Bab 9; Sahabat Yang Kembali
Dengan Bahasa Jepang yang fasih dan lancar, Amran menerangkan kesulitan yang sedang dihadapi teman-teman FPI-nya. Dia hanya menggunakan waktu tiga menit untuk memecahkan masalah PPI tanpa membutuhkan kalimat-kalimat rayuan seperti seles yang sedang berusaha membuat calon pembeli jatuh hati pada barang dagangannya. Di akhir percakapan, Amran mengatakan akan mengirim nomor rekening ke ponsel Haruka lewat telepon Amran.
Setelah selesai dengan hajatnya, Amran memberikan balik ponsel itu ke Fahmi dalam keadaan nada masih tersambung. Tepuk tangan meriah dari mahasiswa yang hadir membuat Fahmi harus mengetatkan bibir dan telinga dengan layar agar suaranya yang bergetar bisa terdengar.
“Halo … Ini Fahmi. Anoo … eetoo … tadi … maaf….”
Detak jantung yang tak beraturan membuat kalimat pembuka yang meluncur dari bibirnya terbata-bata. Fahmi harus menelan ludah berkali-kali agar kerongkongannya tidak tercekat.
Tawa renyah suara Haruka di seberang membuat campuran malu, khawatir, dan marah yang menggumpal di mulutnya mencair.
“Daijoubu, yo[1]. Sebaliknya, aku senang bisa sedikit membantu,” kata Haruka.
“Terima kasih banyak, Haruka san.”
“Sama-sama.”
Salam dan ucapan puluhan terima kasih yang meluncur dari bibir Fahmi mengakhiri drama satu babak.
“Selesai kan masalahnya?” tanya Amran enteng.
“Sialan!” bentaknya tertahan.
Kalau saja dia bukan sahabat terbaiknya, sudah dilempar tubuh gendut itu dengan ponsel di tangannya. Kegeraman akan kekurangajaran Amran bercampur dengan hawa menggetarkan yang meruap naik menjalari seluruh persendian nadi Fahmi. Hawa itu memabukkan. Menghangatkan.
***
Bel apartemen berdering berkali-kali. Kelelahan membuat otak Fahmi berhenti bekerja. Tubuhnya serasa diimpit beban berat. Membuat matanya enggan terbuka walau dering bel telah merusak tidur lelapnya. Gedoran di pintu diiringi teriakan sebuah suara sayup yang sangat dikenalnya memaksa kelopak mata Fahmi terbuka. Antara sadar dan tidak, suara yang tadi terdengar pelan semakin mengeras. Suara malaikat penolong yang tadi malam muncul karena dipanggil Amran.
Kaki pemuda itu menjejak selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Dengkur keras sahabat yang berbagi tempat tidur membuatnya meloncat bangun. Matanya mendapati jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang.
Hawa dingin menyergap tubuh Fahmi yang hanya dibalut celana pendek dan kaos tipis. Teriakan suara di luar membuatnya tak peduli dengan gigitan hawa itu. Pendengarannya masih belum yakin akan pemilik suara.
Tanpa mencuci muka, dia menyeret kakinya keluar kamar. Membuka pintu pembatas dengan beranda. Matanya terbelalak kala Haruka muncul dengan wajah segar kemerahan dari balik pintu yang terbuka. Tanpa rias muka. Tanpa sepatu high heel dan blazer set hitam khas pakaian office lady. Gadis di depan Fahmi terlihat lebih santai dengan celana jin biru belel dan jaket wol warna coklat tua.
“Maaf membangunkanmu!”
Uap mengepul dari mulut Haruka kala mulutnya terbuka. Tubuh mungil di depan Fahmi itu bergetar. Jaket berbahan wol tebal yang membalut tubuhnya tak mampu melindungi dari sengatan hawa dingin.
Fahmi membuka pintu apartemen lebar-lebar. Melihat tubuh gadis ini mengkeret sambil terus mengesekkan telapak tangannya yang dilapisi sarung tangan, ditambah kelotokan giginya, pemuda kurus itu tak peduli lagi dengan ruang apartemen yang amburadul. Dia bahkan lupa bahwa Amran masih mendengkur dalam selimut tebal.
“Masuk saja. Di luar sangat dingin.”
Haruka menerima tawaran Fahmi. Dia melepas sepatu, berdiri di lorong beranda sempit yang menghubungkan ruang dalam dan pintu luar.
“Terima kasih. Maaf mengganggu.”
“Nggak usah sungkan. Masuk saja. Di situ masih dingin.”
Haruka mengikuti perintah Fahmi. Gadis itu menahan tawa melihat tubuh tambun melingkar di dalam selimut.
“Mran, bangun! Ada tamu!”
Amran tetap melingkar walau Fahmi berkali-kali menggoyang tubuhnya. Merasa usahanya sia-sia, ditariknya selimut yang membalut tubuh gendut itu. Dibiarkan sahabatnya itu tetap melingkar sambil menunggu hawa dingin yang akan membangunkannya.
Fahmi meninggalkan Haruka yang sibuk dengan ponselnya. Cepat dibasuh wajahnya, tak lupa menggosok gigi. Untung tadi malam sebelum tidur dia sudah berendam di ofuro[2], jadi tak perlu repot lagi untuk mandi pagi.
Beberapa menit kemudian mesin penghangat bertenaga kecil di ruang tidur merangkap ruang tamu tak mampu lagi menghangatkan seluruh ruangan. Bahkan lemak ditubuh Amran pun tak mampu lagi membuat tidurnya nyenyak. Dua tiga kali menggeliat dan tak menemukan selimut yang telah dirapikan Fahmi, Amran bangun sambil menggerutu. Matanya masih tertutup, sia air liur di sudut bibirnya membentuk guratan putih. Hidungnya bergerak-gerak membaui aroma parfum wanita. Sebuah bau yang tak pernah ada di ruang apartemen ini sebelumnya.
Matanya terbelalak kala berserobok dengan tatapan gadis yang sedang duduk bersimpuh.
“Selamat pagi, Amran san!”
“Ah, eh, oh … Selamat pagi.”
Haruka menahan tawa melihat Amran tergopoh berdiri. Tubuh tambunnya hampir saja jatuh ke depan saat dia berusaha menunduk untuk membalas sapaan gadis itu.
“Maaf, saya tidak tahu kalau Yasuda san sudah ada di sini.”
Haruka menggelengkan kepala. Rambut pendeknya yang mulai menutupi tengkuk bergerak ke kanan ke kiri diiringi ledak tawa yang tak bisa ditahan lagi.
“Justru aku yang minta maaf telah membuatmu terbangun.”
“Oh, tidak-tidak. Saya juga sudah mau bangun tadi.”
Setengah berlari Amran menuju ruang sebelah. Fahmi masih asyik membuat ocha hangat untuk mereka bertiga.
“Ada bos begitu kenapa kamu tidak membangunkan aku, Mi?” protesnya.
Kakinya yang tembam memasuki kamar mandi. Sebentar kemudian terdengar guyuran air mengalir dari pancuran.
Fahmi muncul dengan wajah yang lebih segar. Baju tidurnya sudah berganti dengan celana jin dan baju tebal lengan panjang. Dia membuka kotatsu yang bersender di dinding, membuatnya menjadi meja untuk meletakkan tiga ocha hangat dan tiga piring kecil roti bakar.