Narasi Senja

Alima Rose
Chapter #2

Tanda Tanya dan Merah Jingga

Kamu tahu, tanda tanya selalu menyelimuti tubuh manusia. Tapi tanda tanya bagi Kanchana seperti gudang di rumahnya. Menumpuk, berdebu, tak beraturan, dan ia biarkan lepas dari jangkauan. Sudah sekitar lima tahun berlalu, ia tak mau menjadi filsuf untuk dirinya sendiri. Menjadi filsuf baginya seperti tersesat di hutan belantara. Gelap, asing, menggigil seorang diri tanpa tahu apa obat pereda nyeri. Sampai tiba hari ini, ia harus masuk ke dalamnya, dan menemukan satu kantong masa lalu. Ia jadi bertanya-tanya, apakah harus menelusuri belantara lagi.

Kejadian itu tepatnya satu minggu yang lalu ketika mencari berkas-berkas penelitian. Ia mengira penelitian itu sudah usai, tapi ternyata ada riset lanjutan dan ia yang membawa berkas itu dari pusat studi untuk dipelajari lebih lanjut tapi lupa dimana meletakkannya. Ia memang begitu, selalu kehilangan barang-barang. Barang-barang itu lebih tepatnya terangkum rapi dalam gudang rumahnya. Setiap kali menemukan barang yang ia pikir tak akan berguna, segera ia museumkan di sana. Ia sama seperti manusia lainnya, menganggap gudang tempat yang sesuai. Gudang itu sendiri juga sebuah kamar kosong yang dialihfungsikan. Rumahnya terdiri dari tiga kamar, sedangkan ia hidup sendiri. Satu kamar untuk tidur, makan, dan semua aktivitas lain, sebagian besar ia lakukan di sana. Satu kamar lagi disulapnya jadi perpustakaan mini yang hanya dirinya sendiri boleh menjajaki. Ia selalu mengunci kamar itu rapat-rapat hingga Aradityan, kekasihnya pun tak boleh masuk.

Tapi definisi tak berguna miliknya, cukup berbeda. Saking tidak bergunanya sampai-sampai kali ini ia menemukan versi dirinya yang asing dan tak ada di kepala. Kanchana menemukan satu map plastik bening dengan kancing. Kancingnya seperti membungkam berkas-berkas di dalamnya dengan rapat, jadi ketika ia buka paksa, isinya berhamburan ke lantai. Sebuah dompet merah jingga menampakkan diri di antara dokumen-dokumen itu. Dompet milik siapa itu, batinnya. Ia segera membuka isinya. Hanya sebuah foto polaroid yang tersisa. Fotonya bersama seorang pria, yang baginya tak ada di kepala. Di foto itu, wajahnya tampak lebih muda dan lebih ceria, begitu juga dengan pria itu, seperti dua orang yang menjalani hidup rasa gula-gula. Keduanya mengenakan baju senada seperti pasangan, kaos putih dan celana sage.

Pernahkah kamu melihat potret dirimu sendiri tapi terasa asing dan berjarak? Seperti itulah yang ia pikirkan, sampai berpikir apa mungkin ia punya saudara kembar (tentu kenyataannya tidak). Bagaimana tidak, ia tak pernah mengenakan warna-warna mencolok. Semua baju, ornamen di rumahnya, hingga pernak-pernik lainnya didominasi warna hitam dan grayscale. Warna lainnya hanya putih, beige dan khaki. Warna-warna sage membuat Kanchana membayangkan seperti kisah cinta di dalam buku cerita. Sedangkan kisah cintanya saat ini seperti artikel Ilmiah, tersusun rapi mulai pendahuluan, metode hingga hasil dan konklusi.

Aradityan, kekasihnya yang biasa ia panggil Ara, sudah menyusun semua kepingan puzzle yang berserakan di kepalanya. Konklusinya jelas, mereka harus bersama untuk mewujudkan keteraturan yang sekarang menjadi misinya. Tapi bagaimana dengan perasaan, sungguh Kanchana tak berpikir sampai sana. Bukankah perasaan itu hal yang abstrak dan dibuat-buat, begitu responnya setiap kali Ara bertanya.

"Jadi kamu tak percaya cinta, Chan?" Tanya Ara dua hari yang lalu. Chana, panggilan Ara untuknya. Chana diam saja lalu menggelengkan kepala. Baginya, itu sebuah pertanyaan klise yang tak ia sangka keluar dari bibir Ara. Meskipun sudah lima tahun, tak ada ungkapan cinta dari keduanya.

"Bukan begitu, pernyataan orang-orang soal cinta sungguh dibuat-buat. Cinta itu kan hanya hormon saja. Kalau dibilang aku percaya, berarti aku membenarkan orang-orang yang berselingkuh karena hormon itu. Ya lakukan segalanya buat cinta. Seperti itu."

Lihat selengkapnya