Jemari seorang pemuda berseragam putih abu-abu lincah menautkan tali sepatu. Setelah simpul tercipta, buru-buru pemilik wajah blasteran itu menuju kerumunan di pinggir lapangan ketika sorakan semakin gencar menggema. Tingginya yang di atas rata-rata memudahkan untuk melihat sekelompok remaja sebaya lain melakukan sesuatu di tengah lapangan. Sesekali kepalanya meneleng karena terhalang tangan-tangan milik para siswi yang terangkat untuk menyemangati para pelaku kegiatan. Merasa terganggu, siswa itu beranjak ke kiri hingga sebuah pekik kesakitan ia dengar.
"Eh, sorry, Na. Enggak sengaja tadi," sesal si siswa jangkung ketika mendapati seorang siswi yang ia kenal sedang mengusap sebelah kaki.
"Enggak apa-apa, Gi. Aku aja yang main serobot, jadinya enggak awas."
"Mau aku periksa dulu? Siapa tahu ada yang memar."
Kirana, si siswi berkuncir kuda, menggeleng sembari tersenyum. "Enggak usah. Aku enggak apa-apa, kok."
"Oke."
Muda-mudi itu saling melempar senyum canggung. Sorak sorai di sekitar seperti diredam hingga seolah hanya mereka berdua di sana. Kirana pun seakan tidak mampu menguasai diri ketika berserobok dengan siswa berdarah Jerman tersebut.
"Kalau gitu, aku ke sana dulu. Nyari Indri," pamit Kirana saat disadarkan oleh pekikan siswi lain.
Gadis itu lantas menjauhi kerumunan dan memilih berdiri di samping tiang koridor, meninggalkan si siswa jangkung yang mengawasi sejenak sebelum atensinya kembali terpusat pada para cheerleader.
"SMA 12!"
"Go! Go! Go! We are The Fighter!"
Seruan itu dikumandangkan oleh para pemandu sorak yang telah bersiap. Dua kelompok yang masing-masing terdiri dari delapan personil berkumpul, membentuk lingkaran. Para flyer¹ pada setiap kelompok telah bersiap di posisinya sedangkan anggota lain yang menjadi bases² mempersiapkan tangan dan paha sebagai tumpuan. Dua di antara mereka yang berada di luar formasi sebagai spotters³.
"1-2-3, go!"
Begitu ketua kelompok memberikan aba-aba, para flyer mengentakkan sebelah kaki ke tumpuan tangan diikuti kaki lainnya dengan cepat. Bases dengan tangkas menaik-turunkan flyer dua kali kemudian mengangkatnya ke posisi tertinggi. Para flyer melebarkan kedua tangan dan mengangkat sebelah kaki hingga pada aba-aba yang telah ditentukan, mereka dilempar oleh bases ke udara dan melakukan salto ke belakang sampai mendarat dengan lancar.
Gerakan akrobatik siang itu sontak membuat frekuensi jeritan meningkat. Tampaknya para cheerleader sukses menciptakan decak kagum para siswi dan beberapa guru yang mengamati.
Kirana adalah satu dari sekian ratus siswi SMA 12 yang tidak bisa melepas pandangan dari gerakan permulaan tersebut walau pandangannya tidak bisa menjangkau keseluruhan kegiatan. Pasrah saja ia dengan tingginya yang tetap di angka 153 cm. Memikirkan itu membuat si gadis tidak merasa jika sedari tadi tangannya terus mengusap-usap kaki yang sempat terinjak.
"Enggak puas, 'kan, kalau lihatin yang kita suka dari kejauhan?"
Suara itu membuat perhatian Kirana teralihkan hingga ia lihat siswa lain telah berdiri di sampingnya.
"Apaan, sih, Sat." Kirana menyahut. Bibirnya mengerucut.
Siswa berjuluk 'Sat' tersenyum, menampakkan jajaran giginya yang rapi dan bersih. Kedua tangan yang terlipat di dada tidak mampu menutupi badge name bertuliskan "SATRIA R. ALSAKI".
"Napa tuh kaki? Jablay, ya, sampai dielus-elus kayak gitu?" selorohnya.
Kirana manyun.
"Keinjek tadi sama Gio. Gila itu anak, kakinya gede ternyata."
"Kamunya juga, udah tahu kecil maksa nyempil. Tapi kamu seneng, 'kan, bisa kontak fisik sama mantan."
Mendengar itu, spontan saja Kirana mendelik. Tangannya mengepal, bersiap melancarkan tinjuan.
"Nana!"
Panggilan yang datang bersama datangnya sosok siswi berambut bob menunda tinju yang akan dilakukan Kirana.
"Ke depan sana, yuk! Aku udah nyiapin viewpoint yang mantul buat cuci mata sama anak-anak The Fighter." Tatapan si pemilik mata lebar penuh semangat itu disetujui dengan gembira oleh Kirana. "Sat, si Nana aku pinjam dulu, ya?"
"Silakan, Putri Indri dan Putri Nana yang jadi bucin anak-anak cheerleaders. Selamat bersenang-senang."
"Mending bucin tapi usaha daripada cuma dipendem jadi gondok." Indri menyahut.