NARA

Bahagia Mendunia
Chapter #6

BAB 6 PULANG

Most wanted sekolah meringankan beban kerjaku. Sejujurnya aku tak tahu siapakah dia. Apakah dia anak dari pemilik cafeshop ini?

Aku sangat berterimakasih padanya, sebab dialah aku tak kena Surat Peringatan. Dia tampan dan baik hati. Setiap ke cafeshop selalu memesan brownies dan jus alpukat.

Pukul sebelas malam, aku pulang ke rumah. Tak dijemput, aku pulang sendiri. Bersamaan dengan kelamnya malam ini.

Tiba-tiba aku berfikir, bagaimana jadinya jika aku meleburkan diri dalam kenyamanan ombak dan kelamnya malam. Apakah aku benar menjadi abu ataukah menjadi bagian dari mereka?

Didepan lorong sana adalah jalan menuju rumahku. Sangat kecil sekecil diriku.

Aku melangkah ke lorong itu, suasana lembab ini sudah familiar kurasakan. Aku seringkali terjerembab disini. Untung saja tak ada yang tahu. Jadi aku tak malu.

Didepan rumah aku menghela nafas terlebih dahulu. Sebelum aku benar-benar melangkah ke dalamnya.

Krieet, bunyi pintu selalu mendampingi kala aku sedang marah. Mungkin saat aku marah kabur adalah jalan satu-satunya untuk aku membiarkan mama meredakan emosi.

Ku lihat ruangan ini selama bertahun-tahun, tak ada yang berubah, bedanya, rumah ini agak kotor. Semua barang berserakan, kotoran dimana-mana, bahkan dalaman pun ada di ruang tamu.

Aku menghela nafas, sebelumnya, ini sudah biasa ku lihat, ibuku adalah seorang simpanan. Kalian tau bukan?

Tapi ini baru pertama kali ku lihat sebanyak ini. Seperti sengaja dibuang. Apakah mama mengamuk?

Dulu mama mengamuk secara brutal hanya karena aku lupa menyiapkan mama sarapan. Seharusnya tak semarah ini bukan? Toh hanya sarapan, biasanya saja mama sering beli makan dan go food, sekarang makan saja harus aku yang siapkan.

Aku menghela nafas pelan dan dalam seolah - olah tiada hari esok yang menanti. Aku lelah dengan semua ini. Setidaknya kalau memang mama marah, tidak perlu membuang semua barang seperti ini.

Aku banting tulang memenuhi kebutuhan mama. Mama hanya menghabiskan semuanya dalam sekejap. Dengan seenaknya saja ia merebut dan tak memberiku kesempatan untuk menghirup udara segar dunia ini.

Izinkanlah aku untuk menjadi anak seperti biasa, yang hanya bisa menghabiskan dan jajan sepuasnya tanpa memikirkan besok makan apa.

Izinkanlah aku untuk menjadi anak seperti biasa, yang hanya tau bulanan dari mama, bukan uang untuk mama sisa berapa.

Izinkanlah aku untuk tahu bahwa uang sekolah dibayar mama bukan aku.

Anak haram sepertiku memanglah terkutuk, namun tak ada yang berfikir aku terkutuk karena perbuatan siapa.

Air mataku menetes tak karuan, aku membereskan semua ini dengan dada yang sesak dan penuh dendam. Siapa yang tak sakit hati, bila rumah bersih, kini berserakan.

Lihat selengkapnya