Bab 16; Kilas Masa Lalu
“Brak!” Sebuah pukulan telak mengenai tembok. Hawa pukulan terasa dingin mendarat di anak rambut yang menutupi kepala Rio. Membuat pemuda itu termangu membayangkan kepalan kakaknya bisa meretakkan batok kepalanya. Pekik empat wanita beradu dengan desisan Fahmi seolah nada pemberi semangat untuk Rio menantang kakaknya. Remaja itu mendekatkan kepalanya ke Fahmi.
“Ayo, pukul aku! Kalau kau belum puas, bunuh saja aku!” teriaknya.
“Argghhhh!” Fahmi mengepalkan kedua tangannya. Menggigit gerahamnya keras-keras agar ledakan di dada tidak menghancurkan kehangatan yang selama ini berusaha dibangunnya. Kini, kehangatan itu semakin retak.
“Ibu! Ibu!” teriakan Rini membuat kakak beradik itu mengalihkan pandangan.
Wanita yang telah melahirkan dua pemuda yang sedang bersitegang itu roboh di kursi sambil mendekap dada. Wajahnya pucat pasi. Napasnya tersengal. Haruka, Reina, Amran dan tiga anak Bu Asri mengelilinginya.
“Cepat ambil obat!” teriak Fahmi.
Rini berlari cepat ke kamar ibunya, segera kembali dengan obat hirup inhaler di tangan. Dia menyorongkan obat itu ke mulut ibunya, mengelus pelan dadanya, membisikkan kalimat penentram ke telinga Bu Asri.
Wanita tua itu menghirup pelan obat itu. Setelah beberapa hirup, napasnya berangsur normal. Tapi, tidak dengan dadanya. Telapak tangan kasar penuh kerja keras itu terus mengelus dadanya. Bulir-bulir air mata turun berjatuhan membentuk puluhan anak sungai di pipinya yang keriput. Pandangannya menerawang ke atap. Seolah di plafon putih berjamur itu dia bisa mengungkapkan keluhannya.
“Maafkan aku Kang Ujang … aku gagal … mendidik anak-anak kita….”
Bu Asri terisak sambil menatap plafon putih. Seolah wajah suami yang lebih dulu meninggalkan dirinya itu tergambar sedang tersenyum padanya.
“Aku tak kuat lagi, Kang … Aku ikut Kakang … Aku rindu Kang Ujang … Aku tak sanggup lagi hidup di dunia ini….”
Mendengar ibunya putus asa memanggil-manggil nama almarhum ayah mereka, Rini mendekapnya, menggabungkan air mata yang mengalir di pipinya dengan air mata ibunya.
“Ibu … ayah….”
Dua anak laki-laki Bu Asri terkesiap mendengar dua wanita yang selalu hadir dalam hidup mereka meratap sambil memanggil nama ayahnya. Fahmi sangat terpukul. Dia mengutuki diri. Mengumpat dirinya sebagai penyebab kekacauan yang membuat keluarganya terluka. Tubuhnya serasa tak bertenaga. Dia menjatuhkan diri. Bersimpuh di hadapan kursi tempat duduk ibunya, yang masih berusaha keras menghirup obat inhaler dan meredakan degup keras di dadanya.
“Maafkan aku, Bu. Maafkan aku … Ampuni anakmu….”
Setengah merintih Fahmi membentur-benturkan dahinya ke lantai. Kedua matanya terpejam. Gigi atasnya menggigit bibir bawahnya keras. Tak ada air mata yang mengalir dari mata itu kecuali rintihan menyayat. Kalau saja Haruka tidak memegangi pundaknya, pemuda itu tak akan berhenti membenturkan kepalanya ke lantai.
“Semua ini salahku. Sebagai kakak, aku tidak cukup baik bagi adik-adikku. Maafkan aku….”
Fahmi berlari meninggalkan ruang tamu. Raihan tangan Haruka yang ingin menahannya tak cukup cepat untuk menghentikan gerakan pemuda itu.
“Fahmi-chan!” teriak Haruka.
Dia ingin mengikuti Fahmi keluar, tapi perintah Amran membuat kakinya mematung di tempat. “Jangan Haruka. Biarkan dia sendiri.”
Tidak ada kegiatan yang mengisi kekosongan kecuali isak tangis dua wanita dan tiga detak jantung yang berdebar keras. Kepergian Fahmi menyisakan udara dipenuhi kemampatan. Lantunan panggilan Sholat Isya’ meredam kekosongan itu. Wanita setengah baya itu lirih mengikuti kalimat agung yang mendengung memenuhi ruangan. Setelah azan selesai, napasnya yang tadi tersengal berjalan normal meskipun obat inhaler membantu tekanan di dadanya meregang.
“Anak itu tidak pernah marah seperti itu. Dia selalu bisa mengontrol hatinya selama ini. Walaupun aku tahu kadang kala dia merasa sudah tak sanggup lagi menahannya.”
Bu Asri diam sejenak, mengisi kerongkongannya dengan kekuatan untuk bicara. Dia meneruskan lirih, “Air mata yang menetes dari mata kecilnya adalah saat ayahnya pergi meninggalkannya. Kala itu umurnya baru menginjak tujuh tahun, dan itu adalah air mata terakhir yang pernah kulihat. Sejak itu, manakala anak sebayanya bermain setelah sekolah, dia memilih untuk membantuku di warung.”
Air mata yang tadi sempat terbendung kembali meleleh.
“Ibu lebih baik istirahat saja. Jaga kesehatan ibu,” bisik Rini.
Wanita setengah abad itu tersenyum. Dihapus air mata yang meleleh di pipinya dengan lengan baju.
“Menginjak Sekolah Menengah Pertama dan Atas, kala remaja lain mengisi hari-hari mereka dengan bermain atau menonton film, anak itu mencurahkan waktunya untuk bekerja seadanya. Menjadi tukang semir sepatu di terminal Arjosari, kuli angkut belanja di Pasar Besar sembari membuka buku di waktu luang. Dari hasil yang tidak seberapa itu disisihkan buat keperluan sekolah adik-adiknya. Kehidupan keras yang telah menempanya tidak pernah membuatnya mengeluh. Sedikit pun. Satu hal yang membuatku selalu merasa bersalah adalah aku telah menempatkan anak itu pada tempat yang tidak seharusnya.
Kang Ujang, ayah kalian, tidak meninggalkan harta sedikit pun ketika sebuah truk merampas nyawanya. Semenjak ditinggal ayah kalian, aku sudah banting tulang berusaha menghidupi tiga anakku, tetapi, penghasilan yang kuperoleh tidak cukup untuk biaya makan dan sekolah kalian. Di umurnya yang masih belia, belum juga tamat Sekolah Dasar, Fahmi ikut menanggung beban itu. Waktu mudanya terampas oleh tanggung jawabnya sebagai anak tertua. Celakanya, aku tidak melarangnya. Bahkan aku ikut menikmati kerja kerasnya itu!”
Suara Bu asri bergetar ketika menceritakan kisahnya. Pipi tirus yang di beberapa bagian dimakan kerut usia diguyur limpahan air mata.
Dipeluknya tubuh renta yang bergetar penuh tangis itu. “Ibu jangan terlalu banyak berpikir, nanti asma Ibu kambuh lagi,” desah Rini.
Walau ia sudah berusaha menekan suara agar terdengar tenang, tak urung kenangan pahit tentang tanggung jawab kakaknya membuat air matanya meleleh. Lintasan kenangan yang merebak memenuhi benaknya meluncur ke pelupuk mata, mendesaknya agar ikut berbagi.
“Kak Fahmi telah tampil sebagai ayah sekaligus kakak bagiku. Saat ayah menghadapi hari terakhirnya di ruang UGD Rumah Sakit, Ibu dan Kak Fahmi yang menunggui. Rio tertidur di lantai rumah sakit hanya beralas tikar, dan aku menjaganya dari gigitan nyamuk dan hawa dingin malam. Saat itu, Kak Fahmi keluar dari ruang UGD sambil melelehkan air mata. Dia menyorongkan uang logam ini.”
Dia merogoh kantong celana, mengeluarkan uang pecahan lima puluh rupiah berwarna tembaga dari dompetnya. Meletakkan uang itu di atas meja.
“Kata Kak Fahmi, Ayah telah berangkat lebih dulu ke surga. Jikalau rindu ayah, cari wajah ayah di kedua sisinya. Di balik sisi lain mata uang ini, ada kebahagiaan sebagai pengganti sisi lainnya.”
Rini menahan napas ketika desakan di dadanya berhamburan bersama air mata. Angin malam yang berembus lembut dari luar rumah melarikan kenangan bersamanya. Meninggalkan keterasingan mencengkeram.
Isak tangis dua wanita diselingi suara Amran dengan nada rendah yang menerjemahkan kata per kata dalam Bahasa Jepang mengisi keheningan yang lindap. Kebekuan itu kembali terusik oleh cerita Rini tentang kenangan akan Fahmi yang belum selesai.
“Momen yang paling kuingat adalah ketika aku lulus SMP. Kak Fahmi yang saat itu menghadiri wisuda kelulusanku meneriakkan namaku berkali-kali dari kursi undangan. ‘Itu adikku! dia keluar sebagai siswa terbaik. Rini! Ini aku, Kakakmu!’. Aku melengos malu saat itu. Sekian tahun kemudian, aku bisa memahami perasaan Kak Fahmi ketika melihat Rio dan band-nya pentas. Yang bergitar itu adikku! Kataku. Membanggakan dia pada teman-temanku.”