Bab 10; Refleksi Kebersamaan
“Kamu harus lebih banyak makan. Pinggangmu hanya tinggal tulang tanpa daging. Lenganku terasa sakit.”
Fahmi mendengus kesal. Gadis yang dibonceng tertawa lirih. Tidak seperti dirimu yang segala keinginanmu langsung bisa kaudapatkan, pinggang inilah yang telah membuat adik-adikku bisa sekolah tinggi, batinnya.
“Kau sudah punya pacar?”
Fahmi menggeleng.
“Pernah pacaran?”
Kembali dia menggeleng.
“Asyik. Aku wanita pertama yang memeluk pinggangmu!”
Kalau saja Haruka bisa melihat wajah Fahmi, dia akan terbahak melihat pemuda dua tahun di atas usianya ini memerah. Mulutnya berkecumik tak tahu apa yang diucapkan. Walau hawa dingin menggigit, peluh deras mengguyur dahi.
“Kenapa kau tidak pernah pacaran?”
“Aku tidak punya waktu,” dengus Fahmi di sela kayuhan kaki.
“Padahal kamu lumayan tampan. Kata Reina chan, kamu seperti artis Jepang. Kitamura Takumi, tapi, versi kulit sawo matang.”
Fahmi tertawa lirih. Bayangan sosok sahabat Haruka yang super cantik dan centil itu melintas di benaknya. Entah sedang apa dia sekarang? Mungkin sedang bercengkerama dengan cowok-cowok tampan yang bisa mengguyurnya dengan barang-barang mewah.
“Kamu sudah punya pacar?”
Akhirnya pertanyaan yang selama ini terus bergelayut di benak Fahmi terlontar. Kesempatan yang bagus. Bukan dia yang memulai percakapan ini.
“Bagaimana menurutmu?”
Diarahkan setir sepeda ke timur. Di depan terbentang Taman Hakozaki Ichi-Go. Taman kecil dengan beberapa pohon tak berdaun itu tertutup salju. Pemuda itu mempercepat kayuhnya, berharap satu nama yang keluar dari mulutnya hilang ditelan sepinya taman.
“Bagaimana dengan Okabe san?”
Gadis di belakang tergelak. Lengannya semakin erat melingkar di pinggang Fahmi. Entah karena takut jatuh, atau memang nama yang meluncur dari mulut pemuda itu menggelikan.
“Kenapa dengan Okabe?”
“Pria itu kelihatannya mencintaimu.”
“Dari mana kamu tahu? Bukankah orang yang belum pernah pacaran seharusnya tidak tahu gelagat lelaki yang sedang jatuh cinta?”
Fahmi merasa seperti pencuri yang tertangkap basah. Terpaksa dia mengaku. “Kata Amran,” bisiknya lemah.
“Ha ha ha. Temanmu itu memang penuh kejutan. Terbalik! Seharusnya kamu yang punya banyak pacar, dan dia yang tak laku.”
Toko pusat Yakult wilayah selatan dilewati tanpa menjawab ejekan Haruka. Fahmi mencari topik pembicaraan yang menarik selain membahas kesendiriannya.
“Tidak capek?” teriak Haruka.
Fahmi menggeleng.
“Kalau capek biar aku yang menggantikan,” susul gadis itu kembali.
Masih lima belas menit lagi sampai di tujuan yang diinginkan.
“Mau ikut bantu mengayuh?” usul Fahmi.
“Bagaimana caranya?”
Fahmi mengangkat kaki kanan dari pedal. Meletakkan kaki itu di atas batang tengah. Dia tetap mengayuh pedal dengan kaki kiri. Membiarkan pedal kanannya kosong.
“Tuh, ada pedal kosong,” katanya.
“Pintar juga kamu mengambil kesempatan,” teriak Haruka.
“Maksudmu?”
“Kakiku kan pendek. Maka aku harus merapatkan tubuhku ke punggungmu agar bisa mengayuh satu pedal lagi.”
Sebelum Fahmi menyadari kesalahan tawarannya, gadis di boncengan itu sudah memepetkan tubuhnya ke punggung Fahmi. Tanpa kikuk merapatkan pelukannya. Haruka menjadikan pelukan itu sebagai tambahan tenaga agar kaki kanan bisa mengayuh pedal yang kosong.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Fahmi. Kalau saja dia belum sarapan, rasanya dia akan pingsan sejenak.