NARANDINI

Dzalabu
Chapter #11

Kilasan Fragmen

Nara sudah kembali mulai bekerja lagi. Tapi Andini merasa kurang nyaman tanpa ekstra pengawasan terhadap Nara. Ia melihat kalender. Ini hari Senin. Berarti masih delapan hari lagi Nara dijemput Bunda Ismi.

Setengah jam yang lalu, Bunda Ismi bicara via whatsApp dengan Andini, 

“Rumah dari Mbak Ajeng sudah sampai final finishing, Andin. Insya Allah Bunda akan jemput Nara hari Senin depan,” janji Bunda Ismi.

Dua hari yang lalu Bunda Ismi juga chatting dengan Andini, menanyakan keadaan Nara—sebetulnya hampir tiap ada kesempatan. Andini bersyukur, bahwa ketika Nara dijadikan sandera, kebetulan Bunda Ismi tak menelepon.

Saat ini Andini sedang kerepotan membenahi berkas-berkasnya. Padahal sudah tiga hari sejak kelas 4A—di mana Andini jadi wali kelasnya—pindah ruangan. Ruang lama direnovasi akibat dindingnya retak-retak karena fondasinya turun. Dibutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk memperbaikinya.         

Meskipun tinggal beberapa hari lagi, tapi demi ketenangan dan kenyamanannya, Andini minta bantuan ayahnya agar mengirim orang yang bisa menjaga Nara.

“Kukirim Santono, gimana, Andin?” tanya Pak Firman, menanggapi permintaan Andini.

“Boleh banget itu, Ayah!” Andini merasa senang ayahnya cepat merespons.

“Biar Santono menjaga Nara dua puluh empat jam!” Pak Firman menjanjikan.

“Ya enggak segitunya, Ayah. Kasihan Pak Santono. Biar nanti kalau Nara lagi kerja, Andin minta Pak Soleh ikut mengawasi.”

“Nah, itu Andin punya ide untuk meringankan kerja Santono!”

“Iya, Ayah. Dia mentornya Nara. Nara sudah akrab sama Pak Soleh.”

“O, ya, syukur dah. Nah, udahan dulu, Andin. Ayah mau kerja, ya? Satu jam lagi Santono sampai di tempatmu. Assalamualaikum!

Waalaikumussalam warahmatullah.” Kini Andini bisa bernafas lega.

Belum satu jam, Santono sudah menjumpai Andini. Setelah diberitahu tentang pekerjaannya, Andini memberi “kursus singkat” teknik pengenalan dan pendekatan kepada Nara supaya cepat akrab.

Maka saat itu juga Santono segera mulai menjalankan tugasnya.  

*

Sesungguhnya ada sesuatu yang sulit dimengerti dan dipahami, jika sudah bicara suatu keyakinan yang diyakini seseorang. Seperti Kakek Permadi. Ia seolah punya magnet kedekatan perasaan yang mengikat. Dan menganggap Ali Mufti sebuah maskot kejayaan. Itu pula yang membuat Kakek Permadi tetap optimis akan mengetahui nasib cucu kesayangannya. Meskipun ia telah melakukannya bertahun-tahun sejak ia tahu cucunya itu sengaja ditinggal di sebuah gubuk di pinggir kali. Ia tetap belum menyerah, meski hasilnya selalu nihil.

Lihat selengkapnya