Pagi, di ujung timur sebuah pulau, di sebuah kota yang menghadap ke arah matahari terbit. Saat sang fajar belum menampakkan diri, deru angin pantai yang sejuk bertiup perlahan mengiringi kesibukan di dermaga kota, berdesir meniup rambut hitam diselingi rambut putih seorang lelaki tua dengan baju hitam polos dan celana putih kain panjang. Wajahnya lonjong dipadu kumis dan alis tipis yang hitam. Ia berjalan membelah kerumunan lapak pedagang yang sedang memajang berbagai barang jualan. Mulai dari penjual buah, daging, sayur - sayuran sampai ikan. Senyum tipis dan wajah ramah disajikan para penjual yang hendak menarik perhatian pembeli yang melintas tidak terkecuali sang lelaki tua itu sendiri. Dia lantas memilih berhenti di depan toko yang memajang berbagai macam tumpukan ikan segar di meja tanpa alas. Ada yang berwarna merah muda dengan sisik kecil runcing di punggung dan bergigi tajam, ada ikan putih bergaris hitam, serta ikan sebesar paha manusia berkulit gelap, dan masih banyak lagi jenisnya.
"Oro, ikan paryu," kata lelaki tua itu menunjuk seekor ikan seukuran paha manusia dan meletakkan dua kepingan logam perak di depan sang penjual ikan.
"Satu keping saja. Anggap saja hadiah untuk istrimu yang hendak melahirkan. Ngomong - ngomong kapan anakmu lahir ?" ujar sang penjual ikan. Tubuhnya gempal dan menggelambir, terlihat jelas timbunan lemak telah mengalami penumpukan di balik kulitnya yang cokelat. Tangan gempal itu bergerak cepat membungkus ikan dengan daun cokelat besar yang ujungnya dianyam dengan akar.
"terima kasih Oro. Kehamilannya sudah tua kemungkinan dalam beberapa hari ini pun akan lahir. Saya pun sudah memanggil dukun beranak untuk membantu melahirkan." Senyum lelaki tua berkelopak mata merah pudar.
"sudah menyiapkan nama ?" tanya sang penjual memberikan ikan yang sudah terbungkus dan siap untuk ditenteng lelaki tua.
"Sudah, maaf saya pun harus kembali pulang. Soal nama pun akan saya beritahukan setelah kelahirannya nanti."
"ya sudah, titip salam untuk istrimu." Ujar penjual ikan.
Lelaki tua hanya mengangguk dan dengan segera memalingkan muka untuk berjalan kembali ke rumah. Dengan langkah kecil, ia berbelok ke kiri menyusuri lorong antar toko menuju pemukiman padat dengan warna jingga mendominasi warna. Bangunan yang begitu rapat berjajar tidak sama tinggi seperti undakan karena terletak di lereng gunung yang menghadap langsung ke laut.
*oro : paman, *naviby : dukun beranak
~the beginning~
Tak lama di belakang lelaki tua yang sedang berjalan menjauh dari dermaga, kerumunan awan hitam datang bergemuruh menutup celah cahaya, awan - awan hitam itu beriringan dari kejauhan menampakkan diri bergantian tanpa putus menutup fajar yang hendak memberi tanda pagi datang.
Lautan dari barisan toko memang terlihat jelas jika tidak ada kapal yang bersandar di dermaga kota. Dan di sana tampak ombak perlahan kian mengganas menghantam tembok tinggi sebagai pembatas antara lautan dan dermaga. Atap toko yang terbuat dari terpal terombang - ambing bergoyang kesana kemari. Daun - daun pepohonan mulai bergerak tidak karuan, tidak sedikit yang lepas dari ranting pohon, terbang ke sisi langit yang masih bercahaya yang masih belum tertutup oleh hitamnya awan. Suasana badai mulai dirasakan lelaki tua ini. Langkah kecilnya berubah semakin cepat supaya dapat sampai di rumah sebelum hujan turun membasahi kota. Namun angin yang begitu kencang meniup awan dan dengan segera menutupi seluruh kota.
Tak perlu waktu lama hujan turun menghampiri seisi kota. Tanpa berpikir panjang, lelaki tua berlari menuju sisi belakang ke sebuah café berharap mencari tempat yang teduh sehingga terhindar dari hujan, tepat di sebelah sebuah tong sampah berwarna hijau. Meskipun ia sempat berteduh sesaat setelah hujan turun, seluruh pakaian yang ia kenakan basah di bagian punggung dan lengan. Memperlihatkan otot - otot yang sudah mulai hilang dari tubuhnya.
Café tempat lelaki tua berteduh terletak di sudut jalan yang kecil dan sempit, hanya selebar lengan manusia dewasa, sementara sebuah tong di sebelahnya saja sudah menutup setengah dari jalan itu.
Hidung lelaki tua yang setengah mancung bergoyang merasakan bau menyengat yang menghampiri.
Aroma wine, ini pun botolnya bisa kujual - batinnya sambil merogoh tutup tong sampah dengan tangan basahnya.
Tas daun yang besar berisi daging ikan itu masih sanggup untuk membawa beberapa botol itu - pikirnya.
Di teluk ini ketika hujan tiba, sudah biasa terjadi hujan deras disertai petir. Begitu juga hari ini, petir besar menyambar di langit kejauhan menyinari langit dan seisi kota yang secara tidak langsung memperlihatkan seisi tong sampah yang telah dibuka lelaki tua itu. Sesaat, kedua mata lelaki tua itu berhenti berkedip. Terperangah ia mendapati seorang bayi laki - laki yang baru lahir dengan tali pusar yang masih tersangkut di perutnya, tepat di balik tumpukan botol - botol minuman keras. Bayi itu terbungkus oleh daun berwarna hijau pekat, ia tak tau daun itu berasal dari tumbuhan apa.