NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #14

Bab 14: Tamasya

Bab 14: Tamasya

Fahmi membuka mata. Kata “Bos” menusuk telinganya. Membuat otaknya membentuk gambaran sebuah jurang pemisah dipenuhi onak belukar tajam. Wajah cantik yang sempat membuainya benar-benar tersenyum dari balik kaca jendela mobil. Tapi wajah itu telah berubah menjadi wajah “bos” yang untuk dua hari ke depan harus dilayaninya dengan baik.

“Selamat pagi. Maaf terlambat,” kata Amran. 

Dia mendahului turun dari mobil. Menyapa dua gadis yang menatap plat nomer mobil yang dikendarai kemarin. Fahmi ikut turun. Mengucapkan salam. Haruka dan Reina menyambut mereka dengan senyum ceria. Keduanya tampil kasual dengan kaos oblong tipis dan celana kain bermotif batik dibalut dengan sepatu sneakers. Rambut Reina yang panjang dan bergelombang tertutup rapi oleh topi caping lebar. Tubuhnya yang semampai menelan tubuh mungil Haruka. 

Wajah Haruka kemerahan tersembunyi dalam topi cow boy yang terbuat dari rajutan pandan. Amran mengambil tempat duduk paling belakang. Menempati jok panjang seorang diri. Di jok depan duduk dua gadis Jepang yang terus mengepulkan aroma wangi membuar ke seluruh ruang dalam mobil. Sebagai penduduk asli Kota Malang, Fahmi duduk di sebelah sopir. Walaupun pemuda itu tak tahu betul arah jalan-jalan yang akan dilalui.  

Kunjungan pertama tempat wisata dihabiskan dengan menikmati pemandangan di tempat wisata Kota Batu. Mulai pagi hingga siang hari mobil baru produksi pabrik Jepang itu menyusuri jalan mendaki menuju Kusuma Agrowisata, kemudian berkelok ke daerah Coban Rondo untuk menikmati petualangan memasuki labirinnya, dan berakhir dengan saling mencipratkan air segar di Air Terjun Coban Rondo. 

Bibir Haruka terus mengembang walau kaos yang menempel ketat di badannya basah kuyup akibat hujan air dari guyuran tangan Fahmi. Untunglah mereka sudah mempersiapkan pakaian untuk ganti. Reina cemberut karena terpaksa harus memoles lagi riasan wajahnya yang mahal akibat cipratan air Amran.

Setelah makan siang di daerah taman wisata Selekta, dua pasang cewek dan cowok itu menghabiskan sisa sinar matahari hari di museum D’Topeng dan Museum Angkut. Tahu diri menghadapi dua hati yang mulai mendekat, Reina dan Amran memberi kesempatan penuh pada Haruka dan Fahmi untuk jalan berdua. Mereka menyingkir. Membuat jarak kala menyusuri labirin yang menghubungkan kota buatan yang terdapat di dalam area Museum Angkut. 

Di area “Gangster Town”, Amran menggamit tangan Reina. Mengajak gadis itu menyusuri jalan lain. Gadis tinggi semampai yang telah mengganti celana kain batiknya dengan celana jin dan kaos warna pink lengan panjang itu mengikuti keinginan Amran.

“Keduanya semakin lengket,” kata Reina. “Kelihatannya sahabatku itu semakin jatuh hati pada Fahmi.”

“Yakin?” balas Amran. “Yang kutahu, mereka belum mengungkapkan isi hati. Terutama Fahmi.”

“Tentu saja aku paham bagaimana Haruka-chan. Sepuluh tahun lebih aku mengenal dia. Untuk pertama kali dia terlihat ceria, terlihat sangat bahagia selama bertahun-tahun aku mengenalnya.”

Berbagai jenis mobil yang dipajang sepanjang jalan membuat jalanan dipenuhi aroma masa lampau. Jumat menjelang sore, para pengunjung yang ingin menghabiskan akhir pekan di Museum Angkut ini semakin padat. Pandangan Amran kosong menguliti mobil-mobil klasik yang menjadi ajang selfie anak-anak muda. 

“Aku khawatir Fahmi akan terluka,” desisnya. 

Reina menghentikan langkahnya. “Kenapa? Bukankah Fahmi juga terlihat bahagia?”

“Itulah yang membuatku semakin khawatir,” timpal Amran. “Aku tahu persis latar belakang sahabatku itu. Ia tidak pernah pacaran. Raut wajah yang biasa dingin, kaku, jarang tersenyum, berubah sejak bertemu Haruka-chan. Dia terlihat ceria. Terlihat bahagia. Sementara jurang pemisah di antara mereka terlihat besar.”

Reina mendengus kesal. 

“Haruka-chan bukan tipe wanita seperti itu jika maksudmu jurang pemisah itu tentang harta.” Dia melanjutkan, “Walaupun dia kaya, tapi Haruka akan memilih pasangan hidupnya sendiri. Tanpa campur tangan orang tuanya.”

“Bukan begitu maksudku.” Amran menangkap nada tersinggung dari kalimat Reina. 

“Taruhlah Haruka berani melawan larangan orang tuanya, apa dia sanggup hidup di Indonesia? Beda budaya, beda kebiasaan, beda bermacam-macam hal. Selain itu, dia harus mau menerima keluarga Fahmi. Menghidupi ibunya, membantu biaya pendidikan adik-adiknya hingga selesai kuliah, dan banyak hal lain yang menurut wanita Jepang tidak bisa diterima adat dan budaya mereka.”

Reina menoleh ke pemuda tambun yang berjalan pelan di sampingnya. “Aku masih tidak mengerti akan maksudmu.”

Amran menuju penjual es krim contong. Memesan satu untuknya rasa coklat, dan memesan untuk Reina rasa vanila. Dia menunjuk bangku panjang di samping jalan. Berdua menikmati es krim di tangan sambil matanya mencari sahabatnya itu. Pemuda kurus tinggi itu seratus meteran terpisah. Berjalan pelan bersisian dengan Haruka sambil tertawa ceria. Sesekali Haruka mencubit pinggang Fahmi. Mereka terlihat seperti sudah menjadi sepasang kekasih, walau Amran yakin Fahmi belum berani mengungkapkan isi hati. 

Amran melahap potongan besar es krim contong. Rasa beku manis coklat membuat belakang kepalanya sedikit pening. Dia berdiam sejenak hingga ketukan rasa sakit di belakang kepalanya menghilang. 

Amran melanjutkan penjelasannya, “Fahmi adalah anak lelaki tertua yang sudah ditinggal ayahnya sejak kecil. Dia menjadi tulang punggung keluarga. Selamanya. Mungkin terlihat aneh dan kurang bisa diterima cewek Jepang. Di beberapa keluarga yang masih memegang erat budaya, semenjak wanita menikah, maka dia harus berbakti pada suaminya. Meninggalkan kedua orang tua, meninggalkan keluarga, mengikuti ke mana langkah suaminya. Namun, bagi seorang laki-laki sebaliknya. Selamanya dia akan menjadi bagian dari ibunya. Kalau bisa dibilang ekstrem, ibunya masih lebih berhak kepadanya daripada istrinya.”

Gadis di sebelahnya itu memasukkan potongan es krim terakhir ke mulut. Dia mengunyahnya dengan jengkel. 

“Tidak adil! Bukankah setelah menikah orang tua dan keluarga tidak boleh ikut campur urusan rumah tangga mereka?”

“Kan kubilang tidak semuanya. Tentu saja aku berbeda. Aku berharap ayah dan ibuku tidak ikut campur dengan keluargaku. Lagi pula aku anak bungsu. Semua kakakku sudah menikah. Berbeda dengan Fahmi. Sebagai anak tertua, dan menilik sikap dan tanggung jawab yang diembannya selama ini, aku yakin dia tidak akan melepas ibu dan adik-adiknya begitu saja. Jikalau Haruka ingin menikah dengan Fahmi, dia harus tinggal di Indonesia dan menerima keluarga Fahmi beserta persoalannya.”

Lenguh pelan terdengar dari gadis yang duduk di samping Amran. “Susah juga pernikahan beda bangsa.”

“Tidak juga,” timpal Amran. “Cinta yang akan menghilangkan perbedaan itu. Cinta pula yang akan menguatkan kehidupan rumah tangga mereka.”

Reina mendengus pelan, “Huh, cinta.”

Lihat selengkapnya