NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #25

Bab 25; Akibat Masa Lalu

Bab 25; Akibat Masa Lalu


Urat dan otot Fahmi menegang. Sebagai seorang lelaki, instingnya untuk melindungi wanita bangkit. Dia siap melawan siapa pun yang akan menghalangi langkahnya. Haruka sudah dewasa. Secara hukum sudah bisa menentukan nasibnya sendiri, walaupun mendapat tentangan dari orang tuanya sekali pun. Mereka tak bisa memaksa anak gadisnya mengikuti kemauan mereka. 

Ketika mendekat, Yasuda Hiroko menubruk anak semata wayangnya itu. Ibu itu memeluk erat anaknya. Ibu dan anak bertangisan. Semburan air mata mengenang di kedua bola mata mereka. Membasahi dua wajah mungil bak pinang di belah dua. Fahmi menemukan bara di bola mata pria di hadapannya. Anehnya, api yang sempat membakar wajah pria seukuran tingginya itu meredup melihat tatapan perlawanannya. Kemudian berganti dengan tatap pedih menyayat. 

Itsuo menegang. Menatap bergantian istri dan anaknya yang sedang bertangisan. Wajahnya semakin memucat kala Hiroko melepas pelukan dari anaknya. Berdiri tegak menghadap dirinya dengan sikap penuh tantangan.

“Aku selama ini selalu mengikuti perintahmu, keinginanmu. Aku tidak membantah saat ayahku menjodohkanku denganmu. Kau pun tahu aku tidak mencintaimu saat itu. Tapi, setelah kita menikah, aku berusaha menerima semuanya. Berusaha belajar mencintaimu. Dua puluh tiga tahun kita menikah, sekali pun aku tak pernah menentangmu.” 

Wanita seusia ibu Fahmi itu berhenti sejenak. Air mata yang bercucuran dihapusnya dengan ujung jaket. Dia melanjutkan penentangan pada suaminya di tengah isak tangis, “Kali ini, aku tidak ingin kehilangan anakku demi ego dan ambisimu! Aku memohon padamu, hentikan keinginanmu. Jika kamu tetap melakukannya, kamu akan kehilangan dua wanita sekaligus dalam hidupmu!”

Okaasan….” Bisik Haruka.

Gadis itu menggigit bibir bawah, berusaha menekan air mata dan letupan kesedihan bercampur rasa haru yang membelit. Haruka berusaha mengatur napas. Sekeras apa pun ayahnya menentang, bila ibunya sudah memberi ultimatum seperti itu, dia yakin keinginan ayahnya akan surut. Dia berdiri tegap di sisi ibunya. Menghadap pria yang telah hadir di kehidupannya itu dengan berani. 

“Aku selalu mencintai Otoosan. Selama ini aku berusaha menjadi anak baik, anak yang berusaha membuat Otoosan bangga. Namun, kali ini aku harus mengambil sikap. Aku sudah dewasa. Aku ingin menentukan masa depanku sendiri. Aku mencintai Fahmi. Dengan atau tanpa restu dari Otoosan, aku akan hidup bersama pemuda pilihanku,” kata Haruka tegas.

Dua wanita yang selama ini membuat hidupnya berwarna cerah telah menentukan pilihan mereka. Tubuh Itsuo bergetar hebat. Otot-otot di wajahnya menyembul menahan tekanan yang menghajar egonya. Dia menengadah, membuka mulut lebar, melenguh tanpa suara. Serasa ingin dilepaskan beban berat yang menindih pundaknya dengan lenguh itu. Kemudian, otot-otot di wajahnya mengendur. Kepalan tangannya melemas. Dia menatap Haruka dan Fahmi bergantian.  

“Baiklah. Aku tak akan menahan keinginan kalian berdua. Tapi, tolong dengarkan ceritaku. Setelah mendengarnya, terserah kalian menentukan pilihan,” kata Itsuo pelan. 

Haruka mengalihkan pandangan ke ibunya. Mencari kebenaran tutur ayahnya. Wanita setengah baya yang masih menyisakan kecantikan masa mudanya itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. 

“Kita ke sana.” Itsuo menunjuk tempat kosong yang tidak terlalu ramai. Dia melanjutkan, “Aku ingin bicara lebih bebas dan tak terganggu.”

Tanpa menunggu persetujuan anak dan istrinya dia melangkah lunglai menuju tempat yang ditunjuk. Tempat itu lebih menjorok ke dalam. Jauh dari counter berbagai perusahaan penerbangan, dan tidak banyak orang lalu lalang yang memperhatikan. 

Hiroko mengikuti langkah suaminya. Haruka menggandeng tangan Fahmi yang masih mematung, tak percaya dengan perubahan cepat lelaki yang selama ini menentang hubungan mereka. Jemari Haruka menggenggam erat jemari Fahmi. Memberi kepercayaan pada kekasihnya itu bahwa masa depan cerah yang dinanti akan segera tiba. 

“Tolong jangan sela ceritaku sebelum tuntas,” pinta Itsuo pada anak dan istrinya. 

Lelaki itu menatap Fahmi lekat, kemudian menunduk. Sorot mata pemuda kurus yang balik menatapnya berubah menjadi ribuan anak panah yang siap keluar dari busurnya. “Agar Fahmi kun juga tahu secara lengkap jalinan ceritaku,” lanjut Itsuo pelan.

Haruka meremas tangan Fahmi. Remas itu menghasilkan hawa hangat yang menjalari seluruh persendian anak muda itu. Untuk pertama kali pria yang selalu menatap dengan kebencian itu memanggil namanya. 

“Margaku sebelum menikah dengan ibu Haruka adalah Tanaka. Aku dilahirkan dari keluarga miskin, sehingga ayahku tak sanggup membiayai kuliahku. Untuk itu, aku bekerja paruh waktu pada keluarga Yasuda sembari menyelesaikan kuliah. Setelah menyelesaikan kuliah, aku bekerja penuh waktu di Yasuda Corporation. 

Tanpa kenal lelah dan waktu, kuhabiskan waktu mudaku mengabdi pada keluarga Yasuda. Seiring waktu, kerja kerasku mendapatkan perhatian dari pemilik perusahaan, yaitu kakek Haruka. Karierku terus menanjak hingga mencapai jabatan sebagai General Manajer bagian pembelian. Tatkala Presiden Direktur Yasuda Corporation memperkenalkan pada anak perempuan satu-satunya, dan berharap aku mau menikahinya, tanpa berpikir panjang kuterima tawaran itu. Singkat kata, gayung bersambut. Anak Presiden Direktur Yasuda, yaitu ibu Haruka, tidak menampik perjodohan yang dipilihkan ayahnya. Kami menikah. Dua tahun setelah pernikahan kami, lahirlah Haruka.”

Itsuo mengangkat tangan ketika Haruka ingin membuka mulut. Dia tahu gadis itu ingin memprotes apa yang selama ini dilakukan ayahnya. 

“Aku tahu apa yang akan kau sampaikan, Nak. Ya, aku telah melakukan pengulangan kisah hidupku pada anak gadisku sendiri. Menjodohkanmu dengan Okabe, kemudian mewariskan perusahaan yang kuterima dari kakekmu pada karyawan yang kuanggap berprestasi. Semula kuanggap rencanaku akan berjalan mulus. Tapi, kemunculan Fahmi kunmembuat semuanya berantakan.” 

Haruka tak mampu lagi menahan emosinya. “Apakah karena Fahmi bukan orang Jepang? Bukan pegawai Otoosan yang berprestasi?” sodoknya. 

“Bukan itu alasanku. Puluhan Negeri sudah pernah kusinggah. Aku bukan tipe orang yang rasis.”

“Lalu apa? Karena pemuda yang kucintai ini anak orang miskin?” desak Haruka.

Itsuo menggeleng tegas. “Fahmi kun mengingatkan akan perjuanganku ketika remaja.” Sebelum pemuda kurus yang masih menggenggam jemari anaknya membesar kepalanya, Itsuo melanjutkan, “Sudah kubilang tadi, tolong jangan menyela ceritaku.”

Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Maaf….”

Itsuo mengatupkan kembali mulutnya kala panggilan dalam tiga Bahasa yang disampaikan bagi penumpang lewat pengeras suara memotong pembicaraannya. Dia menyadari tempat yang dipilih untuk menceritakan masa lalunya tidak tepat. Namun, kondisi memaksanya harus menggali masa lalu yang selama ini menghantui mimpinya. Sebelum semuanya terlambat. 

“Dua puluh lima tahun yang lalu, perusahaan menugaskan aku ke Indonesia sebagai pembeli. Bali, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Banjarmasin, Solo, Jogjakarta kujelajahi untuk mendapatkan produk furnitur dan handicraft yang berkualitas dengan harga murah. Bahkan setahun penuh aku tinggal di Jakarta.” Itsuo berhenti sejenak membasahi kerongkongan dengan ludah. 

Lihat selengkapnya