Tidak seperti biasa, pagi ini ruang makan keluarga Amartya menjadi tampak sibuk. Biar pun kursi-kursinya tidak sepenuhnya terisi, keluarga itu makan bersama dengan formasi lengkap setelah sekian lama. Kirana terlihat sebagai satu-satunya yang masih menikmati sarapan berupa roti isi. Ia meneguk satu gelas susu rasa melon hingga hampir tandas. Satu piring nugget yang baru saja dihidangkan Supinah segera ia sambar. Gadis itu melahapnya dengan rakus.
"Kamu suka nugget, ya, Nak?" tanya seorang perempuan yang Kirana ketahui bernama Nabila usai perkenalan dramatis kemarin.
"Kirana enggak suka nugget. Dia suka susu melon." Aliya menyahut dengan ketus.
Kirana yang tadinya ingin menjawab akhirnya mengatupkan bibir. Ia lirik sang papa yang membenarkan kacamata sembari berdeham.
"Ma, sarapan dulu," ujar lelaki berumur lima puluh empat tahun itu dengan santun dan lirih.
Aliya, sang istri, mendengkus. Ia ambil roti isi miliknya lalu menyantap dengan tidak nikmat.
Suasana kembali hening. Kirana menyapu bibir dengan tisu lalu mengamati tiga manusia dewasa di meja makan. Semuanya menunduk ke piring, sesekali saling lirik. Lirikan paling ganas tentu saja terlihat dari Aliya. Perempuan yang usianya terpaut lima tahun dari sang suami tersebut memang selalu memasang tampang tidak ramah semenjak bertemu Damar dan Nabila.
Tentu saja Kirana memaklumi. Ibu mana yang tidak kaget jika ada orang lain mengakui anaknya? Ketika itu, Kirana sempat mengira dua pasutri tersebut adalah orang iseng yang mengerjainya. Namun, saat menyadari pikirannya terlalu jauh, ditambah reaksi yang diberikan orang tua, Kirana menarik kembali prasangka. Sang papa dengan segera kembali dari kantor setelah Kirana memberitahukan apa yang terjadi. Sementara Aliya datang beberapa jam kemudian, meninggalkan segala aktivitas amalnya di Surabaya. Rambut pixie cut perempuan itu mencuat. Riasannya memudar. Matanya sedikit memerah. Pertanda ia tidak istirahat dengan nyenyak dari semalam.
Kirana sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi. Ia heran dengan pasutri di depannya yang kukuh mengakunya sebagai anak. Tentu saja itu hal yang tidak masuk akal. Kirana adalah putri Kamal dan Aliya Amartya. Akta kelahiran mensahkan hal tersebut. Pikirannya yang tidak sampai ke nalar itu membuat Kirana mendesah lirih. Ia lirik jam tangan biru di pergelangan.
"Kirana berangkat dulu, Ma, Pa."
Bangkitnya Kirana dari tempat duduk diikuti Damar dan Nabila. Melihat itu, Aliya dan Kamal turut serta mengangkat pantat.
"Kamu mau berangkat sekolah, Nak? Biar kami antar."
"Enggak!"
Seruan melengking Aliya mengagetkan semua, termasuk Supinah yang akhirnya membatalkan langkah menuju ruang makan. Bertahun-tahun mengabdi kepada keluarga Amartya membuatnya hapal tabiat sang majikan. Ia pun berbalik ke dapur dengan cepat. Sementara itu, Aliya telah melangkah untuk pasang badan di depan sang putri. Tatapannya nanar kepada Damar dan Nabila.
"Kalian ini maunya apa, sih? Tiba-tiba aja ke sini terus bikin ribut? Enggak malu apa?" celanya kemudian.
"Ma, sudah, Ma. Tenang dulu." Kamal membujuk. Ia telah berada di dekat sang istri namun belum berani bertindak.
"Mbak Al, kami ke sini dengan damai. Kami enggak mau bikin ribut." Damar mencoba mengendalikan suasana.
"Kalau enggak mau bikin ribut, enggak usah ke sini! Pakai ngaku-ngaku orang tuanya Nana. Nana itu anak kami. Putri keluarga Amartya! Bukan anak kalian, atau orang lain. Titik!"
"Ma, sabar dulu kenapa?"
"Sabar gimana, Pa? Mereka itu udah melanggar janji!"
Kirana hanya mampu menonton. Kepalanya bergerak ke kiri-kanan demi melihat adegan ala drama di televisi. Ia akhirnya jengah. Kaki kurus berbalut kaus kaki putih itu dipaksa melangkah.
"Kalian enggak bakal dapet apa pun karena aku bakal ngirim Nana ke Amerika!"
"Amerika?"
Pertanyaan itu dilontarkan tidak hanya oleh Damar dan sang istri, tetapi juga Kirana. Gadis berkuncir kuda itu telah berbalik. Keningnya mengerut. Alis tebalnya hampir menyatu.
"Amerika?" tanyanya untuk meyakinkan pendengaran.
Aliya melipat kedua tangan di depan dada. Sikapnya angkuh. Air mukanya menunjukkan kemenangan mutlak saat melihat setitik kekecewaan di wajah Damar dan Nabila. Ia tersenyum sinis.
"Amerika?" ulang Nabila, lirih. Perempuan itu yang terlihat sangat sedih.
"Ya, Amerika" jawab Aliya bangga. "Aku udah ngurus semua dokumennya. Nana anak yang pintar. Selalu dapat ranking tiga besar. Bukan hal sulit masuk ke universitas di Amrik sana nanti. Demikian Bapak Damar dan Nabila Dananjaya yang terhormat."
Kirana tidak sempat memperhatikan orang lain. Ia sendiri terkejut dengan keputusan dadakan tersebut. Melanjutkan pendidikan di negeri Paman Sam sama sekali tidak pernah singgah di benaknya. Ia masih ingat jika pernah membicarakan tentang satu kampus ternama di Bandung dan sang orang tua telah menyetujui.
Lirikan ia berikan kepada Kamal. Wajah ramah dan terkesan berwibawa sang papa sama sekali tidak memberikan penjelasan. Kirana mendengkus. Gadis itu sedikit mengentakkan kaki lalu berbalik, melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Beberapa percakapan bernada tidak ramah ia abaikan sampai melewati pintu.
~°°°~
"Amerika?!"
Kirana spontan memukul lengan Indri ketika temannya itu memberikan reaksi yang menurutnya berlebih. Berteriak seraya menggebrak meja ketika kantin dalam keadaan lumayan sepi memang terlalu mencuri perhatian.
Menurut, Indri memberikan senyum ramah kepada segenap pengunjung kantin yang memperhatikannya. Gadis berperawakan tinggi padat itu kembali duduk secara perlahan.