NARANDINI

Dzalabu
Chapter #13

Tak Usah Iri Hati

Fikar datang ke rumah kakeknya di waktu yang kurang tepat. Kakeknya baru mau mulai terapi. Tapi Kakek Permadi memberikan kesempatan pada Fikar,

“Langsung saja ngomong kalau ada perlu. Tak usah basa-basi!”

Fikar sejenak ragu. Sampai ia mampu mengumpulkan keberanian. “Saya cuma mau tanya, apa saya juga cucunya Kakek?”

Kakek Permadi heran, tiba-tiba mendapat pertanyaan yang tak terduga. Maka hati-hati ia memilih jawaban. “Dari garis keturunan, ya, kamu cucuku. Tapi dari segi finansial, ada yang membedakan dengan cucuku yang lain.”

“Apakah Ferri juga Kakek anggap cucu? Bahkan dengan statusnya yang hanya cucu tiri itu?!”

“Ya, bahkan Kakek memperlakukan dia lebih spesial dari kamu! Ia sudah Kakek anggap seperti cucu sendiri!”

“Kenapa Kakek bisa memperlakukan Ferri begitu, sedangkan dengan Fikar tidak?”

“Karena Ferri bisa memberi apa yang Kakek butuhkan secara spiritual. Tidak bikin nama keluarga cemar! Jika kamu ingin jawaban kenapa Kakek tak bisa memperlakukan kamu seperti Ferri, tanyakan pada bapak dan ibumu!”

Hening sesaat. Kakek Permadi memandang tajam Fikar.

“Sekarang ganti Kakek yang tanya, kenapa kamu tanyakan itu pada Kakek?!”

“Fikar tak perlu menjawab!” jawab Fikar enteng. “Jawabannya sudah Kakek ucapkan sendiri. Tetapi Kakek tak mau menyadari, Kakek telah melakukan sebuah kesalahan!” Fikar segera pamit sebelum Kakeknya mengusirnya. “Fikar pamit, Kakek. Asalamualaikum!”

Dengan wajah bingung dan tak paham Kakek Permadi menjawab. “Waalaikum salam.”

Setelah kepergian Fikar, pikiran Kakek Permadi berputar-putar pada pertanyaan yang tak ditemukan jawabannya.

Kenapa Fikar bertanya begitu? Apakah ia iri dengan Ferri? Apakah doktrin orang tuanya yang melarangnya agar tak kagum pada dunia sudah mulai luntur?

Kakek Permadi mulai menduga; apakah Mila telah menyuruh anaknya untuk mendekatiku. Meminta apa yang menurut anggapannya sudah seharusnya menjadi haknya? Apakah kini hidupnya menderita? Apakah himpitan ekonomi telah mengubah keyakinannya?

Ia menyesal telah membuang ludahnya. Namun gengsi untuk menjilat lagi. Ia terlanjur menyumpahi anak sulungnya itu karena ia merasa harga dirinya sudah diremehkan. Hingga sampai sekarang pun ucapan sumpahnya itu masih diingatnya. 

“Jika kamu berani menikah dengan Subarjo, aku tak ‘kan pernah rela memberikan harta benda yang kupunya! Bukan hanya kepadamu, tapi juga pada anak keturunanmu! Kalau kamu berani menentang laranganku, aku tak lagi menganggapmu sebagai anak!”

Lihat selengkapnya