NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #22

Bab 22; Ujian Cinta

Bab 22; Ujian Cinta


Derai sengau keluar dari bibir tebal pemuda gemuk itu mendengar jawaban Reina. 

“Kamu tidak berhak menekan Fahmi seperti itu. Biarkan dia berpikir!” 

Rambut Reina yang tergerai sebahu bergerak liar kala dia menggelengkan kepala. Gelombang kucir di ujung rambut yang disemir kemerahan itu berderak ke kanan ke kiri seolah surai Naga yang marah. 

“Aku berhak mendengar ketegasan Fahmi! Ini tentang masa depan sahabat terbaikku. Aku tak ingin dia sengsara di kemudian hari!” bentaknya marah.

“Tetap saja! Kamu tidak punya….”

Sebelum Amran meneruskan kalimatnya, Fahmi sudah menekan tangan sahabatnya itu. “Tidak perlu diperdebatkan. Aku sudah memutuskan pilihanku.”

“Tapi, Mi … Kamu….”

Fahmi mengalihkan tatapannya dari rumput igusa yang sejak tadi dipandangnya ke Amran. Bibirnya merekah senyum. Dipandangnya sahabat yang telah menemaninya empat tahun ini dengan lembut. 

“Terima kasih atas bantuanmu selama ini. Bagiku kamu bukan hanya sahabat, tetapi sudah menjadi saudara dalam suka dan duka. Selama ini aku bertindak dan mengambil sikap berdasarkan perhitungan angka-angka. Berdasarkan plus minus. Untuk kali ini, biarkan aku memutuskan masa depan sesuai kata hatiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Yang pasti, aku tak akan menyia-nyiakan cinta tulus yang telah kudapat.”

Amran berubah memelas. Dia tahu sahabatnya itu masih ingin menggeluti jenjang pendidikan berikutnya bersama. 

Fahmi mengalihkan tatapan penuh percaya diri dan ketegasan pada Reina. “Apa yang harus kulakukan?”

Gadis cantik yang duduk bersimpuh bertelekan pada kedua kakinya itu mengeluarkan amplop putih ukuran kertas A4 yang tertutup rapat dari tas. Dia meletakkan amplop itu di atas meja. Menyorongkannya pelan ke Fahmi. 

Nada pedih terdengar jelas saat dia memberitahukan isinya. “Surat dari Haruka dan tiket pesawat untuk dua orang,” katanya pelan. 

Gemetar jemari Fahmi mengeluarkan isi amplop itu. Seperti yang dikatakan Reina, sebuah kertas A4 bertuliskan huruf kanji yang rapi dan mungil. Dia tidak pernah melihat tulisan tangan Haruka, tapi dia yakin gadis itulah yang menulisnya. Keyakinannya membuncah kala melihat nama gadis itu dan namanya tertulis di tiket pesawat kelas bisnis Fukuoka-Jakarta. Tanggal yang tertera: esok hari pukul 07:40.

Detak jantung Fahmi mengencang. Jemarinya semakin gemetar membuka kertas A4 yang terlipat jadi dua. Tanpa bisa dicegah, keringat membasahi punggungnya. Matanya cepat menyelusuri huruf kanji yang dirangkai indah. Namun, tak seindah arti kalimat yang tertulis. 

“Aku akan menjelaskan semuanya saat bertemu. Malam ini. Tetapi jika kamu ragu, aku tak akan menyalahkanmu. Aku selalu mencintaimu. Haruka.

Kertas selembar itu diletakkan kembali di atas meja dalam keadaan terbuka. Amran mencuri sekilas apa yang tertulis. 

Kakeochi[1]?” tanya Amran ragu.

“Ya, kakeochi!” jawab Reina tegas.

“Pikirkan kembali, Mi. Lagipula, Haruka jelas menulis tidak akan menyalahkanmu jika kamu tidak ingin melaksanakannya.”

Fahmi merogoh saku. Uang koin pemberian ayahnya terasa dingin dalam genggaman. 

“Tidak, Mran. Tekatku sudah bulat. Ayahku pernah bilang, ‘Lelaki yang dipegang adalah ucapannya. Kalimat yang keluar dari mulutnya laiknya anak panah yang meluncur dari busurnya. Sekali keputusan keluar dari mulut itu, pantang untuk ditarik kembali. Apa pun risikonya.’”

Helaan napas panjang keluar dari paru-paru Amran. Dia tahu kekerasan hati Fahmi. Dan, dia yakin tidak akan bisa mengubah keputusan yang telah diambilnya. Amran menepuk pundak sahabatnya. “Kalau itu keputusanmu, aku akan berada di pihakmu.”

“Terima kasih, Mran.” 

Fahmi kembali menatap Reina lekat. “Apa yang harus kuperbuat?”

Reina menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke dua pria muda itu. Aroma sampo yang keluar dari rambutnya menggelitik hidung Amran dan Fahmi. Kalau saja pada suasana yang berbeda, Amran tak segan memuji kelembutan wangi rambut itu. 

“Dengarkan penjelasanku baik-baik,” kata Reina pelan.

Dia melanjutkan dengan nada yang sama, “Jam sembilan malam ini, akan ada pergantian pihak perawat yang berjaga. Serah terima tugas membuat mereka sedikit sibuk. Saat itulah Haruka akan berganti pakaian, dan keluar dari kamarnya. Sebelum jam itu, kamu harus sudah berada di area parkir belakang gedung. Setelah bertemu Haruka, pakai taksi untuk melanjutkan perjalanan kalian.”

Amran dan Fahmi menunggu instruksi berikutnya dari Reina. Namun, tidak ada perintah selanjutnya dari gadis itu kecuali dengus napas memburu diiringi tiga detak jantung yang berpacu kencang. 

Keheningan berjalan lambat seiring desir angin yang menerpa kaca jendela. Telinga dua pria yang sudah disiapkan baik-baik untuk mendengar rencana menakutkan itu mengalami kekecewaan. Beberapa pertanyaan mengganggu isi kepala mereka.

“Bagaimana dengan pasien yang lain? Penunggu Haruka?” tanya Amran.

“Haruka berada di ruang tersendiri. Aku dan dia sudah mempersiapkan semuanya untuk malam ini. Ibunya yang seminggu ini tiap malam menunggu telah diminta untuk membiarkan Haruka sendiri malam ini. Siang tadi aku menyelundupkan pakaian bebas ke bawah tempat tidurnya. 

Fahmi tak sabar lagi mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi belum dijawab Reina, “Haruka sakit apa?” 

“Dia sendiri yang akan menjelaskannya padamu. Aku sudah berjanji padanya untuk tidak mengatakannya padamu.”

“Oke. Dia diinfus dan peralatan medis lain mendeteksi?”

“Ya,” jawab Reina singkat.

“Bukankah bila dia mencabut alat medis dari tubuhnya, alat itu akan berbunyi dan mengirim sinyal ke ruang perawat?”

“Kami sudah mengantisipasinya.” Reina tersenyum penuh kebanggaan akan kecemerlangan otaknya. 

Lihat selengkapnya