NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #17

Bab 17; Ungkapan Cinta

Bab 17; Ungkapan Cinta

Sejak pagi Fahmi dan Amran sudah bertengger di hotel. Pesawat dua gadis Jepang itu akan bertolak sore hari ke Jakarta, dan melanjutkan perjalanan ke Fukuoka tengah malam. Makan pagi berempat di hotel terasa berbeda. Haruka dan Fahmi semakin lengket. Sentuhan tipis di pipi Fahmi dan rengkuhan manja di lengannya membuat Amran terpaksa memalingkan muka dan memaki kecil melihat kemesraan Haruka yang tak ditutupi lagi. 

Reina cuek dengan hubungan dua sejoli ini. Dia ikut gembira bila Haruka menemukan keceriaan. Karena berarti koleksi tas mewahnya bertambah. 

“Kamu serius, Mi?” tanya Amran di lobi saat menunggu Reina dan Haruka kembali ke kamarnya untuk bersiap.

“Apanya?” tanya balik Fahmi. 

“Sama Haruka. Kamu yakin?”

Fahmi tersenyum kecut. “Dia hanya menganggapku sahabat. Tidak lebih.” Fahmi memukul bahu sahabatnya pelan. “Mana mungkin dia mau sama aku, Mran.”

Amran yang duduk di sofa bersisian menepuk balik pundak Fahmi lembut. “Kamu memang pandai di segala bidang akademis. Tapi, terlalu bodoh untuk menangkap isyarat gadis yang sedang jatuh cinta.”

“Aku tidak tahu, Mran. Aku bingung.”

“Perasaanmu sendiri bagaimana terhadap Haruka?”

Fahmi terdiam. Dia menggigit bibir bawahnya. Otaknya berpikir keras menanyakan rasa yang terus mengentak dada. 

“Aku tidak pernah dekat dengan wanita. Apalagi pacaran. Aku tidak tahu harus berbuat bagaimana. Yang pasti, aku suka berada di dekatnya. Dan berharap tiap hari bisa bertemu dengannya.”

Amran menutup mulutnya agar tawanya tidak pecah. “Kamu sedang jatuh cinta, Bro! Ungkap ke dia secepatnya. Haruka menunggu pernyataan darimu, Mi.”

Kulit kecoklatan Fahmi memerah. Dia mendesis. Meletakkan telunjuknya di depan bibir agar tawa Amran tidak keterusan. “Aku malu, Mran,” katanya pelan.

Pemuda gendut yang duduk di sebelahnya ini tak mampu lagi menahan. Tawanya yang lepas membuat dua tamu yang baru chek out dan ingin duduk kursi di depan mereka terpaksa mengurungkan niat. Fahmi semakin salah tingkah. Kalau saja Reina dan Haruka tidak turun terlihat keluar dari elevator, sudah dibekap mulut sahabatnya itu. 

Sebelum mengantar dua gadis itu ke Bandara Juanda di Surabaya, mereka akan mampir dulu ke rumah Fahmi untuk berpamitan. Rini dan Rio memaksa ingin ikut mengantar hingga Bandara. Meninggalkan ibu mereka sendiri di rumah. Fahmi yang enggan mengajak dua adiknya terpaksa menuruti desakan Reina. Gadis cantik tinggi semampai dengan rambut panjang bergelombang itu seperti menemukan mangsa baru. 

Semalam, tak henti-hentinya pujian meluncur dari mulutnya saat melihat aksi Rio di pentas. Dia ikut bergoyang mengikuti liuk melodi gitar yang dimainkan adik Fahmi itu walau tak tahu lagu apa yang sedang dimainkan. Anak bandyang beda sifat dengan kakaknya itu pun seolah sudah terbiasa dengan tatapan kekaguman dari banyak gadis-gadis. Setelah pentas usai, dia membiarkan gadis Jepang itu semakin lengket dengannya. Kalau saja Amran tidak mengingatkan Reina bahwa adik Fahmi itu masih kelas tiga SMA, mungkin sudah diterkamnya remaja itu.  

Bu Asri sudah menyambut dua gadis Jepang di beranda tempat warung nasinya. Sejak kedatangan mereka dia memutuskan untuk libur. Wajah yang kemarin malam terkoyak oleh tangisan air mata telah berubah segar kembali. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia melihat anak bungsunya meliuk-liuk di atas pentas. 

“Terima kasih banyak, Bu,” kata Haruka dalam Bahasa Indonesia medok. 

Reina mengikuti salam itu dalam Bahasa yang sama. 

“Sama-sama, Haruka san. Saya juga terima kasih Haruka san dan Reina san mau mampir ke rumah saya. Silakan kapan pun main lagi ke sini,” balas Bu Asri. 

Lihat selengkapnya