NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #11

Bab 11: Keras Kepala

Bab 11: Keras Kepala

Pembukaan toko baru yang dikelola Haruka berjalan sangat meriah. Semua undangan ternganga akan barang-barang yang ditampilkan. Decak kekaguman berpendar akan dekorasi dan penataan ruangan. Tidak mudah menata empat puluh tiga ruang dengan konsep yang berbeda. Masing-masing ruang disekat partisi tipis. Penerangan berbagai warna menonjolkan ciri khas furnitur dari berbagai negara. 

Furnitur dari Italia, Perancis, Inggris, Jerman mendominasi sebagian besar produk yang dipamerkan. Butuh satu tahun setengah bagi Haruka memberi sentuhan konsep yang berbeda dengan toko lain. Dia berharap pembeli bukan hanya terpuaskan dengan desain furnitur yang kekinian, tetapi juga bisa mendapatkan harga terjangkau untuk furnitur impor berkelas. 

Fahmi dan Amran ikut sibuk dalam momen besar itu. Penampilan keduanya dalam balutan jas lengkap ditunjang penguasaan Bahasa Jepang yang nyaris sempurna membuat mereka gampang berbaur dengan karyawan Jepang lainnya. Di perhelatan besar itu, untuk pertama kali Fahmi bertemu dengan ayah Haruka. 

Pria berusia kisaran setengah dasawarsa itu sempat terkejut mendapati orang asing yang bergabung sebagai penerima tamu. Kesibukan melayani banyak tamu membuat mereka hanya bertatap mata sekilas. Namun, sekilas itu pun cukup bagi Fahmi untuk mengetahui arti hubungannya dengan Haruka di masa depan. Api berkobar yang terpantul dari sorot mata lelaki itu memberi tahu bahwa kehadirannya tidak diterima. Angan yang sempat melambung tinggi kala berdua dengan Haruka terjun bebas.

Saat ada kesempatan berdua dengan Haruka, dia menyampaikan apa yang dirasa. Gadis itu hanya menjawab kekhawatiran Fahmi dengan senyum ramah. Memintanya untuk bersikap seperti biasa. Bekerja seperti biasa. Bukan ayah Haruka yang akan berkecimpung di toko itu. Semua keputusan dan pengelolaan sudah diserahkan ke anak gadisnya. Campur tangan dalam pengelolaan manajemen mempunyai dampak yang tidak kecil. Selain kehilangan konsep baru yang sudah dibentuk, dia juga akan kehilangan anak sekaligus ahli waris perusahaan. 

Seminggu setelah pesta pembukaan toko yang sukses, Yasuda Itsuo duduk menyilangkan kakinya yang panjang di atas sofa. Dia tenggelam melahap angka-angka saham yang tertera di koran Nikkei. Sesekali tangannya membetulkan letak kaca mata yang nangkring di hidungnya yang mancung. Mendekatkan kepalanya ke angka tersebut bila dirasa tulisannya terlalu kecil. Helaan napas dua tiga kali keluar dari hidungnya sembari gerutuan yang tak jelas. 

Haruka yang duduk di kursi ruang keluarga menatap televisi layar lebar yang menyiarkan tembang kenangan. Wajahnya datar. Tatapannya kosong. Alunan lagu indah malah membuat jiwanya merambah ke tempat lain.

“Ekonomi global semakin lama semakin terpuruk. Ditambah yen melemah terhadap dolar Amerika. Entah sampai kapan perusahaan kita bisa bertahan,” dengus Itsuo kesal.

Hiroko, istrinya, berjalan pelan menghampiri meja di depan suaminya. Meletakkan kopi hangat beserta camilan di atasnya. 

“Ada masalah dengan perusahaan?” tanyanya.

Suaminya menggeleng. 

“Terima kasih,” kata Itsuo mendapati kopi mengepul di atas meja. 

Dilipatnya koran itu, diletakkan di tempat semula. Sebelum uap panas yang mengepul dari kopi menghilang, diseruputnya minuman berkafein itu dengan tarikan berat. Dia berharap pikiran yang mengganggu lenyap bersama tarikan napas. 

“Untunglah aku sudah memprediksi keadaan ini lima tahun lalu. Aku memotong rantai bisnis. Tanpa melewati broker atau distributor, aku langsung beli dari pabrik. Memang ada risiko, tapi Okabe sanggup meminimalkan risiko itu.”

“Pemuda itu memang hebat. Seperti kamu waktu muda.” Hiroko tertawa renyah.

“Tidak hanya Okabe. Aku juga ikut berperan,” celetuk Haruka. 

Gadis itu mematikan layar televisi, berpindah duduk di sebelah ayahnya. 

“Iya. Kamu juga hebat. Apa yang dulu ingin kulakukan, sekarang kau yang melakukannya,” kata Hiroko.

Anak perempuan itu menatap ibunya. Terdengar dengus pendek dari ayahnya. 

Otoosan tidak mengizinkan Okaasan ikut campur tangan?” Haruka menoleh ke pria yang duduk di sebelahnya. 

Yang ditengok membuang muka pada korden besar yang menutup kaca dinding rumah. Dia tidak menjawab pertanyaan anaknya, dan mencari pembenaran akan keputusan yang diambil pihak pendahulunya itu di gambar bercorak coklat yang mewarnai gorden. 

“Kakekmu tidak memberi izin. Menurutku itu keputusan yang tepat. Menyerahkan semua bisnis ayahku ke tangan menantunya,” bela Hiroko.

Dia menoleh ke suaminya. “Iya, kan?” tanya Hiroko meminta ketegasan suaminya yang masih termangu di sebelah. 

Selama ini yang diketahui Haruka tentang bisnis keluarga adalah, kakek dari ibunya yang membangun bisnis ini mulai kecil. Ketika toko furnitur yang dimiliki menginjak angka sepuluh, dia menyerahkan kendali perusahaan pada sang menantu. Pilihannya memang tepat. Itsuo sanggup menerima tanggung jawab itu, dan membesarkan bisnis perusahaan hingga mencapai tiga puluh lebih toko yang tersebar di kota-kota besar di Jepang. Haruka tidak pernah mendengar bahwa ibunya, anak tunggal dari kakeknya, juga punya keinginan untuk meneruskan tanggung jawab ayahnya. 

“Jaman sudah berubah. Aku tidak ingin Otoosan mewariskannya pada suamiku kelak. Aku yang akan meneruskan perusahaan ini,” kata Haruka tegas.

Pria yang duduk di sebelah anaknya itu terkesiap, kemudian tergelak. 

“Tentu saja jaman sudah berubah. Kamu yang akan meneruskan bisnis ini. Untuk itu kamu harus banyak belajar. Okabe yang akan membantumu.”

Mendengar nama pria itu dipuji setinggi langit membuat Haruka mual. Tidak ada yang salah dengan lelaki itu. Tampan, penuh semangat, pekerja keras. Namun sejak kemunculan Fahmi, rasa tidak suka kepada lelaki itu semakin meningkat tajam. Pun, seiring waktu studi yang mendekati selesai, Haruka merasa bawahan ayahnya itu semakin aktif mendekati kedua orang tuanya. 

Alih-alih menggerutu, Haruka mendiamkan nama pria itu dipuji-puji. Walau sebenarnya hatinya meranggas. Ada yang ingin disampaikan ke ayahnya. 

“Kukira ada satu yang kurang dengan toko baru itu,” cetus Haruka.

Ayahnya yang akan beranjak masuk ke kamar mengurungkan niat. Menoleh ke anak perempuan satu-satunya. “Apa yang kurang?” 

“Tidak ada furnitur dari Asia,” jawab Haruka.

Ibunya berdiri, membawa gelas kopi yang sudah tak berisi lagi ke dapur. 

“Ada juga yang dari China, kan?”

“Maksudku dari Asia Tenggara. Vietnam, Tailan, atau Indonesia, misalnya.”

Itsuo terdiam. Otaknya berkelindan cepat merambah semua toko yang dimiliki. Memang sengaja dia tidak menempatkan furnitur atau handicraft dari Negara Asia Tenggara. 

“Furnitur dari Asia Tenggara tidak memiliki kualitas bagus. Memang harganya murah, tapi harga saja tanpa ditunjang kualitas dan model yang bagus tidak cocok bagi toko kita.”

“Tapi, aku ingin mencoba memberi sentuhan berbeda di toko yang kukelola. Dua atau tiga ruang bisa kuisi dengan Furnitur Asia Tenggara,” desak Haruka.

Lihat selengkapnya