Bab 12; Sambutan Ramah
Pendingin ruang Bandara Surabaya menderu keras. Sementara di luar bandara hujan mengguyur deras. Menambah hawa di ruangan mendekati musim gugur Jepang. Walaupun tubuh Fahmi sudah terbiasa dengan hawa dingin Fukuoka, tetap saja menggigil menahan gigitan dinginnya. Dia terlalu jemawa untuk tidak memakai jaket.
Para penjemput berdesakan melonggokkan kepala. Amran sedang asyik dengan ponselnya. Sesekali dia menjauh untuk menelepon seseorang. Adik Fahmi, Rini, ikut merasakan ketegangan kakaknya. Beberapa kali kepalanya mengikuti gerakan Fahmi meneliti satu persatu wajah asing yang keluar dari gerbang kedatangan.
“Pesawatnya sudah mendarat, kan?” tanya Rini meyakinkan kakaknya.
Puluhan penumpang sudah berhamburan keluar. Namun yang ditunggu masih juga belum terlihat batang hidungnya.
“Orangnya bagaimana sih, Kak?”
“Yang satu kecil mungil, satunya lagi tinggi semampai.”
“Dua-duanya teman Kakak?”
Fahmi mengangguk tipis. Dia yakin Haruka telah menjadi temannya. Entah dengan Tanaka Reina. Sekali dia bertemu dengan gadis itu di Hall kuliah bersama. Gadis cantik dan penggoda.
“Untuk apa mereka mengunjungi tempat kita?”
“Aku sendiri juga tidak tahu. Katanya sih mampir saja setelah membeli furnitur dan handicraft di Bali.”
“Oo, mereka pengusaha?”
“Ya, si Yasuda Haruka. Tanaka Reina hanya menemani saja.”
“Ke Malang mau beli furnitur apa?”
Fahmi mengedikkan bahu. Susah menebak apa yang ada di dalam pikiran Haruka.
Ketika di Bandara Fukuoka, sebelum terbang dengan pesawat berharga tiket paling murah sedunia, untuk ketiga kalinya gadis itu menelepon. Senyampang Fahmi ada di Indonesia, Haruka menegaskan bahwa dia ingin mampir ke kampung halamannya. Fahmi pun menegaskan dia menyambut dengan senang kedatangan Haruka, tapi mengingatkan gadis itu bahwa tidak ada yang istimewa di kotanya. Terutama, untuk temannya, “Tanaka Reina”. Kala Haruka meyakinkan Fahmi bahwa kedatangannya selain untuk melihat keindahan alam di Kota Malang dan sekitarnya, sekaligus melakukan perbandingan furnitur di pulau Jawa dan Bali, Fahmi hanya mengiyakan dengan beribu pertanyaan yang membelit benaknya.
Ketegangan dan kejengahan silih berganti meluap. Membuat hatinya terbelit rasa yang berubah-ubah. Satu sisi dia senang bisa bertemu gadis itu menghabiskan tiga hari di kampung halamannya. Namun, di sisi lain dia takut setelah gadis itu mengetahui keadaan keluarganya ia menjauh.
“Sudah datang?” tanya Amran dari belakang.
“Belum. Padahal mereka tidak melewati petugas imigrasi.”
“Langsung dari Bali, kan?”
Fahmi mengangguk.
Seperti dirinya, sahabatnya itu terbelit ketegangan yang aneh. Berkali-kali dia menjulurkan lehernya yang besar melongok ke segala arah. Kadang berkeliling dari ujung ke ujung ruang kedatangan untuk memastikan dua wanita Jepang itu tidak tersesat. Bagi Amran, kunjungan Haruka dan Reina mempunyai arti tersendiri. Pemuda asal Jawa Tengah itu terpaksa merelakan waktu bersama keluarga tersedot beberapa hari untuk menemani Fahmi. Keberlangsungan arubaito di toko Haruka menjadi taruhannya.
“Kak Amran juga kenal dengan dua gadis itu?”
Amran mengalihkan pandangannya ke Rini. Pipinya yang gemuk melebar bersama senyumannya.
“Tentu saja kenal. Bahkan, cewek yang cantik itu pernah dekat sama aku.”
“Bohong. Jangan percaya omongannya, Rin. Untuk mendapatkan Tanaka Reina, Amran bagai pungguk merindukan bulan.”
“Menghina kau! Kita lihat saja nanti!”
Rini terbahak. Baru kemarin sahabat kakaknya itu menyaba rumah, tetapi, dia langsung akrab dengan seisi keluarga. Ibunya langsung memberi kode-kode khusus ke Amran untuk mendekati anak perempuan satu-satunya.
“Itu mereka!” pekik Amran.
Dua sosok wanita mendorong troli penuh bagasi melangkah pelan. Keduanya memakai kaos oblong bergambar sawah dan pantai bertulis “Bali”, celana tiga perempat, dan sandal pantai. Topi dari pandan caping lebar menutup sebagian besar wajah keduanya. Kulit Haruka dan Reina yang sebelumnya putih bak pualam berubah coklat kemerahan.
Fahmi dan Amran melambaikan tangan. Disambut dengan senyum lebar oleh dua gadis itu.
Fahmi menundukkan tubuhnya diikuti Rini yang sudah banyak belajar kebudayaan Jepang dari kakaknya.
“Selamat datang di Pulau Jawa,” sambut Fahmi.
Kedua gadis itu berkali-kali mengangguk bergantian. Fahmi mengenalkan adiknya. Kedua cewek Jepang yang pertama kalinya menginjak tanah Jawa itu menyambut uluran tangan Rini.
“Rini desu.”
Tanaka Reina tertawa lirih. Kulit pipinya sedikit mengelupas akibat terbakar matahari pantai Bali.