Naraya And The Dream Who Save Her Life

Fauziyah Nur Aulia
Chapter #2

Satu

Aku menyingkap tirai perlahan-lahan. Tirai renda berwarna putih yang ujungnya menjuntai. Di luar sana, hujan deras masih saja turun. Manis rasanya, saat tetesan deras itu berubah menjadi rintikan. Jatuh menimpa semua yang ada di bawahnya.

Aku tak tahu bagaimana harus mendefinisikan rasa sepi kali ini. Rasa yang belum pernah kualami sebelumnya meski hampir seluruh hidupku hanya kujalani seadanya, dengan keluarga berantakan di rumah mungil kami yang terdapat bugenvil di sudut sebelah kiri halaman rumah ini.

Orang orang bilang, merawat bugenvil itu tidak baik. Karena bunga itu dilambangkan dengan mitos keretakan keluarga. Meski Ayah dan Ibuku tidak berpisah, tapi rasa begitu sepi menyergapku dari setiap sudut. Tak ada keharmonisan sama sekali dalam zona yang mereka sebut nyaman. 

Di belakang punggungku, suara-suara mulai ramai terdengar. Berbicara dalam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan, juga dengan volume cukup kencang. Aku tidak mengerti mengapa demikian. Delapan belas tahun hidup di rumah ini, hampir tak pernah telingaku mendengarnya berbicara dalam bahasa yang lebih pantas. Membuatku menjadi terbiasa mendengarnya setiap waktu.

"Naraya! Kamu mati!?" 

Aku mendengar teriakan kencang ayahku seiring bunyi kaki kursi yang menggeser lantai. Dalam jarak tak begitu jauh, meja makan persegi itu tampak sudah dipenuhi beberapa macam hidangan.

Kedua orang tuaku, duduk bersebelahan. Sejak usiaku menginjak tujuh belas tahun, aku ingin sekali bertanya mengapa mereka seperti ini, atau yang sedikit kasar, apakah aku bukan anak kandung mereka. Ah, sayangnya, aku hanya diam, agar suasana tidak semakin memburuk.

Lihat selengkapnya