Bab 20; Diundang Untuk Dilecehkan
Fahmi sedang menekuni jurnal ilmiah dan proposal penelitian ketika ponselnya berdering. Dari nomor yang tidak dikenal. Dia membiarkan hingga panggilan dari nomor yang sama itu berdering tiga kali. Teriakan Amran di sebelah yang terganggu membuatnya menghentikan nada dering. Malas dia menekan gambar ponsel biru di layarnya. Dari Haruka.
“Kenapa teleponmu?” tanyanya terkejut.
Suara di seberang berkali-kali minta maaf. “Entah di mana aku lupa meletakkan. Yang pasti aku sudah mencarinya mulai kemarin pagi. Tapi tidak ketemu.”
“Ada password-nya, kan?”
“Tentu saja ku-password,” balas suara di seberang. “Tapi, foto-foto terakhir di ponsel belum sempat kusimpan di komputer,” lanjutnya masygul.
“Foto yang mana?”
“Foto-foto di Indonesia. Denganmu, ibumu, adik-adikmu. Kenangan indah itu yang sangat kubutuhkan.”
“Tidak usah terlalu dipikirkan. Suatu saat kan bisa ke Indonesia lagi. Bisa foto lagi.”
“Setelah jadi nyonya Fahmi?” goda Haruka.
Pemuda itu tertawa pelan. “Ya. Setelah jadi nyonya Fahmi,” tegasnya.
“Terima kasih,” balas suara di seberang diiringi tawa.
“Tujuanku menelepon untuk mengundangmu dan Amran. Lebih tepatnya, Otoosan yang mengundang kalian.” Haruka menyebutkan sebuah hotel berbintang lima di Kota Fukuoka beserta jam resepsinya.
“Oh ya? Dalam rangka apa?”
“Pesta wisudaku. Sekaligus promosi produk baru. Jadi, bukan hanya teman terdekat, melainkan juga beberapa tamu dan supplier.”
Detak jantung Fahmi bergerak cepat. Ayah gadis yang dicintainya ini mengundangnya. Baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu setelah pelaksanaan wisuda. Tatapan dingin, angker, marah, sekaligus berubah melembut aneh itu mengundangnya untuk hadir di acara yang penting.
Dia berusaha menutupi kegalauan hatinya dengan bercanda, “Wah. Otoosan-mu benar-benar tidak ingin rugi. Sambil pesta untuk anak gadisnya, dibalut juga dengan promosi.”
“Ya, begitulah,” balas Haruka sengau. “Nomor ponselku besok baru bisa tersambung lagi. Kalau kamu ingin menghubungiku hari ini, telepon aku di nomor ini.”
“Oke,” kata Fahmi.
Dia menutup ponselnya. Menggamit sahabatnya yang duduk menekuni buku setebal tiga senti. “Orang tua Haruka mengundang kita.”
Amran meletakkan bukunya di atas meja Kotatsu. “Oh ya? Mereka tahu hubungan kalian?”
“Tahu lah. Bahkan selesai acara wisuda, Haruka memperlihatkan foto-foto kita ke ayah dan ibunya.”
“Bagaimana tanggapannya?”
“Itulah yang tak kumengerti. Ibunya sih terlihat bersikap biasa. Tetapi, wajah ayahnya berubah sangat pucat.”
Amran benar-benar menutup bukunya, kemudian menatap lekat sahabatnya.
“Tapi, dia mengundang kita, eh, mengundangmu, kan? Berarti dia sudah luluh dan merestui hubungan kalian.”
“Entahlah. Aku masih sangsi, Mran.”
“Di pesta itu akan terbukti. Siapa tahu Haruka berhasil membujuk ayah dan ibunya? Bahkan, bisa saja ayahnya akan memberimu jabatan direktur di perusahaannya, sekaligus mengumumkannya di depan para relasi?”
Amran mengaduh. Lengannya mendapat pukulan pelan dari Fahmi yang duduk di sebelahnya. “Kamu terlalu banyak menonton sinetron!”
“Ya … nasib seseorang kan tidak ada yang tahu, Mi.”
Amran menyimpan buku yang tadi dibacanya di bawah meja. Buku tebal tentang Program Bahasa C++ dalam Bahasa Jepang itu menjadi tumpuan kakinya yang selonjor di bawah kaki meja. “Kamu hadir?” susulnya.
Fahmi mengangguk. Dia balik bertanya, “Kamu mau menemani aku, kan?”
“Tentu saja, Sobat. Bukan demi kamu, tapi demi makanan lezat yang melimpah.”
“Dasar gendut!”
Amran mengaduh. Buku sebagai telekan kaki diambil paksa sehingga kakinya beradu dengan kaki meja.
Jamuan pesta yang dihelat keluarga Yasuda lebih dari sekedar pesta kelulusan. Pesta itu lebih tepat disebut gathering business daripada pesta anak muda. Ratusan tamu pria berbalut jas lengkap dengan dasi kupu-kupu. Tamu wanita memakai long dress berhias perhiasan dan rias wajah tebal. Musik yang mengalun juga bukan lagu rock atau pop yang sedang hits, melainkan alunan piano diiringi tiupan saxophone berirama klasik.
Celana katun, baju lengan panjang kotak merah, dan sepatu pantofel butut yang dikenakan Fahmi membuat dirinya merasa seperti ikan Mujaer di tengah ikan hias dalam aquarium indah. Dia menyesal tidak memastikan terlebih dahulu dress code yang akan dikenakan para tamu undangan. Untung saja namanya dan nama Amran tertera di buku tamu, jadi dia tidak harus balik kanan untuk ganti baju.
Amran tidak peduli dengan sekelilingnya. Tidak ada yang bisa menahan nafsu makannya yang membeludak. Sejak bangun tidur dia sengaja melewatkan makan pagi dan makan siang demi pesta ini. Sushi, Sashimi, dan makanan khas Jepang lainnya sudah berbaur dengan makanan Amerika di perutnya. Segala minuman kecuali yang beralkohol sudah melewati tenggorokan. Dia tidak peduli dengan Fahmi yang masih kikuk menyembunyikan tubuh kurusnya.
Haruka sibuk berkeliling menerima ucapan selamat dari para tamu kolega bisnis keluarganya. Berkali-kali gadis itu memanjangkan lehernya mencari kekasihnya yang saat itu berdiri di belakang tumpukan gelas kosong yang disusun bak Menara Eifel yang akan diisi minuman champagne. Tidak menemukan pemuda yang diinginkan, dia mengejar Amran yang sibuk berpindah dari meja-meja yang penuh makanan.