Berbeda dengan kediaman keluarga Amartya yang minim ornamen, keluarga Ramdan lebih menekankan tema green house pada tempat tinggal mereka. Tidak heran, jika dari halaman telah terlihat suasana serba hijau. Di ruang tamu pun, tanaman hias diatur sedemikian rupa sehingga menciptakan kesan menenangkan dan menyegarkan. Di ruang itu pula, Kamal dan Aliya sedang menunggu dengan cemas kedatangan Kirana. Setelah mendapatkan petunjuk dari Indri beberapa menit lalu, rumah kawan lama mereka segera dikunjungi. Beruntungnya, saran dari Indri tepat. Rima, ibu Satria, menjelaskan bahwa Kirana memang ada bersama mereka.
Di sofa lain, Damar dan Nabila terlihat lebih tenang kendati benak mereka gelisah. Sementara sang tuan rumah yang menemani, Candra Ramdan, tampak canggung dengan keadaan tersebut. Basa-basinya dengan Kamal dan Aliya dirasa kurang tepat waktunya sehingga dia lebih sering menyela perbincangan dengan menyilakan minuman yang telah mendingin di atas meja.
Aliya lekas-lekas bangkit saat sosok sang putri terlihat dari celah-celah lemari kabinet yang memisahkan ruang tamu utama dengan ruang tamu sekunder. Wajahnya semringah. Tanpa menunggu Kirana mendekat, dia langsung menyongsong. Dipeluknya sang putri semata wayang dengan haru. Kamal pun menghela napas lega. Dia turut menghampiri keluarga kecilnya.
"Syukurlah kamu enggak apa-apa, Sayang. Mama khawatir banget tadi. Mama pikir kamu..., ah, sudahlah. Sekarang kamu di sini dan semuanya akan kembali seperti dulu," kata Aliya.
"Maaf, ya, Al, kami enggak langsung kasih tahu kamu. Soalnya, kami juga belum tahu apa yang sebenarnya terjadi." Rima menjelaskan.
"Maaf, Ma. Nana yang minta ke Tante Rima supaya enggak kasih tahu siapa pun dulu," terang Kirana.
Aliya tersenyum. Ia mengusap wajah sang putri dengan binar bahagia. "Enggak apa-apa, Sayang. Kita cerita nanti aja setelah sampai rumah, oke?"
"Ma, sebelum itu, Nana mau tanya satu hal. Nana mau Mama sama Papa jawab dengan jujur."
Aliya tersenyum ragu. Nalurinya mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Namun demi sang putri, dia mengiakan saja. "Mau tanya apa, Sayang?"
Kirana menatap orang tuanya bergantian, kemudian melirik sekilas pada Damar dan Nabila.
"Apa benar, mereka orang tua kandung Nana?"
Tubuh Aliya menegang. Senyumnya seketika pudar. Pertanyaan itu membuat insting keibuannya bekerja lebih kuat. Cepat-cepat dia menggamit kembali sang putri.
"Kenapa kamu tanya seperti itu, Sayang?"
"Ma, Nana udah gede," keluh Kirana. Dia tatap sang mama dengan lembut, "Nana butuh penjelasan. Nana enggak mau ada rahasia-rahasiaan lagi. Semalam Nana dengar semuanya. Tentang Nana, tentang mereka, tentang Mama."
"Sayang...."
"Itu benar, Na. Damar dan Nabila adalah orang tua kandung kamu." Tiba-tiba, Kamal menyela. Hal itu terang saja membuat Aliya terkejut bukan main. Matanya melotot pada sang suami.
"Papa! Kenapa Papa malah ngomong gitu?" protesnya.
Kamal mendesah panjang. Ia toleh istrinya yang jelas tidak terima dengan pernyataannya barusan. "Ma, Nana bener. Dia udah gede. Dia berhak tahu kebenarannya."
"Tapi, Pa...." Aliya tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Dia telanjur kecewa. Wajahnya memerah. Bibirnya bergetar. Pikirannya telah buntu sampai dia tidak kuasa menahan Kirana yang melangkah ke depan, mendekati Damar dan Nabila.
"Jadi, Om dan Tante adalah orang tua kandung saya?"
Damar dan Nabila serta merta bangkit. Mereka mengangguk hampir bersamaan, tanpa kata.
"Kalau begitu, kenapa bukan kalian yang bersama saya?"
Nabila tersenyum miris. "Itulah kesalahan kami, Nak. Waktu itu kami masih sangat muda dan keadaan juga enggak memungkinkan. Sementara Mas Kamal dan Mbak Aliya lebih mampu untuk melakukan itu. Jadi, kami pikir kamu akan baik-baik saja sama mereka."
"Terus, apa maksud Om dan Tante kembali?"
Nabila menatap sang suami. Dia terlihat ragu tetapi juga tidak memiliki pilihan. Perempuan muda itu menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Kami ingin menebus kesalahan. Ada sesuatu yang menimpa Tante dan kami pikir itu adalah balasan karena telah menyia-nyiakan kamu. Sekalipun, mungkin, Tante tetap akan menerima ganjaran, setidaknya kami ingin memberikan apa yang harusnya kami berikan sama kamu. Walau memang itu enggak akan mengembalikan apa yang sudah berlalu. Kami minta maaf buat itu, Nak."
Kirana berusaha menahan air matanya, matanya dikedip-kedipkan. Sementara Nabila sudah kalah dengan hatinya. Isak tangisnya terdengar. Ruangan itu terasa menyesakkan dan menimbulkan perasaan campur aduk. Merasa tidak nyaman, Aliya memilih meninggalkan tempat. Dia pergi begitu saja tanpa pamit. Kamal yang sempat bingung akhirnya menyusul sang istri. Sementara Kirana mematung. Dia enggan mengikuti mereka. Hati dan pikirannya masih amburadul. Hidupnya seolah diacak-acak malam itu.
~°°°~
Kamal membuka pintu dan menutupnya dengan perlahan. Kamarnya malam itu gelap gulita, tetapi dia tahu ada seseorang di dalam. Lelaki itu mendesah ketika isakan terdengar semakin jelas. Dia pun menyalakan lampu tidur lalu mendekati Aliya yang sesenggukan di pinggiran kasur, memunggunginya. Kepalanya menunduk. Sesekali tangan perempuan itu bergerak di area wajah.
"Ma," panggil Kamal dengan lembut. Disentuhnya bahu Aliya yang naik-turun. Dia mengambil tempat di sisi sang istri.