kita tinggalkan tempat ini?” tanya gadis ini.
“Ya. Aku juga harus bersiap untuk ujian besok. Skripsiku juga harus cepat kuselesaikan.”
Haruka merapikan Laptopnya. Memasukkannya kembali ke dalam tas. Fahmi beranjak menuju posisi duduknya sejak awal, di mana tasnya teronggok di depan. Bel di meja membuat wajah pelayan yang sama muncul dari balik pintu. Haruka merogoh tasnya, mengeluarkan dompet dan memberikan kartu pembayaran pada si pelayan. Fahmi pun tidak mau tinggal diam. Dia mengeluarkan selembar lima ribu yen, meletakkan di atas meja, dan mendorongnya ke depan gadis itu.
“Tidak. Aku yang bayar semua.”
Haruka mendorong balik uang Fahmi, kemudian mengeluarkan tiga lembar lima ribu yen dari dompetnya. Ia memasukkannya ke amplop putih dan menyorongkannya pada Fahmi.
Pemuda itu tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia tidak pernah makan berdua dengan wanita, dan tidak akan mau dibayari oleh orang yang baru saja dikenalnya, apalagi dibayari oleh gadis yang baru dikenalnya.
“Tidak,” jawab Fahmi tegas.
“Kenapa? Ini uangmu untuk tiga jam waktumu yang tersita. Seperti perjanjian kita. Satu jam lima ribu yen.”
Fahmi menggeleng tegas. Pandangannya berubah dingin. Rahangnya yang kokoh mengeras.
“Perjanjian kita adalah mengajarimu komputer. Tadi bukan pelajaran, tapi tukar menukar data. Aku tidak berhak atas uang itu. Pun, aku tidak mau kau membayari makananku.”
Wajah Haruka memerah. Lelaki yang baru saja duduk di sisinya dan sering mencuri pandang dari samping ini telah kembali menjadi lelaki yang ditemuinya waktu pertama kali. Dia tahu, percuma saja memaksa Fahmi menerima pemberian darinya. Untuk pertama kali dia mendapat penolakan dari seorang laki-laki atas perbuatan tulus yang dia lakukan. Kalau saja itu dilakukan anak buahnya, atau karyawan ayahnya, tanpa rasa kasihan dia akan memecatnya.
Alih-alih marah, gadis cantik itu menarik kedua bibirnya melebar. Sejak pertemuan pertama, pemuda ini telah membuatnya dipenuhi tanda tanya. Dan dia akan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu dengan membuat Fahmi menceritakan sendiri jawabannya.
Haruka menarik kembali amplopnya, menerima selembar lima ribu yen dari Fahmi, menggantinya dengan dua lembar uang seribu yen sebagai kembalian.
“Baiklah. Tapi, satu hal tolong jangan ditolak.”
“Apa?” tanya Fahmi.
“Aku ingin memberimu tumpangan hingga ke tujuanmu berikutnya.”
Tanpa berpikir sedikit pun Fahmi langsung mengiyakan. Untuk tawaran ini Fahmi tidak akan menolak. Dia manusia biasa. Sesekali dalam hidup dia juga ingin merasakan pantatnya dimanjakan jok empuk mobil mewah.
Ban mobil menggelinding perlahan meninggalkan halaman parkir. Mobil seharga tujuh belas juta yen, setara dengan dua milyar rupiah itu mengeluarkan suara halus. Langit cerah walau hawa dingin menggigit. Atap mobil terlipat ke belakang, membuat angin dingin mengelus wajah dan rambut mereka.
Berbeda dengan awal berangkat, pemuda ini merasakan sensasi bagaimana rasanya menjadi orang kaya. Dia tak perlu berpeluh berlarian menyusuri sungai Nakasu. Tak lagi tersengal kala mendaki jembatan Hakata, pun tak lagi berdesakan di kereta bawah tanah. Kuil Kushida di seberang sungai yang tadi dilewati terlihat lebih indah dari jok Mercy. Kantor pemerintahan Fukuoka-Higashi Kuyakusho yang selalu terlihat kaku, sekarang berubah menjadi penuh senyum. Bayang kesuksesan yang akan diraih bila terus belajar dan berusaha keras membuat Fahmi semakin terobsesi. Dunia serasa lapang. Matahari tersenyum kala kekayaan ada di genggaman.
“Kamu bisa menyetir mobil?”
Angan Fahmi tentang dunia yang akan digenggam terhempas oleh pertanyaan gadis di sampingnya. Speedometer mobil berkisar enam puluh kilo meter per jam. Pertanyaan Haruka terlalu jelas untuk tidak ditanggapi. Kepala Fahmi menggeleng mengikuti arah angin.
“Selepas SMA aku pergi ke Jepang. Jadi tidak ada waktu untuk belajar menyetir. Lagipula, kekuatan keuanganku tak mungkin untuk membeli kendaraan roda empat,” jawabnya jujur.
Kejujuran dan kepolosan membuat pertanyaan yang menggumpal di benaknya ikut terlontar, “Enak jadi orang kaya?”
Pipi Haruka yang merah tertarik ke samping bersama bibir yang melebar. Rambut pendek yang tertera angin ikut menyamping ketika kepalanya menggeleng.
“Seperti peribahasa Jepang, Tonari no shibafu wa aouku mieru.”
“Apa artinya?”
“The grass is always greener on the other side of the fence. Tahu kan artinya?” tanya Haruka balik sambil tertawa kecil.
Fahmi pura-pura kesal. “Kamu ingin mengetes kemampuan Bahasa Inggrisku?”
“Ya … siapa tahu? Sahabatku, Tanaka Reina, lebih pintar Bahasa Inggrisnya daripada kamu.”
Teringat kelakuan cewek cantik yang semula dikira naksir dirinya itu membuat Fahmi terbahak.
“Sahabatmu itu memang lucu.”
Haruka ikut tertawa mendengar pendapat Fahmi.
“Oh ya, arti peribahasa itu sawang sinawang”
“Dalam Bahasa Indonesia?”
“Bukan. Bahasa Jawa!” kata Fahmi terkekeh.
“Apa maksudnya?”
“Bahagia atau sengsara itu tergantung pada bagaimana cara pandang masing-masing.”
Jalanan lumayan sepi. Haruka melepas kedua tangan bertepuk tangan.
“Bagus! Ternyata peribahasamu ada yang mirip dengan peribahasa Bahasa Jepang.”
“Hati-hati!” Tak urung Fahmi terkesiap dengan kenekatan gadis di sebelahnya ini.
Kedua tangan Haruka kembali mencengkeram kemudi. Pandangannya lurus ke depan ketika mobil memasuki jalan Hakozaki-Kyudai Mae. Beberapa puluh meter lagi atap apartemen Fahmi akan terlihat.