Selang sebulan setelah pertemuannya dengan sosok asing itu, paman Ranu jatuh sakit, dan kami pun tidak mengetahui penyakit apa yang telah dideritanya. Bahkan dukun terpintar di desa kami pun sudah angkat tangan pasrah. Kami sebagai keponakannya sungguh sangat bersedih, karena dialah keluarga satu satunya yang kami punya selama ini. Sejak bayi kami berdua sudah diurus oleh paman Ranu. Biarpun orangnya sangat tegas dan disiplin, hati beliau sangatlah baik dan membumi.
Aku dan Dewani tak mau menyerah begitu saja, kami berdua tetap berusaha yang terbaik buat kesembuhan paman Ranu. Kami pun berunding dengan para sepuh desa Randuireng, mengenai kemungkinan yang terburuk yang akan menimpa paman kami. Disuruhnya kami pergi ke suatu tempat bernama Hutan Hitam di sebelah barat desa Randuireng, disana konon ada sejenis tumbuhan lumut ajaib yang hanya tumbuh di hutan tersebut. Menurut para sepuh, tumbuhan lumut ajaib itu mampu mengobati semua penyakit penyakit aneh.Namun untuk bisa mendapatkannya medan yang ditempuh sangat sulit, Hutan Hitam tersebut banyak dihuni oleh roh roh jahat yang meninggalnya biasanya secara tragis dan mengenaskan, sehingga mereka akhirnya menghuni Hutan Hitam tersebut.
Kami harus mempersiapkan diri kami baik secara batin dan fisik sebelum menuju ke Hutan Hitam tersebut. Para sepuh membekali kami dengan senjata pusaka berupa sepasang pedang hitam dari desa Randuireng, dan sekantung beras hitam (kata mereka barang barang tersebut pasti dibutuhkan ketika sudah memasuki kawasan Hutan Hitam). Tak butuh waktu lama buat kami menemukan Hutan Hitam itu, kawasannya bisa dibilang luas dan tertutup akar hitam dari segala penjuru, bahkan kami berdua pun kesusahan menemukan jalan masuk menuju Hutan. Karena kami dikejar oleh waktu, segera dan membabi buta kami membabat semua akar hitam yang berada di depan kami, dan sesuai pesan para sepuh segera taburkan beras hitam begitu kami sudah sampai di pintu masuk Hutan Hitam (tujuannya untuk mengelabui roh roh hitam yang menjaga pintu masuk). Tak perlu waktu lama buat kami berdua menemukan tumbuhan lumut ajaib itu, kami ambil secukupnya dan segera beranjak pergi dari Hutan Hitam tersebut kembali ke desa Randuireng.
Ternyata malang tak dapat diduga, nyawa paman Ranu tak dapat tertolong, musnah sudah harapan kami dapat menyembuhkan beliau. Sesampainya kami di desa, sudah tampak bendera hitam dikibarkan setengah tiang di depan rumah paman kami. Para sepuh sendiri yang datang menyambut kami berdua dan mengucapkan berduka cita atas meninggalnya paman Ranu dan kami disuruhnya masuk kedalam rumah untuk melihat paman kami terakhir kalinya, wajah paman Ranu tampak kehitaman, lidahnya terjulur, dan badannya panas sekali dan melepuh. Tidak ada satu pun yang berani mendekat, kecuali kami berdua.
Aku dan Dewani sangat berduka atas kepergian paman Ranu, dan kami pun bertekad untuk mulai mencari siapakah sosok asing yang dulu pernah datang ke desa kami dan menemui paman kami. Dendam ini harus kami balaskan!