NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #27

Bab 27; NAMIDA (Air Mata)

Bab 27; NAMIDA (Air Mata)

Reina telah menunggu Fahmi di lobi rumah sakit. Pengunjung dan petugas medis berbaur menggunakan waktu istirahat siang untuk mengisi perut. Restoran kecil dan convenient store yang berada di dalam area rumah sakit penuh sesak. Reina yang tinggi semampai terlihat mencolok di antara kerumunan lalu lalang ratusan manusia. Gadis cantik itu melambaikan tangan kala melihat Fahmi kebingungan. 

Wajahnya gadis itu terlihat segar dengan rias wajah tipis. Senyum mengembang di bibirnya yang seksi ketika menyambut Fahmi.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.

Pemuda itu mengedikkan bahu. “Sehat, sampai saat ini masih bisa bernapas,” jawab Fahmi mencoba melucu.

Reina mengacuhkan kepura-puraan itu. “Aku turut sedih mendengar cerita tentang kalian. Jangan terlalu dipikir, Fahmi chan. Jaga kesehatan, ya.”

“Tidak usah terlalu khawatir. Aku akan baik-baik saja. Oh ya, bagaimana keadaan Haruka saat ini?”

Reina memberi isyarat agar Fahmi mengikuti menuju elevator. Selama menunggu kotak yang bergerak turun dan berhenti di setiap lantai itu, Reina berucap pelan menerangkan keadaan Haruka. 

“Seperti yang kukatakan lewat telepon, Haruka baik-baik saja. Sejak dari Bandara, Haruka tidak sadar. Tanda-tanda kehidupannya mulai melemah. Sehingga Dokter memutuskan untuk mengoperasi tumor ganas yang bersarang di otaknya. Operasinya sukses, dan kesehatan fisik Haruka berangsur membaik. Tapi, ada bagian di memorinya yang tidak bisa diakses. Artinya, dia kehilangan beberapa memorinya.”

“Sampai saat ini sejauh mana ingatannya?”

“Dia bisa mengenali ayah, ibu dan teman-teman masa SMA-nya. Beberapa teman kuliah yang datang ada yang bisa dikenali ada yang tidak. Untungnya, dia masih bisa mengenaliku.”

“Kenapa mereka memintaku datang?”

Nada kalimat Fahmi terdengar pedas di telinga Reina. Gadis itu tidak menanggapi. Dia tahu betul lubang menganga di hati Fahmi belum pulih. 

“Dokter yang meminta. Sampai di mana Haruka bisa mengingat peristiwa terbaru. Sebelum dia pingsan, memori terakhirnya adalah bersamamu. Itu yang ingin digali.”

“Untuk apa?” 

“Aku belum tahu,” bisik Reina. 

Elevator terbuka pelan. Kerumunan petugas medis dan pengunjung berhamburan. Di belakang Fahmi dan Reina, antrean panjang pengunjung memasuki elevator yang cukup menampung puluhan orang. Reina menekan angka “Dua puluh lima”. Pengunjung lainnya menekan angka hingga di tiap lantai elevator itu berhenti. 

Lima menit dibutuhkan menuju lantai yang dituju. Lima menit yang menyesakkan bagi Fahmi. Apa yang akan dikatakan pada Haruka jika gadis itu bisa mengenalinya? Bagaimana bila Haruka sudah melupakannya? Apa yang akan dikatakan pada lelaki yang telah mencampakkan ibunya itu? 

Fahmi mengikuti langkah Reina dari belakang. Sepatu yang telah digantinya dengan sandal tipis rumah sakit terasa lengket dengan lantai. Dia ikut mengangguk memberi salam pada dokter dan perawat yang berpapasan. Semakin mendekat kamar yang di tuju, irama jantungnya berubah cepat. 

Reina mengetuk pelan pintu yang tertutup. Suara berat dari dalam yang dikenali Fahmi sebagai suara milik ayah biologisnya itu meminta mereka masuk. Setiap rangkaian vokal dan konsonan yang keluar dari bibir lelaki itu serasa ujung jarum yang menusuk. Membuat lukanya kembali berdarah. Fahmi tidak bisa memungkiri perasaannya: Dia membenci pemilik suara itu. 

Pintu terbuka perlahan. Reina memberi isyarat agar Fahmi ikut masuk. Mata Fahmi meneliti satu persatu penghuni kamar. Dia melihat sekilas ke Itsuo yang tak berani beradu pandang dengannya. 

Pria tua berambut putih memakai jas putih dengan stetoskop mengalungi lehernya tersenyum sekilas padanya. 

Mata Fahmi bertumpu pada gadis berwajah pucat yang mengenakan topi kain rajut. Topi itu menyembunyikan kepala plontosnya. Gadis mungil nan cantik yang pernah dikenalnya itu tidak memperhatikan kehadirannya. Dia asyik bertukar kalimat dengan ibunya. 

“Haruka chan, lihat siapa yang datang,” kata Dokter. 

Di belakang dokter tua itu, dua dokter muda berdiri menutup mukanya dengan masker. Di tangan keduanya terdapat alat tulis untuk mencatat setiap reaksi yang akan didapat dari si pasien.

“Reina chan!” pekik Haruka. 

Senyum merekah menghiasi wajah Haruka melihat sahabat sejatinya muncul. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Reina balik

“Semakin membaik. Kata dokter, satu atau dua minggu lagi aku sudah bisa keluar dari rumah sakit. Aku rindu masakan Okaasan. Aku rindu belanja denganmu.” 

Reina menarik bibirnya rekah. Dia memastikan sahabatnya akan pulih fisiknya. Entah dengan psikisnya. Namun, melihat kegembiraan yang meledak di dalam tawa Haruka, kekhawatirannya lenyap. 

“Ada yang ingin menemuimu,” kata Reina perlahan. 

Dia menggeser tubuhnya, memberi ruang untuk Fahmi mendekati Haruka.

Lihat selengkapnya