Bab 21; Keputusan Nekat
“Sudahlah, Mi. Tidak ada guna kamu tenggelam dalam kesedihan terus menerus seperti itu.”
“Sakit, Mran.” Fahmi mendesah pelan, “Harga diriku terkoyak.”
Amran memijat pundak sahabatnya lembut. “Iya, aku juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Merana tak akan membuat luka di hatimu pulih. Lebih baik kamu berpikir hal-hal yang lebih positif.”
Pemuda itu menepuk tengkuknya pelan. “Tolong bagian yang ini.”
Jemari pendek dan gemuk itu memberi tekanan lebih di bagian belakang kepala Fahmi. Sendawa keluar berkali-kali dari mulutnya.
“Aku keroki?” tanya Amran.
Fahmi menggeleng. “Tidak apa-apa. Cuma masuk angin ringan.”
“Baru juga seminggu, kamu terlihat lebih kurusan. Makan teratur, Mi. Perjalanan kita masih panjang.” Amran melanjutkan, “Cinta memabukkan sekaligus bisa berubah menjadi kanker ganas yang mematikan. Cinta akan membunuhmu perlahan jika kamu tidak berusaha keras mengobatinya.”
Seringai kecut menghias wajah Fahmi. Tujuh hari ini dia berusa mengisi hari-harinya dengan segala aktivitas. Kalimat hinaan yang dilontarkan ayah Haruka berkelindan dengan bayang kekasihnya. Dicobanya tenggelam dalam buku-buku persiapan riset, malah yang muncul senyum Haruka. Museum sebagai tempat favoritnya menghibur diri selama ini tak juga sanggup menyembuhkan luka yang sudah terlanjur menganga. Jalan-jalan yang selama ini disusurinya berdua dengan sepeda atau mobil milik Haruka tergambar di seluruh ruangan. Romantis dan kenangan indah mengepungnya dari segala sisi. Tidak ada jalan keluar kecuali meringkuk di dalam rumah sembari menekuri jalan kehidupan yang telah membawanya ke Negeri ini.
“Percayalah, aku sedang berusaha,” balas Fahmi.
Hawa yang menekan berurutan keluar dari perutnya. Dia memberi isyarat sahabatnya untuk berhenti menekan tengkuknya. “Cukup, Mran. Terima kasih. Sudah mendingan sekarang.”
“Kamu tidak berusaha menghubungi Haruka?”
Pemuda kurus itu meradang. “Untuk apa? Kamu juga melihat sendiri, dia tidak berusaha mengelak atau melawan.”
“Mungkin dia punya alasan sendiri untuk tidak menentang keinginan orang tuanya?”
Lenguh berat melewati tenggorokan Fahmi.
“Bullshit! Mata hatiku selama ini buta. Mungkin benar apa yang dibilang ayahnya, bahwa aku pemuda yang tak tahu diri. Apa yang bisa diberikan pemuda miskin bagi wanita kaya raya? Cinta? Cuh!”
“Jangan begitu, Mi. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri.” Amran menepuk bahu pemuda itu, kemudian beranjak dari tempat duduknya. “Aku masakkan pecel, ya?”
Ditawari makanan favorit kemarahan Fahmi merendah. “Boleh. Dapat bumbu dari mana?”
“Kemarin beli dari ‘Warung Jawa’ di Nakasu.”
Masakan itu membuat wajah ibunya terbayang. Perempuan yang melahirkannya itu hadir di mimpinya beberapa malam ini. Ikatan batin yang kuat ibu dan anak membuat rasa sedihnya tersampaikan melintasi samudera. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Selisih dua jam memberi informasi keadaan rumahnya yang sudah temaram. Warung nasi pecel di rumah sudah tutup. Dia yakin ibunya saat ini sudah bersiap untuk melakukan Shalat magrib.
Fahmi mengeluarkan ponsel yang selama ini terus dimatikan. Ditekannya tombol di bagian samping. Layar gelap berubah terang. Menyalurkan kekuatan radiasi non-pengion yang dihasilkan layar ponsel ke mata. Memberinya kekuatan untuk tidak menunjukkan kegalauan di depan ibunya. Untuk menambah ketenangan, dikeluarkan uang koin lima puluh rupiah warisan ayahnya. Digenggamnya kuat-kuat logam dingin bergambar burung garuda itu agar bisa memberi semangat. Ditekan nomor ponsel ibunya. Dialihkan gambar telepon ke mode video call.
Tepat seperti perkiraannya, tidak menunggu lama, wajah yang selama ini dirindukan tampil dalam balutan mukena. Kerut di wajah wanita yang belum juga berumur lima puluh tahun itu membuat remas kuat di jantungnya agar tidak memperlihatkan kesedihan. Apalagi air mata akibat putus cinta.
Fahmi mengisi udara penuh ke dalam rongga paru-paru. Berusaha menekan kalimatnya agar terdengar ceria. “Assalamualaikum. Sehat, Bu?”
“Wa’alaikum salam. Alhamdulillah sehat,” jawab suara wanita di seberang lautan.
“Rini, Rio, sehat juga?”