Bab 13; Sepenggal Surga di Bumi
Reina terus menatap foto itu. Gadis itu menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. “Betulkah?”
“Ada apa?” tanya Rini dalam Bahasa Inggris.
“Itu adikmu?” tanya Reina memastikan lagi.
Rini mengangguk pelan, enggan menjawab. Dia meletakkan empat gelas es teh di atas meja.
“He’s so cute, so sexy.”
Reina tak peduli dengan keengganan yang merebak di wajah Fahmi. Menatap terus foto Rio seolah harimau sedang mendapat binatang buruan.
“Di mana dia sekarang?” tolehnya ke Fahmi.
Pemuda itu menarik napas panjang, mengeluarkan pelan. “Entah. Dua hari ini dia tidak pulang. Katanya menginap di rumah temannya. Persiapan manggung Sabtu ini.”
Reina mengernyitkan dahi. “Berarti kami masih di sini. Bisa lihat band-nya?”
“Iya. Aku juga ingin lihat,” timpal Haruka.
“Kita lihat saja nanti,” balas Fahmi malas.
Percakapan tentang Rio buyar dengan kemunculan Bu Asri berikut masakan pecel yang sudah digelutinya sejak muda.
“Kita makan dulu, yuk,” ajak Fahmi.
“Seadanya, ya, Neng. Makanan desa. Ini namanya pecel, makanan khas Indonesia. Kata orang-orang di sini sih, pecel ibu paling enak di lingkungan ini.”
“Mana ada kecap nomor dua, Bu?” timpal Rini jengah.
“Memang pecel buatan ibu nomor satu, kok,” bela Fahmi.
Amran tak mau kalah. Dia menukas, “Benar. Pecel buatan Ibumu memang paling enak dari segala pecel yang pernah kurasakan, Rin. Kamu harus belajar masak seperti ibumu bila suatu hari nanti ingin mendapatkan suami yang setia.”
“Apa hubungannya? Malas bicara sama kalian. Selalu saja menyerangku!”
Bu Asri, Fahmi, Amran tertawa melihat perubahan wajah Rini.
Dua gadis Jepang itu hanya mengangguk-angguk, pura-pura mengerti apa yang sedang diperbincangkan.
“Terjemahkan, Mi!” perintah Bu Asri.
Anak lelaki pertamanya itu berusaha keras menjelaskan panjang lebar tentang pecel, sekaligus tentang buah duku dan salak dalam Bahasa Jepang. Kedua gadis itu mengangguk-angguk berusaha memahami masakan dan buah-buahan yang baru pertama kali ini dilihatnya. Tanpa sungkan-sungkan Haruka dan Reina melahap yang disajikan. Diakhiri dengan es teh manis.
Reina yang biasanya hati-hati dalam menjaga jumlah kalori makanan dan minuman yang bisa berdampak pada keindahannya tubuhnya, kali ini tidak taat aturan yang dibuatnya sendiri. Berlomba dengan Amran, gadis bertubuh proporsional itu melahap Semua makanan tanpa sisa. Tanpa takut berat tubuh akan merusak penampilannya.
Malam pertama kedatangan dua gadis ini dihabiskan dengan bercengkerama hingga larut di rumah Fahmi. Amran sibuk sebagai penerjemah Rini yang memberondong Reina tentang fashion dan berita entertainment yang sedang marak di Jepang. Reina terlalu capek untuk berbicara langsung dengan Rini menggunakan Bahasa Inggris. Lagipula, ada pemuda tambun yang sedang terpesona oleh kecantikannya. Sayang bila tidak dimanfaatkan. Fahmi sesekali menyela terjemahan Amran bila pemuda itu mulai melantur dengan gombalannya.
Malam berjalan cepat mengikuti desir angin. Mereka memagut udara canda tawa sepuasnya. Pukul sembilan malam, Amran dan Fahmi mengantar dua gadis Jepang itu menuju hotel bintang tiga yang tak jauh dari rumah Fahmi. Hanya ada tiga kamar tidur di rumah Fahmi. Selain dua kamar untuk Rini dan ibunya, Fahmi menempati kamar Rio, dan berbagi kasur dengan Amran.
Selama Haruka dan Reina berkunjung, dia dan sahabatnya itu berusaha memberikan liburan terbaik bagi gadis-gadis itu. Walaupun sekat kekakuan di antara mereka telah berantakan, namun tidak bisa dipungkiri, kala mereka kembali ke Jepang, hubungan atasan dan bawahan dengan Haruka akan tetap mengikatnya.
Agenda esok hari adalah berkeliling kota Malang dan Kota Batu, pulang sebentar ke hotel, tengah malam perjalanan akan dilanjutkan mengunjungi Gunung Bromo. Retak cakrawala pagi yang bersekutu dengan kepulan asap kawah gunung itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Fahmi terlelap tanpa sempat berpikir tentang adiknya yang tidak pulang lagi malam ini.
Fahmi sedang menikmati sarapan pagi bersama Amran ketika suara knalpot motor meraung di depan rumah. Ibu dan Rini berkutat di dapur sibuk mempersiapkan pisang goreng sebagai bekal perjalanan. Remaja tanggung bertubuh tinggi itu terlihat kelelahan saat memasuki halaman rumah. Rambutnya kusut. Kelopak matanya sekuyu celana jin ketat robek di bagian lututnya.
“Selamat pagi, Rio. Sarapan dulu,” sapa Amran.
Yang disapa hanya mengangguk. Memaksakan bibirnya tertarik ke samping, kemudian berlalu cepat tanpa melirik sedikit pun. Rio tergesa memasuki kamarnya, sebentar berdiam diri di sana, selanjutnya berjalan gontai ke luar rumah.
Sebelum mendekati pintu halaman luar, langkahnya tertahan oleh tubuh kakaknya yang berdiri menghalangi.
“Aku ingin bicara sebentar. Duduklah,” perintah Fahmi.
Remaja kelas tiga SMA itu menatap Fahmi. Kedongkolan yang tertahan merebak di wajahnya yang kaku. Dia menghela napas enggan. Namun berjalan pelan menuju kursi di samping Amran. Menghempaskan pantatnya dengan kasar di bantalan yang kainnya robek di beberapa tempat.