NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #23

Bab 23; Pengantin Semalam

Bab 23; Pengantin Semalam

Percakapan tiga hari yang lalu itu masih membekas hingga saat ini. Perjalanan masa depan akan ditentukan beberapa menit lagi. Haruka bersiap menerima kenyataan terpahit sekali pun bila Fahmi tidak muncul di tempat yang sudah ditentukan. 

Sebelum dia mencabut peralatan medis dan selang infus, kemudian menggantinya dengan alat yang dibelikan Reina untuk mengakali peralatan itu, terlintas tempat yang akan dituju bila Fahmi ternyata menolak ajakannya. Dia sudah memutuskan tidak ada tempat lain di muka bumi ini untuk mengobati lukanya kecuali rumah kakek dan neneknya di Tokyo. 

Seperti latihan yang sudah dicobanya berkali-kali, Haruka mencabut jarum selang yang menusuk urat nadinya. Secepatnya dialihkan ujung jarum itu ke benda berbentuk bola dengan sulur yang menyerupai urat. Sulur berbahan plastik kenyal itu menerima tusukan sekaligus cairan yang mengalir. Menampungnya dalam kantong plastik yang menempel di permukaan bawah bola. Kemudian Haruka melepas alat perekam jantung, memasangnya pada benda kecil yang berdetak menggantikan detak jantungnya. 

Pengulangan dari latihan yang selama ini dilakukan tetap saja memberi sinyal pada perawat di ruang kontrol. Dia yakin tidak sampai satu menit, Uchida, perawat muda pesolek itu akan muncul dengan rias wajah pekat dan senyum menjengkelkan. Sengaja dia memilih malam ini karena Uchida tak akan repot-repot memeriksanya setelah dua kali dia menemui kejanggalan yang telah dilakukan tak lebih dari keteledoran. 

Tepat seperti dugaannya, Uchida muncul dengan senyum dipaksakan. Kejengkelan yang dilampiaskan dengan membuka pintu kamar dengan kasar membuat Haruka lebih tenang. Sebelum perawat muda, yang lebih tepat bekerja di sebuah perusahaan Entertainment itu membuka mulut, dia sudah mendahului, “Maaf, tak sengaja aku menyenggolnya hingga lepas,” kata Haruka penuh penyesalan.

Ruangan yang tadi temaram berubah terang. Uchida menghidupkan lampu di atap tanpa basa-basi.

“Lagi?”

Pada situasi biasa, pertanyaan ketus yang dilontarkan wanita itu akan ditanggapi Haruka dengan cercaan balik. Alih-alih mengajaknya bertengkar, Haruka hanya mengangguk melas. Gadis itu menutup wajah agar sinar lampu tidak menyilaukan mata.

“Tapi sudah kubetulkan lagi. Semua alat telah kembali normal,” susulnya cepat sambil menunjuk layar monitor detak jantung dan mesin infus yang berjalan seperti sedia kala.

“Lain kali hati-hati,” dengus Uchida. 

“Iya. Aku akan berhati-hati. Maaf.” 

Kalau saja bukan di rumah sakit dan jam sembilan malam, Haruka yakin Uchida akan membanting pintu kamarnya. Gadis itu tertawa kecil. Dia senang bisa membuat perawat judes itu tidak memeriksanya sendiri. Dalam hati dia mendoakan perawat itu bisa menemukan jodoh yang bisa mengubah sifatnya. 

Haruka bergegas menarik buntalan plastik dari bawah tempat tidur. Mengganti baju pasien yang dikenakan dengan baju perawat yang sudah diselundupkan Reina tadi siang. Dia mematut sebentar di ruang yang kembali temaram, membetulkan letak topi perawat, dan memasang penutup wajah. 

Sebelum meninggalkan ruangan, ditenggaknya pil penekan sakit kepala. Perjalanan dari kamar menuju lobi rumah sakit menjadi perjalanan terpanjang selama hidupnya. Detak jantung Haruka berpacu dengan desir darah yang mengalir cepat di pembuluh. Sekilas dia melihat Uchida dan tiga perawat lain sibuk dengan pekerjaan mereka. 

Seperti perkiraan, jam pergantian piket memberinya waktu lebih luang. Pemeriksaan lanjutan perawat tiga jam lagi. Tepat jam dua belas malam, keberadaannya akan diketahui. Haruka yakin saat pesawat yang akan membawanya ke Indonesia take off, ayah dan ibunya tak akan bisa menebak keberadaannya. Tentu saja, sebelum itu terjadi, dia harus meyakinkan diri bahwa Fahmi telah menunggu di parkiran.

Tempat parkir rumah sakit terlihat masih ramai. Puluhan pengunjung pasien bersiap memasuki mobil dengan wajah kuyu. Beberapa petugas medis dalam pakaian biru dan putih bergantian masuk dan keluar dari area Rumah Sakit. Haruka mengangguk dan mengucapkan salam dari balik penutup wajah saat berpapasan dengan mereka. 

Matanya berusaha memilah mobil-mobil yang berjejer. Mencari kendaraan yang selama ini akrab dengannya. Dari jarak lima belas meter dia menemukan mobil itu terparkir dengan mesin menyala di tempat yang terlindungi dari cctv dan penerangan. Asap yang keluar dari knalpot beradu dengan dinginnya udara malam. 

Awal musim semi, Fukuoka masih dibekap udara di bawah sepuluh derajat Celsius. Dengan hanya memakai pakaian serba putih tanpa jaket, gigitan udara membuat tubuhnya menggigil dengan hanya selapis pakaian perawat serba putih tanpa jaket. Sengaja Haruka tidak memberi isyarat apa pun hingga dia berdiri tepat di depan mobil Reina. 

Pintu pengendara terbuka. Tubuh gadis semampai yang dikenalnya itu tergesa turun dari kursi sopir, setengah berlari mendapatinya. 

“Cepat masuk ke dalam. Dingin sekali di luar,” perintahnya. 

Reina membimbing tangan Haruka yang mengigil kedinginan ke deretan bangku di belakang pengemudi. Pintu terbuka, menelan tubuh mungil Haruka ke dalamnya. Sinar lampu dari atap mobil membuatnya mengenali siapa yang telah membukakan pintu. Tanpa peduli siapa yang ikut di dalam mobil, dia memeluk pemuda kurus di sampingnya itu. 

“Maafkan aku yang telah menyakitimu. Maafkan aku….” isaknya. 

Bendungan yang selama ini ditahan agar tidak jebol tak mampu lagi menahan laju air matanya. Bahu gadis mungil itu berderak. Dia menyelusupkan seluruh kepala ke dada Fahmi. 

“Justru aku yang meminta maaf. Aku terlalu bodoh untuk berpikir jernih. Cemburu dan rasa rendah diri membutakan mata hatiku.”

“Terima kasih telah datang. Aku sempat ragu. Permintaanku terlalu….”

Sebelum gadis itu melanjutkan kalimatnya, Fahmi meletakkan telunjuk ke bibir pucat tanpa pemerah itu. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga sang kekasih. Berbisik pelan, “Tidak ada keraguan bagiku. Aku sadar dengan apa yang akan kulakukan. Aku yakin cinta kita sanggup menghadapi segala rintangan yang ada.”

Haruka semakin mengeratkan pelukan. Fahmi mengelus lembut kepala gadis itu. Keromantisan sejoli harus berakhir dengan erangan Amran yang duduk di samping Reina. 

Lihat selengkapnya