Narakha

Ajensha
Chapter #8

°■7□•

Kumasukan satu tanganku ke dalam tas yang kupakai ke kampus. Kurogoh tas, mencari suatu benda. Benda itu. Sebuah kotak kecil berwarna merah itu. Kotak kenangan itu kini telah hilang. Apa mungkin aku lupa menaruhnya?????   

Aku baru saja ingat. Pasti kotak itu terbawa oleh Rakha. Tapi apa Rakha sudah menemukan kotak itu saat terjatuh ke danau??? aku harus pergi ke kampus sekarang juga. Aku tidak mau jika Rakha melihat benda di dalamnya. Aku harus segera berangkat ke kampus dan menemui Rakha secepatnya. Sebelum semuanya terlambat.

Berhubung aku sudah rapih, aku pun keluar dari kamarku. Kuturuni satu persatu anak tangga, berjalan menuju ruang makan yang hanya kudapati bunda sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. 

"Bun, ayah mana?" tanyaku seraya menarik satu kursi dan duduk di atasnya.

"Ayah sudah berangkat dari tadi, katanya ada meeting mendadak." Jawab bunda sembari mengolesi roti tawar dengan selai cokelat.

"Bunda Nara pamit berangkat ke kampus sekarang ya." Pamitku.

"Jangan terlalu buru-buru sayang, sarapan pagi dulu." Bunda menyodorkan dua roti dengan selai cokelat di atas piring sebagai wadah beserta segelas susu putih hangat.

"Bunda, Nara buru-buru." Pungkasku tetap bersikeras.

"Setidaknya kamu makan sedikit saja!!" Pinta bunda kepadaku.

"Iya bun.." Senyumnya merekah. Aku segera melahap roti dan meminum susu putih terburu-buru tanpa mendahuluinya dengan doa. Aku tersedak, terbatuk-batuk.

"Makannya pelan-pelan dan berdoa dulu sebelumnya, jadi tersedak kan." Nasihat bunda. Dengan cekatan bunda mengambil segelas air putih dan memberikannya kepadaku. Aku segera meminumnya.

"Makasih bunda." Ucapku setelah lega. Beranjak sambil membawa gelas yang sudah kosong dan menaruhnya di tempat pencucian piring.

"Kamu kenapa kok kelihatannya buru-buru banget?" tanya bunda. 

"Hari ini Nara akan menemui si pemarah."Jawabku jujur. Namun kulihat bunda kurang mengerti, lihat saja ia mengernyitkan kening karena keheranan. Oh ya, bunda tidak tahu siapa yang kusebut si pemarah itu.

"Eh maksudnya Rakha." Sambungku.

"Siapa dia?" tanya bunda. Bunda memang orang yang berkeingin tahuan tinggi mengenai siapa pun orang baru yang masuk ke dalam kehidupanku. Tuh apa kubilang, bundaku ini orangnya khawatiran.

"Dia bukan siapa-siapa Nara bun.."Jawabku.

"Yaudah. Saran dari bunda, kamu harus selalu berhati-hati kepada orang baru." Pesan bunda. Menurutku bunda benar juga, aku harus lebih berhati-hati kepada si pemarah walau di sisi lain aku merasa dia orang yang cukup baik.

"Iya bun, kalau gitu aku pamit, assalamualaikum." Salamku seraya mencium punggung tangan kanan bunda.

"Waalaikumsalam, hati-hati di jalan sayang." Aku segera berjalan keluar dari rumahku dan melewati halaman depan rumahku, berjalan cepat menuju pintu gerbang. Kututup kembali pintu gerbang itu saat aku sudah keluar melewatinya. Tak perlu tunggu lama lagi taksi pun datang dan aku segera masuk ke dalamnya.

Mobil taksi pun akhirnya melaju dengan kecepatan sedang, menerobos jalanan yang sepertinya akan mulai macet namun beruntung aku bisa sampai ke kampus tanpa merasakan kemacetan hari ini. Aku harus segera menemui si pemarah dan mengambil kotak kecil berwarna merah itu darinya.

Aku berjalan menuju kelasnya. Kuamati sekeliling kelas, namun tak juga kudapati sosok yang tengah kucari itu. Akhirnya aku bertanya kepada seorang cowok yang mengaku menjadi sahabat si pemarah saat itu.

Sekarang baru kutahu bahwa si pemarah tidak akan masuk kampus, katanya dia sedang sakit. Aku yakin pasti ini gara-gara aku, merasa bersalah juga jadinya. Katanya sih dia beristirahat di rumah saja. Sepertinya aku harus menjenguknya, ini semua juga pasti gara-gara aku. Aku juga harus cepat-cepat mengambil kotak itu darinya.

 Aku segera keluar dari gedung kampus dan segera menyetop taksi yang lewat. Taksi pun melaju membelah jalanan. Di tengah perjalanan, aku meminta pak sopir untuk segera memberhentikan mobil ini. Aku segera membeli beberapa buah-buahan dan satu bungkus bubur ayam. Lalu masuk kembali ke dalam mobil taksi. Melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti tadi.

Tidak terlalu lama aku pun sampai di rumahnya. Kutekan tombol bel di samping kiri pintu gerbang. Tak lama seorang wanita paruh baya dengan senyumnya yang manis membuka pintu gerbang. Dia itu namanya bi Ipah, pembantu di rumah ini. Rumahnya Rakha.

"Assalamualaikum." Ucapku.

"Waalaikumsalam." Balasnya.

"Eh neng cantik yang kemarin itu, temennya den Rakha kan." Lanjut bi Ipah mengulum senyuman.

Lihat selengkapnya