NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #26

Bab 26: Cinta Hanya Serpihan Dusta

Bab 26: Cinta Hanya Serpihan Dusta



Mendung menggantung membuat sinar matahari tenggelam dalam kepekatan. Angin berembus keras menggulung serak daun. Lidah kilat berkali-kali menyambar ingin menjilat permukaan bumi. Asri berdiri mematung di dek paling atas kantornya. Pandangannya kosong. Jiwanya hanyut terbawa ranting yang tersapu angin. Sebuah ledakan di udara membuat detak nadinya berdenyut lebih cepat. Puluhan kali dia berpikir akan melakukan, tetapi, hari ini keputusan yang diambilnya sudah bulat. Malam tadi diulang kembali rekaman perjalanan hidupnya. Kala semburat cakrawala pagi menghiasi ufuk timur, dia mantap mengambil jalan terakhir itu sore ini.

Cuaca sedang berpihak padanya. Siang hari cuaca cerah berubah gelap. Seluruh teman-teman kantor cepat meninggalkan pekerjaan saat bel penanda jam kerja berdering keras. Hari Jumat kebetulan barang produksi sudah dimuat. Hari Sabtu pukul satu siang sebagian besar karyawan produksi telah meninggalkan pabrik. Asri menunggu hingga sore sampai seluruh staf pulang, dan kantor dalam keadaan kosong. Agar tidak menimbulkan kecurigaan atasannya, gadis berumur dua puluhan itu bersembunyi di kamar kecil. Menguncinya dari dalam. 

Perlahan dia meninggalkan tempat persembunyian ketika lampu kamar mandi dimatikan dari luar. Ujang Pramana, satpam pabrik, telah memastikan tidak ada staf atau karyawan lain yang masih tinggal di kantor.

Ruang kantornya di lantai dua. Dengan mengendap Asri menaiki tangga menuju lantai tiga tempat show roombarang contoh, terus melanjutkan langkahnya hingga dek lantai terakhir. Atap kantor tidak terbuat dari genting. Melainkan dari semen cor, dan dibatasi pagar besi yang melingkari seluruh atap bangunan setinggi satu setengah meter. 

Langit gelap dengan tiupan angin keras membuat pergerakannya tidak diketahui satpam yang berjaga di pos bawah. Setetes dua tetes air yang mulai turun dari langit memeluk tiga satpam yang berjaga agar tidak berkeliling. 

Kilat cahaya di langit diikuti ledakan cemeti. Asri meraih besi pembatas pagar. Mengangkat pelan tubuhnya yang semakin berat. Dingin logam menggigit telapak tangannya. Bau korosi dari logam yang terpapar panas dan dingin udara menusuk hidungnya. 

Di balik pagar besi yang membatasi dek atas dengan udara kosong, masih tersisa pijakan selebar telapak kaki. Pijakan kecil yang berfungsi sebagai talang air itulah menjadi pijakan Asri. Dari tempatnya berdiri hingga ke tanah sekitar lima belas meter. Asri melongok ke bawah. Sekali lagi dia meyakinkan dirinya batu pafing di sana akan menerima tubuhnya tanpa ampun. Membantunya menghilangkan kepedihan hidupnya.

Dielus lagi perut yang membuncit dengan tangan kiri, sedang tangan kanan masih menggenggam jeruji pagar yang menahan tubuhnya agar tidak meluncur ke bawah. Pilihan terakhir telah ditetapkan. Pengalaman hidup yang dihabiskan di panti asuhan anak yatim piatu membuat Asri tidak yakin bisa mengemban hidup bersama orok hasil hubungan terlarang. Perundungan dan kepedihan yang diterimanya di panti asuhan membuat kepercayaan diri untuk meneruskan hidup benar-benar berhenti di titik nadir. Cukup dirinya saja yang mengalami. Dia tak ingin kepedihan hidup ditularkan pada calon bayinya. 

“Semoga di dunia yang lain aku bisa melahirkanmu,” bisik Asri.

Pandangan Asri buram tertutup air mata bersama air menderas yang turun dari langit. Cemeti alam kembali menggelegar seolah lagu pengantar baginya menuju alam lain yang dirindukan. Kilat itu melukis wajah lelaki Jepang yang meninggalkannya. 

“Lelaki laknat!” pekiknya. 

Asri menutup kelopak mata. Tersenyum pahit. Kemudian melepaskan pegangan di jeruji pagar. Per sekian detik tubuhnya tertarik gaya gravitasi. Dia berharap terus meluncur, menapak kehidupan selanjutnya. Tetapi gaya gravitasi yang menarik tubuhnya mendapatkan perlawanan. Asri tertarik ke belakang. Kakinya masih tetap memijak dek, punggungnya terentak menabrak jeruji. Sepasang lengan kekar mendekap dadanya erat hingga paru-parunya tak bisa memompa udara. 

“Hentikan! Jangan lakukan perbuatan bodoh itu!”

Tanpa melihat siapa yang telah mendekap, dia mengenal betul suara yang berteriak di belakangnya. Suara itu selalu menyapa ramah bila Asri datang dan pulang melewati pos satpam. Suara milik Ujang Pramana.  

Asri membentak lelaki yang masih mendekapnya erat, “Lepaskan! Biarkan aku menentukan jalanku sendiri!”

“Semua masalah ada pemecahannya. Bunuh diri bukan jalan terakhir! Kamu tidak akan menemukan kebahagiaan di dunia lain, sebab Tuhan tidak akan menerima jiwamu! Ingat Tuhan, Asri!”

Gelegar guntur kembali memekakkan telinga. Kilat menyambar-nyambar berpacu menyemangati pertempuran antara manusia dan setan. 

“Persetan dengan Tuhan! Kalau Tuhan ada, kenapa Dia selalu memberi kepedihan sepanjang hidupku?! Lepaskan aku!”

“Jangan kutuk Tuhan! Dia memberi cobaan kepada manusia sesuai kemampuan manusia itu. Kalau Tuhan memberimu cobaan saat ini, karena Dia tahu kamu mampu menahannya!”

“Aku tak butuh nasehatmu! Lepaskan akuuu!” Asri berteriak kesetanan. 

Usaha menarik tangan yang mendekap dadanya tak jua memberikan hasil. Tangan kekar itu tak bergerak sedikit pun. 

“Aku tak akan melepaskanmu! Aku tak akan membiarkanmu bertindak bodoh!”

“Kenapa?! Kamu bukan siapa-siapa bagiku!”

“Karena aku mencintaimu! “

Mendengar ungkap rasa lelaki yang mendekapnya dari belakang, Asri tertawa sengau. “Cinta?! Ha ha ha. Cinta hanya serpihan dusta! Aku muak dengan kata itu! Jangan bicara tentang cinta padaku!”

“Aku memendam cintaku padamu sekian lama. Aku tahu apa yang terjadi padamu, Asri. Aku tahu apa yang telah dilakukan lelaki Jepang itu padamu. Anak yang ada dalam kandunganmu tidak bersalah!” teriak Ujang.

Lihat selengkapnya