Bab 24; Penyatuan Dua Hati
Haruka menunduk dalam-dalam mengucapkan terima kasih. Fahmi mengikuti gerakan kekasihnya tanpa tahu bagaimana acara selanjutnya. Dua pegawai Hiromi menyapa mereka di balik pintu. Keduanya berusia mendekati tiga puluh tahun, belum pernah menikah, tetapi, tahu betul bagaimana prosesi detail sebuah pernikahan. Mungkin saking seringnya merias dan mempersiapkan sebuah pernikahan, dua pegawai ini mengikuti jejak majikannya: enggan menikah.
Ruang dua yang dimaksud Hiromi adalah sebuah aula kecil berukuran enam kali sepuluh meter persegi. Lantainya terbuat dari kayu oak warna coklat. Dindingnya dilapisi wall paper bernuansa putih penuh taburan bunga sakura. Atapnya ditinggikan lima meter membentuk kubah buatan dengan atap dilukis langit biru. Puluhan lampu yang terpasang berbinar terang. Dengan teknologi komputerisasi, awan berarak pelan membuat suasana malam di luar berubah siang cerah.
Di bagian depan, lantai berundak rendah sepuluh senti dibentuk seperti pentas bagi mempelai. Di depan pentas, gapura kecil dibuat seperti sebuah pintu dengan taburan pohon plastik menjulur. Melingkari bagian depan hingga separuh gapura dipenuhi hijau daun yang terbuat dari plastik pula. Kamera cctv yang terpasang di enam tempat berbeda siap merekam semua kejadian.
Fahmi mengenakan setelah celana dan jas hitam panjang hingga menutup paha. Dasi kupu-kupu putih menjerat leher kerah baju putihnya. Seuntai bunga merah bertengger di saku kanan jas. Kilat sepatu hitam berlomba dengan rambut yang basah mengkilap. Di tangannya buket bunga warna-warni dari plastik siap dipersembahkan untuk pasangan hidupnya. Dia menunggu bersama pemuda yang duduk setengah mengantuk dengan jemari malas di tuts piano. Tiga deret kursi kosong sebagai saksi bisu terpaku menunggu sang kekasih muncul dari lantai satu bersama dua pengiringnya: Sachi dan Hana.
Kesunyian itu dipecahkan dengan kemunculan Saito Hiromi yang telah berganti pakaian dengan kimono lengkap dan rias pekat. Rambutnya tetap ter sanggul ke belakang. Hiromi yang akan bertindak sebagai wali yang akan mengesahkan pernikahan mereka.
Wanita itu memberi isyarat pada Makoto. Seketika lampu di gapura berubah warna-warni. Denting piano dalam alunan nada jingle pernikahan mengalun pelan dan syahdu.
Suara tegas Hiromi terdengar memberi perintah, “Harap calon mempelai perempuan diantar ke balai suci.”
Fahmi berusaha menekan perut agar tidak meledak dalam tawa mendengar gapura kecil itu diibaratkan sebagai balai suci. Sedari awal dia seperti kerbau dicocok hidung. Kalau apa yang diinginkan Haruka bisa sedikit membuatnya bahagia, dia bahkan rela berpakaian sebagai badut dan mengamen di jalanan.
Fahmi melongo kala seorang gadis mungil dalam balutan baju pengantin serba putih berjalan pelan didampingi dua wanita. Baju pengantin itu menjulur hingga ke lantai. Menutupi sepatu berhak tinggi yang dikenakannya. Tata rias yang indah menutup wajah Haruka yang pucat. Kedua pipinya bersemu merah. Rambut sebahu disanggul ke belakang. Haruka berjalan angun kemalu-maluan. Sachi dan Hana telah mengubah gadis muda berhati baja itu laiknya putri manja.
Fahmi memicingkan mata untuk memastikan bidadari yang berjalan pelan mendekat dengan senyum bahagia itu adalah kekasihnya. Aroma taburan ribuan bunga yang dihasilkan mesin penyemprot parfum di empat sudut ruangan mendesak hidung Fahmi. Jarak dengan Haruka semakin dekat. Matanya tak lepas barang sedetik pun menikmati kecantikan asli gadis Jepang. Haruka juga menatapnya dalam pandangan yang sama.
“Kamu cantik sekali,” puji Fahmi tulus ketika Haruka tiba di depannya. Dia menyerahkan buket bunga ke kekasihnya.
Haruka menerima buket bunga itu tanpa melepas tatapannya pada Fahmi. “Kamu juga sangat tampan,” bisiknya mesra.
“Kedua mempelai silakan mendekat,” perintah Hiromi.
Fahmi menggandeng tangan kanan Haruka yang berbalut sarung tangan putih. Di tangan kirinya buket bunga pemberian Fahmi tergenggam erat.
Hiromi melanjutkan, “Pernikahan hanya pengesahan dari dua cinta yang suci. Atas mandat yang diberikan cinta suci kalian, aku akan mengesahkan penyatuan cinta kalian di altar ini.”
Hiromi mengarahkan pertanyaannya pada Fahmi, “Sebelum kunikahkan kalian, apakah cincin yang akan diberikan kepada calon mempelai wanita sudah siap?”
Fahmi kelabakan. “Ehm, maaf. Saya tidak punya cincin pertunangan atau pernikahan,” jawabnya malu.
“Kalau tidak ada cincin, mungkin benda yang berharga lainnya? Apa pun. Yang penting bisa mengingatkan Haruka bahwa seorang pria telah memberikan benda paling berharga yang dia punya.”
Kalau saja Fahmi tidak melihat keseriusan dari permintaan Hiromi, hampir saja bibirnya terpeleset mengucapkan, “Tidak cukupkah hati dan masa depan saya?”
Untungnya dia teringat benda pemberian ayahnya. Dikeluarkan koin logam lima puluh rupiah dari dompetnya. Digenggamkan logam itu ke telapak tangan kekasihnya.
Tegas dia berucap pada Haruka, “Koin logam ini sangat kecil bila dinominalkan. Tapi, koin ini telah banyak memberiku kekuatan dalam mengarungi dunia ini. Benda ini adalah benda berharga yang kupunya. Kuserahkan benda ini padamu sebagai penanda telah kuserahkan semua jiwa dan raguku untukmu.”
“Terima kasih,” bisik Haruka haru. Dia tahu apa arti koin itu bagi Fahmi. Koin yang punya arti sama dengan yang dimiliki kedua adiknya.
Hiromi tersenyum lega. “Baiklah, kita mulai saja prosesi ini.”
Dia menatap Haruka, melanjutkan prosesi penyatuan cinta. “Yasuda Haruka, apakah Anda bersedia menerima lelaki di depanmu ini sebagai suamimu? Mencintainya dalam suka dan duka?”