Bab 18; Merajut Cinta
Sehari sekembali Fahmi dari Indonesia, tiada hari tanpa mereka lewatkan bersama. Dipertautkan mekar bunga sakura di awal musim semi, asmara yang menggelegak membakar Fahmi dan Haruka mencapai ekstase. Bagi Haruka, cintanya pada Fahmi bukan cinta pertama. Namun semakin mengenal pemuda itu, semakin dirinya terbuai alam mimpi yang menuntut sebuah perwujudan. Perjuangan keras menghadapi hidup, tanggung jawab dan kasih sayangnya sebagai kepala keluarga telah membuktikan bahwa pada diri Fahmilah dia akan melabuhkan sisa hidupnya.
Sejak perjumpaan pertamanya dengan Haruka, Fahmi merasa ada yang spesial dari gadis ini. Walaupun hidupnya dipenuhi pergulatan hidup dalam balutan kemiskinan, bukan kekayaan Haruka yang membuat mata hatinya berbinar. Harga dirinya terlalu tinggi untuk merendahkan cinta demi harta. Hanya saja, kala bersama gadis itu, cara pandangnya pada dunia yang selama ini sinis berubah menjadi penuh bunga. Rasa yang membekap hatinya saat ini adalah rasa yang belum pernah dimilikinya. Dan, dia akan berusaha untuk mengendapkan rasa itu di hatinya. Selamanya.
Akhir pekan itu seperti hari-hari biasa saat sepasang kekasih itu menghabiskan waktunya berdua. Mencoba wahana bermain di Space World, melihat kehidupan bawah laut di Aquarium besar Marine World Uminonakamichi, menjelajahi kehidupan binatang di Kebun Binatang Fukuoka, tidak lupa berinteraksi dengan bermacam-macam robot di Robot square. Tempat makan malam pun tidak lagi restoran mewah, melainkan yatai[1] di sepanjang Jalan Showa, atau, di daerah taman Reisen, Nakasu. Mulanya Fahmi menolak ketika seluruh pengeluaran akan dibayari Haruka. Setelah melalui perdebatan panjang dan melelahkan, pemuda itu menerima usul gadis itu. Pengeluaran yang mahal Haruka yang bayar, Fahmi hanya mengeluarkan uang untuk makan di yatai saja.
“Kita naik itu, ya?” pinta Haruka. Dia menunjuk permainan puluhan pasangan muda yang berteriak di lintasan berkelok.
“Yakin? Tidak sakit kepala?”
“Bersamamu segala derita berubah menjadi bahagia,” bisik Haruka pelan.
Fahmi tertawa lirih. Dia mengelus tangan yang terus bergelayut di lengannya sejak turun dari Mercedes Benz SL Class itu. “Ayo,” ajaknya.
Space World yang berada di Kitakyushu penuh dengan pengunjung. Mereka harus rela antri satu jam untuk diguncang kecepatan tinggi Roller Coster. Ketegangan yang merayapi Fahmi menghilang seketika setelah Haruka menggenggam tangannya erat. Sepuluh jemari mereka saling menyisir. Membentuk ikatan kuat yang menghantarkan kehangatan di sela tiupan angin musim semi.
“Mau naik lagi?” tanya Haruka.
Fahmi menggeleng. “Sayang makanan,” katanya sambil menepuk perut.
Haruka menunjuk beberapa wahana yang membuat Fahmi tegas menolak.
“Ya … masih ada dua wahana yang belum kita coba. Tuh ada Venus GP yang bisa berputar tiga ratus enam puluh derajat, ada Titan Max juga.”
“Kita ke wahana Mission to Mars?” alih Fahmi.
“Ha ha ha. Kayak anak kecil saja.”
“Tidak suka?”
Gadis yang terus lengket di sisi Fahmi itu menggeleng. Rambut yang belum dipotong sejak pertama bertemu dengan pemuda ini telah tumbuh menutupi tengkuknya. Dia menarik lengan Fahmi, meminta pemuda itu mendekatkan kepala.
“Di mana pun, kapan pun, aku akan bahagia bersamamu.”
Pemuda itu terbahak mendengar rayuan kekasihnya. “Seperti tidak pernah jatuh cinta dengan pria lain saja,” katanya menggoda.
Haruka menghentikan langkahnya. Mengubah posisinya menghadap Fahmi. Dia menengadahkan kepala mencari dua bola mata hitam milik pemuda tinggi kurus itu.
“Kamu memang bukan cinta pertamaku. Tapi, padamulah akan kutitipkan sisa hidupku.” Haruka mendekap Fahmi tanpa peduli puluhan pasang mata yang memperhatikan sambil senyum dikulum. “Aku mencintaimu,” katanya lirih. Tegas.
Fahmi menegang. Dia tidak tahu harus bagaimana dipeluk seorang gadis di tengah keramaian. “Haruka-chan, banyak yang lihat tuh,” katanya jengah.
Alih-alih melepas pelukan, gadis itu semakin nekat. Lengan mungilnya semakin mendekap erat pinggang Fahmi. Disusupkan kepalanya ke dada pemuda itu. “Aku tidak akan melepaskan pelukanku jika kamu tidak mengatakan mencintaiku.”
Pemuda itu luruh. Dia larut dengan dekapan Haruka tak peduli beberapa gadis lain tidak mau kalah seolah ikut berlomba mendekap kekasihnya. Dibelainya rambut Haruka. Diucapkan kalimat mesra yang selama ini dia tak pernah bermimpi akan mengucapkannya, “Aku juga mencintaimu.”
Hari semakin gelap. Matahari telah hilang sempurna di peraduan. Haruka menatap kerumunan pejalan kaki yang menyusuri jalan paving di sepanjang Sungai Nakasu. Air Sungai memantulkan cahaya berwarna-warni dari lampu-lampu gedung dan toko yang berjajar di sebelah sungai. Fahmi yang duduk di depan Haruka asyik menikmati oden[2]yang terus mengepulkan uap panas. Suhu udara pertengahan bulan Maret di sekitar delapan derajat celcius, membuat kepulan uap oden berlomba dengan uap hangat dari mulut Fahmi. Haruka membiarkan oden-nya mendingin. Tatapannya tak beralih dari puluhan pasangan yang terus bergelombang memenuhi pinggiran jalan Sungai Nakasu.
“Makananmu menjadi dingin. Lihat apa, sih?” tanya Fahmi.
Haruka menarik bibir tipisnya ke samping. Fahmi menghentikan suapan sup kala senyum indah di depannya terpampang.
“Nee, bagaimana pandanganmu tentang wanita?” tanya Haruka.
Fahmi mengernyitkan dahi.
Haruka melanjutkan, “Maksudku, tentang wanita yang sudah menikah dan menjadi ibu.”