NARANDINI

Dzalabu
Chapter #7

Panggung Sandiwara

Perempuan itu baru dijemput keluarganya keluar dari rumah sakit “Jiwa Sehat” pasca menjalani serangkaian terapi dan pengobatan. Ia mengalami waham dan sejarah panjang kelabilan mental yang berulang secara periodik ketika isi kepalanya mengalami kelebihan beban muatan.

Sesungguhnya ia adalah seorang ibu yang memiliki seluruh kepribadian ibu yang luhur. Seorang ibu yang sangat dominan dengan sifat-sifat keibuannya. Perempuan lemah lembut yang sabar dan bertoleransi sosial sangat tinggi. Ia juga seorang ibu dengan keyakinan spiritualnya sering menjadi panutan ibu-ibu lain di sekitarnya.

Dulu, sebelum ia terjatuh ke dalam mental yang labil, ia seorang pelopor edukasi. Seorang pionir pembangunan sekolah terpadu dan perintis beberapa majelis taklim kaum ibu. Banyak amanah terpikul di pundaknya. Banyak kegiatan yang menguras pikiran dan tenaga. Banyak ide-ide yang harus digagas dan dikembangkan. Banyak keputusan penting yang harus dicarikan jalan keluar atau dieksekusi.

Kemudian ketika segala sesuatunya mulai berjalan, maka ia harus mempertahankannya agar tetap berjalan. Tak boleh terhenti. Tak boleh stagnasi. Tak boleh ada jeda. Seperti orbit yang terus beredar mengelilingi orbitanya untuk menyeimbangkan agar keadaan tetap terus stabil dan tidak mengalami keguncangan.

Namun segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia selalu ada batasannya. Tak boleh melampaui batasan itu. Tidak boleh dilanggar. Tak boleh ada kapasitas yang melebihinya. Sekali dua kali mungkin bisa ditoleransi, akan tetapi tidak untuk terus menerus. Jika itu terjadi, maka harus menanggung konsekuensinya. Harus merasakan akibatnya! 

Semula kegiatannya hanya sekedar untuk mengisi kesibukan. Untuk melupakan perasaan kehilangan yang mendera; kecintaan hatinya yang telah hilang tanpa jejak. Lenyap tak tentu rimbanya. Juga untuk mengisi kesepian dan kekosongannya setelah suaminya meninggal dunia. Tapi kegiatan pelarian itu kemudian berkembang pesat menggurita. Membesar tanpa cedera. Lalu, melembaga dan dinaungi sebuah yayasan.

Kini—setelah mengalami waham dan mentalnya sering tak stabil—Sang Maestro sementara tinggal di rumah orang tuanya—tidak boleh sendiri, harus ada yang menemani. Terkadang, dalam pemikirannya yang hakiki—yang muncul ketika ia sedang mengalami relaksasi—ia menyadari, bahwa keadaan kesehatan mentalnya dan kemerosotan olah pikirnya yang sering mengalami gangguan telah membuat seluruh daya kemampuannya melemah. Ia jeda sesaat untuk menerima konsekuensi, bahwasanya, ia sedang mengalami uzur. 

Saat ini seluruh rintisannya telah menjadi sekolah teladan favorit bagi orang tua yang ingin anaknya pandai, beriman dan berakhlak mulia, telah diserahkan penanganannya pada para profesional dan tangan-tangan ahli. 

Kini ia tinggal dalam sunyi hati sambil menghitung hari di usia yang masih terhitung jauh dari ambang senjanya. Dan, di hati kecilnya yang paling dalam, ia masih tetap merindukan buah hati yang takdir hidup dan matinya hingga sampai kini belum pasti.     

Perempuan itu bernama Safia Salimah. Ia populer dengan panggilan Bunda Safia.

Sore itu Bunda Safia sedang duduk di teras ketika keponakannya, Zulfikar, yang sering dipanggilnya; Fikar, menjenguknya. Ia pemuda dua puluh satu tahun. Tinggi semampai, langsing tubuhnya. Fikar bercirikan pemuda masa kini. Ia senang berpakaian kasual dan seadanya. Rambutnya seperti anti sampo, panjang sebahu diikat di bagian belakang. Celana panjangnya belel dan robek di dengkul. Dan ke mana pun ia pergi, sandal jepitnya tak pernah ketinggalan. Ia terkesan dengan gaya cuek, tak peduli, tak suka tata krama dan etika.

Bunda Safia terkejut atas kedatangan Zulfikar, namun ia berusaha menyembunyikannya. 

Assalamualaikum, sehat, Tante Fia?!” salam Fikar. Sopan.

Waalaikumussalam. Alhamdulillah. Fikar kapan kau—?!” Bunda Fia menggantung pertanyaannya. Ia menyadari, jika diteruskan keponakannya akan tersinggung.

“Maksud Tante Fia, Kapan Fikar keluar dari tahanan? Tepatnya tiga hari sesudah Tante Fia masuk rumah sakit.” Fikar memperjelas.

Bunda Safia cepat berpikir untuk berkilah. “Maksud Tante, bukan itu. Kapan Fikar tahu Tante sudah keluar dari rumah sakit!”

Fikar merasa menyesal. Ia salah persepsi. “Mama semalam yang bilang. O ya, maaf, Mama belum bisa datang, jenguk Tante.”

“Tante tahu. Lagi di Yogya, ‘kan? Semalam Tante ngobrol dengan Mama Fikar, lama sekali.”

Bunda Safia lalu memandang penuh kasih dan prihatin pada keponakannya. Ia masih ingat prahara yang menimpa keluarga Fikar. Yakni, sejak Mila Ayudia, kakak sulungnya menikah dengan Subarjo, pemuda asal Yogya. Kakek Fikar, Permadi, tak setuju sulungnya menikahi buruh pabrik yang miskin. Itu sama saja mengulang masa lalunya ketika Permadi muda ingin menikah. Ia buruh pabrik yang mengincar gadis anak pengusaha. Sayangnya misi menjadi menantu orang kaya tak kesampaian. Ia ditolak mentah-mentah oleh ayah si gadis yang tahu Permadi punya sifat serakah dan culas.

Permadi yang kemudian sukses sebagai pengusaha properti dan tuan tanah, curiga sulungnya dinikahi Subarjo hanya modus untuk menguasai kekayaannya. Permadi tak punya anak lelaki. Hanya dua, semua perempuan. Maka, cari menantu pun ia sangat hati-hati dan harus mengikuti kriterianya. Apalagi Subarjo tak bisa “mengambil hati” mertuanya yang memang mudah menjatuhkan prasangka buruk pada orang yang sudah terlanjur tak disukai. Dan, jeleknya tabiat Permadi—seperti kutukan turun temurun—kebenciannya itu dipelihara hingga berlanjut pada anak keturunan Subarjo.     

Zulfikar anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya, Adisti Mayangsari berusia 18 tahun. Dua kakak beradik itu anak dari Mila Ayudia. Ayah kandung Fikar, pensiunan pekerja pabrik. Kini jadi petani di Yogya.

Memandang Fikar, Bunda Safia jadi teringat buah hatinya yang telah hilang. Seandainya Ali Mufti masih ada, ia persis seusia Fikar. Dan, ia juga pasti sudah sebesar Fikar. Apakah ia tampan seperti Fikar? Ia tak mau meneruskan angannya, karena Ali Mufti tak senormal Zulfikar. 

Lihat selengkapnya