Bab 15; Anak Baru Gede
Berbekal petunjuk Rini, Fahmi mengubek-ubek tempat yang disinyalir sebagai persembunyian Rio. Adik perempuannya itu tidak ikut menemani karena berada terus di sisi ibunya yang tidak mau diajak ke dokter. Mau tak mau Fahmi ditemani tiga kawannya mengunjungi satu persatu kawan Rio yang dianggap tahu keberadaan adiknya itu. Butuh waktu seharian untuk mengunjungi Dedi, Rizal, Ramli, dan tiga pemuda lain yang tak diingat lagi namanya. Secara estafet mereka menyebut satu nama, dan berganti nama lain, hingga berakhir di sebuah studio musik.
Mobil yang ditumpangi dua pemuda dan dua gadis Jepang itu mendekati sebuah bangunan dua lantai yang mempunyai tempat parkir lumayan luas. Di depan pagar gedung, sebuah papan nama mencolok bertuliskan “Studio Musik Gani” menyambut mereka.
Pelataran dipenuhi berbagai macam motor. Suara samar dengung gitar dan gebukan drum terdengar dari studio yang berada tepat di jalan besar Jalan Mayjend Panjaitan. Cewek-cowok berpenampilan modis berbaur dengan mereka yang berpenampilan ala roker. Membandingkan wajah-wajah segar yang lalu lalang masuk dan keluar Gedung dengan wajahnya, Fahmi merasa tua.
Di antara mereka hanya Reina yang terlihat antusias memasuki gedung itu. Tubuhnya yang semampai dengan kulit cerah membuat sebagian besar pandangan pemuda beralih kepada gadis itu. Senyum Reina yang seksi dengan bulu mata tambahan yang mengepak bagai sayap burung Jelentik semakin membuat kegaduhan suara alat musik bertambah dengan teriakan dan suitan pemuda yang ingin cari perhatian.
Seorang pemuda berambut kucir mengkilap tertimpa jeli mendekati mereka. Dandanannya yang bercelana jin sobek-sobek dan berjaket kulit tebal walau cuaca Kota Malang tak sedingin Kota Fukuoka di musim semi membuat Amran menahan tawa. Dia berjalan penuh lagak menyambut mereka. Menyerahkan selembar selebaran promosi ke Reina.
Gadis cantik yang sedang menjadi pusat perhatian itu menyunggingkan senyum indah. Menerima selebaran itu dan memberikannya pada Amran. Sekilas pemuda itu melirik isi selebaran. Sebuah festival musik yang diadakan nanti malam di pentas Taman Krida Budaya.
“Di mana aku bisa bertemu Rio?” tanya Fahmi.
Pemuda berjambul mengkilap dengan cincin perak yang menembus daun hidung kiri dan daun telinga kanan itu menunjuk ke dalam. Pandangannya masih lekat ke senyum Reina.
“Ruang apa?” susul Amran.
Pemuda itu menelan ludah kala kerlingan Reina menghipnotis. “Eh, ah, ruang satu-enam,” balasnya parau.
Dia semakin belingsatan menerima tepukan lembut di pundaknya. “Terima kasih,” kata Reina dalam Bahasa Indonesia medok.
Fahmi melangkah cepat memasuki gedung itu. Tembok ruangan berlapis peredam suara di samping kanan dan kiri sekilas mengeluarkan ringkik senar gitar dan derap gebukan drum. Seolah memasuki labirin berkelok dengan rute sama dan bentuk pintu yang sama pula, mata Fahmi mencari nomor yang dimaksud pemuda tadi di atas pintu. Ketikaditemukan nomor itu, dia melongok ke kaca kecil di pintu. Setelah pasti yang akan ditemui berada di dalam, tanpa ragu lagi didorongnya pintu tebal berlapis foam kedap suara itu diikuti tiga kawannya.
Berisik sound system dari alat musik berhenti seketika. Dengung mikrofon yang bersinggungan dengan alat musik menimbulkan suara yang menggigit gendang telinga. Amran menepuk bahu Fahmi, berusaha menenangkan sahabatnya yang tengah mendelik ke pemuda yang mendekap gitar.
Pakaian Rio seperti yang tergambar di poster: Celana hitam ketat dan jaket kulit hitam. Hanya wajahnya yang berbeda. Wajah itu bersih tanpa maskara. Tanpa lingkaran hitam di bawah mata, pun tanpa anting-anting di telinga. Sebuah wajah anak sekolah menengah atas yang tak menyangka kakaknya bisa menemukan keberadaannya.
“Pulang sekarang! Ibu sakit!” bentak Fahmi tertahan.
Rio berlagak acuh. Empat anggota band lain seusia Rio seperti mendapat tantangan dari tamu tak diundang. Mereka meletakkan alat musik, merangsek maju mendekati tamu kurang ajar. Sebelum mendekat, Rio menahan mereka dengan tangannya. Keempat remaja tanggung itu membeku melihat kemunculan Reina dari belakang punggung Fahmi.
“Siapa, Bro?” tanya penggebuk drum. Sepasang stik di tangannya diputar-putar dengan lincah.
“Kakakku,” bisik Rio.
“Gila! Cantik banget….”
“Bodoh! Kakakku yang lelaki tinggi kurus itu!”
“Oh, kukira yang itu.”
Amran yang mendengar percakapan dua remaja tanggung itu tak bisa menahan tawa. Dua kali dalam satu hari ini senyum dan lirikan Reina membuat semuanya berjalan lancar.
“Rio! Pulang sekarang!” bentak Fahmi kembali.
Yang dibentak menatap balik. Mata kedua kakak beradik ini beradu tajam, keduanya tak mau mengalah.
“Nggak mau! Apa hakmu main perintah seperti itu?!” bentak balik Rio.
Kedua tangan Fahmi mengepal erat. Napasnya sedikit memburu menahan amarah yang mencapai ubun-ubun. Haruka yang berdiri di belakang Fahmi mengelus punggung pemuda itu. Fahmi melemah.
“Ibu sakit. Beliau ingin bicara denganmu,” desah Fahmi.
“Nanti malam aku ada pentas. Aku harus latihan.” Rio menggelengkan kepala tegas. “Besok pagi saja.”
“Baik. Terserah kamu. Jika sampai kesehatan ibu memburuk gara-gara kamu, aku bersumpah tak akan pernah memaafkanmu!”
Fahmi berbalik arah meninggalkan ruangan itu diikuti dengung arus listrik yang terpasang di alat musik. Suara berisik itu menikam seluruh pemainnya.
Matahari beranjak masuk ke peraduan kala mobil sewa yang mereka tumpangi berhenti di ujung gang. Haruka dan Reina menolak di antar ke hotel. Mereka ingin menemani Fahmi, sekaligus ingin melihat keadaan ibunya. Sinar temaram yang dihasilkan dari lampu neon dua puluh lima watt yang terpasang di atap tak sanggup menyembunyikan kantong mata Rini yang menebal. Mahasiswi tingkat tiga Universitas Negeri di Kota Malang itu tak mampu menyembunyikan kegundahan hatinya. Dia menyambut kakak lelakinya dengan wajah kalut.
“Ketemu Rio?”
Fahmi mengangguk.
“Dia tak mau ikut pulang sekali pun aku mengancamnya.” Beberapa kali pemuda itu menghela napas, kemudian bertanya, “Bagaimana Ibu?”
“Ibu sejak siang tadi di kamar. Kemarin malam anak itu pulang. Ibu menasihati untuk tidak melawan kakak. Alih-alih menuruti nasehat beliau, Rio mengambil tas sekolahnya, mengeluarkan seluruh isinya dan memenuhinya dengan baju dan celana.”
Air mata yang sedari tadi ditahan perlahan mengembang di pelupuk mata gadis itu. “Dia bilang tidak akan melanjutkan sekolah. Rio bilang akan pergi ke Jakarta setelah pentas.”
Napas Rini semakin tersengal. Kalimat yang ditahan agar tidak terdengar sampai ke kamar ibunya malah membuat tangisnya pecah.