Nana's Agreement

Ayuning Dian
Chapter #3

Kabur Yang Gagal

Kirana keluar dari SUV putih dengan wajah ditekuk. Satu ransel yang putus salah satu talinya ditarik dengan malas. Selesai menurunkan ransel, gadis itu mengeluarkan sepatu yang belum dipakai, berikut barang-barang yang berserak di kursi penumpang; tas sekolah, sebuah buku gambar besar, dan pita rambut. Tidak dia hiraukan bisik-bisik beberapa siswa yang melewatinya dengan wajah heran diiringi cekikikan. Cipto yang memperhatikan sikap tidak biasa putri majikannya itu menghampiri. 

"Mau saya bantu bawa, Non?" tawarnya. 

"Enggak usah," balas Kirana tanpa minat. "Pulang nanti aku ada kegiatan PMR jadi pulang sore. Pak Cip enggak usah jemput. Aku mau nebeng temen."

Cipto mengangguk-angguk. "Baik, Non."

Usai memastikan sepatu terpakai dengan benar, Kirana menenteng semua barang tadi. Langkahnya seperti enggan memasuki gerbang sekolah dengan lambang buku bersayap yang telah dilewati puluhan siswa di depan sana. Beberapa kali terdengar desahan beratnya. 

"Jadi school backpacker, nih? Tren baru, ya?"

Kirana mendecak. Alih-alih membalas, dia mempercepat langkah sekalipun barang bawaannya semakin membebani. Satria sendiri hanya menyunggingkan senyum. Pemuda itu sama sekali tidak berniat membantu. Dia hanya mengekor Kirana. 

"Pagi, Na. Mau ke mana pake ransel gede gitu?" 

Sapaan dari Gio spontan memperlambat Kirana. Gadis itu menoleh pada si pemuda peranakan Jerman yang telah menyamakan langkah. Senyum menawan pemuda itu spontan saja menular. 

"Pagi. Eum, aku ikut camping anak-anak Kawan Alam," jawabnya dengan sedikit gugup.

"Oh, iya? Sama, dong. Tapi Fandi bilangnya besok? Ini masih Jumat, 'kan?"

Dibalas seperti itu membuat Kirana mati kutu. Dia yang sebenarnya tidak tahu jadwal kegiatan kelompok pencinta alam menjadi gelagapan. Ditambah kekehan di belakang yang menambah grogi sekaligus kesal.

"Oh, itu..., aku siap-siap aja, sih. Sedia hujan sebelum...." Kirana menggantung ucapannya dengan nada ragu. Dia merasa ada yang salah dengan kalimatnya, tetapi pikirannya tiba-tiba berhenti berproses. 

"Sedia payung sebelum hujan." Satria mengoreksi. 

Baik Kirana maupun Gio menoleh kepada Satria, seolah pemuda itu baru saja ada di antara mereka. 

"Sini, Na, kubantu. Tuh, kamu sampai belum ngerapiin rambut," tegur Gio.

Kirana yang baru menyadari keadaan rambutnya tersenyum malu. Dia pun pasrah ketika Gio mengambil alih ransel dan buku gambar besar. Tas sekolah yang hanya tersampir di bahu dipindahkan ke punggung. Pita rambut yang tadinya dikantongi segera digunakan. 

"Hasduk?" tanya Gio. 

Spontan kaki Kirana terhenti. Dia menepuk kening. "Aku lupa!" pekiknya.

"Beli aja di toko depan. Pak Samsul yang piket hari ini." Satria mengajukan usul. 

"Ya, udah, deh, aku beli dulu daripada kena tanda merah." Kirana memeriksa tas untuk mengambil dompet. Tanda merah adalah tanda berupa silang besar berwarna merah dari cat air atau spidol yang diberikan Pak Samsul sebagai Kepala Seksi Pengembangan Diri Siswa kepada mereka yang melanggar aturan sekolah. Biasanya diberikan di kening atau bagian lain yang terbuka. Selama ini, Kirana tidak pernah mendapatkan tanda itu. Dia juga tidak ingin malu gara-gara benda kecil yang sering disepelekan para siswa tersebut.

"Ini biar aku bawa ke kelas kamu, ya?" tawar Gio. 

"Tapi jadi ngerepotin." 

"Enggak, kok. Kelas kita kan deketan."

"Beneran?"

Saat Gio mengangguk, hati Kirana semakin menggelembung. Rasanya tinggal menunggu beberapa saat lagi untuk meletus. Dia pun tidak lagi menyanggah.

"Makasih, ya, Gi," ucapnya lalu berbalik ke depan menuju toko di seberang. 

"Pagi-pagi nonton drama, bikin ngantuk," sindir Satria, membuat Gio menoleh. Tatapannya sinis. 

"Iri bilang aja, Bro," balasnya seraya berlalu. 

Satria mendecih. Dia usap hidungnya yang berkedut. Diamati saja Gio yang terus berjalan sampai melewati gerbang sekolah. Helaan napas panjang terdengar. Dia amati halaman sekolah yang mulai sepi akan kedatangan para siswa.

"Enggak masuk, Sat? Nungguin siapa?" sapa Mita.

Lihat selengkapnya