NAMIDA

Didik Suharsono
Chapter #28

Epilog; Atas Nama Nostalgia

Epilog; Atas Nama Nostalgia


Dua puluh dua tahun sebelumnya.


Toko-toko mewah berjajar rapi di pusat perbelanjaan Shibuya. Kota dengan penduduk sekira dua ratus dua puluh ribu itu tidak pernah tidur. Selalu ada kerumunan pelancong dalam maupun luar negeri yang menghabiskan malam sembari melampiaskan kebutuhan akan barang mewah yang sanggup memuaskan nafsu belanja. 

Beda dengan sebagian besar wisatawan yang hilir mudik masuk dan keluar toko, Hiroko berdiri menyendiri di tengah keramaian. Syal biru yang terbuat dari kain satin ikut tertarik kala wanita bertubuh mungil itu harus menjulurkan leher mencari lelaki yang akan ditemuinya. Lagu nuansa natal dengan aransemen terbaru mengalun semarak di tengah teriakan penjaja barang di jalan. 

Hiroko mengeratkan kancing jaket paling atas kala bulir salju yang menderas mampir menyuruk lewat topinya. Dia menggoyangkan tubuhnya. Menggosokkan telapak tangan yang terlilit sarung tangan tebal agar panas yang didapat dari gerakan itu bisa memberi kehangatan ke bagian tubuhnya yang lain. Rias tipis di wajahnya tak mampu menyembunyikan warna pucat yang mendominasi pipi dan dahinya. Jarum arloji yang melilit pergelangan tangan kirinya menunjukkan angka sembilan lebih sepuluh menit. 

“Terlambat lagi,” bisiknya separuh putus asa. 

Wanita itu merogoh tas tangan, mengeluarkan gawai. Dia terpaksa melepas satu sarung tangannya agar jemarinya bebas menekan nomor di ponsel itu. 

Moshi-moshi[1]. Di mana kamu?” Hiroko berteriak agar suaranya tidak tenggelam dalam deru lagu Christmas. “Sudah setengah jam aku menunggu di sini!” teriaknya kesal.

Suara di seberang tertutup teriakan pejalan kaki. Hiroko beralih ke tempat yang lebih sepi. 

“Beberapa menit lagi aku akan mati membeku di sini!” lanjutnya masih dalam nada yang sama.

Dia menutup percakapannya dengan kasar, kemudian melempar gawai itu ke dalam tas. Secepat kilat dikenakan lagi sarung tangannya. Hawa panas yang keluar dari lubang hidungnya membentuk asap tebal. Agar dia bisa menarik napas panjang untuk menekan kemarahan, ditutup lubang hidungnya. Tarikan napas di tengah cuaca membeku di penghujung bulan Desember membuat kepalanya pening. 

Penantian wanita itu berakhir. Seorang pria dengan tas kerja hitam terbalut jaket musim dingin berbentuk jas melambaikan tangannya. Pria itu setengah berlari dengan hati-hati agar salju yang menumpuk beberapa senti yang belum sempurna dilelehkan pemanas aspal tidak membuatnya terpeleset. 

Sorry. Manajer Suzuki memaksaku tinggal beberapa menit.” 

“Kamu bisa menelepon!”

Pria tampan berambut lurus belah dua itu mengusap salju yang menempel di rambutnya. “Kan aku sudah minta maaf,” katanya enteng.

 “Tega sekali kamu membuatku menunggu di tengah guyuran salju seperti ini. Aku bisa mati kedinginan!” semprot Hiroko.

Hayato mengangkat kedua tangannya. Rasa bersalah yang tadi timbul berubah menjadi kejengkelan. 

“Aku kesini tidak untuk bertengkar. Kalau kamu tidak memaafkanku, lebih baik aku pulang saja!” balas pria itu kasar.

Menerima ucapan kasar dari lelaki yang telah mengisi hatinya dengan haru biru nostalgia itu membuat kepalanya tersentak ke belakang. Topi biru berbahan wol yang menyembunyikan rambut pendek Hiroko tersulur gerakannya. Digigit bibir bawahnya untuk menekan kemarahan yang meledak, sementara tangan kanannya mengelus perutnya pelan.

Lihat selengkapnya