Hari berganti hari, sudah dua minggu aku melibatkan diri mengikuti ujian sekolah. Aku teringat saat pagi mulai terang, sinar matahari pun tampak kemerahan di langit sebelah timur. Aku juga ingat saat daun dari pohon di atasku terjatuh menimpaku karena sang angin.
Aku tersenyum, bukankah kebahagiaan itu sederhana?
Rasanya seolah sedang merajut abjad dengan dekap untaian sunyi. Terbesit rasa dalam sukma. Bahkan, langkah kakiku terasa dalam remang-remang bisu.
Aku menatap kakiku yang berpijak di tanah. Setelah pertemuan kedua di dalam bus itu, aku bahkan nyaris tidak melihatnya berada di sekolah. Aku mulai bertanya-tanya di mana keberadaannya.
Karena dirinya, di pagi hari ini. Aku masih mempunyai harapan dan mimpi yang harus kuwujudkan. Karena dirinya juga aku masih melangkahkan kakiku untuk meraih impian terbesarku. Menjadi seorang penulis.
"Wah wah, kamu sebaiknya pergi, kamu tidak pantas ada di sini. Keberadaanmu hanya memperburuk pemandangan orang orang."
Aku menengadahkan kepalaku, menatap seseorang yang tega berbicara sekasar itu. Bukankah taman ini fasilitas umum? Lalu kenapa mereka menyuruhku pergi?
"Apa kamu tuli?!"
Lututku mulai bergetar saat mereka menghampiriku. Kepalaku menunduk.
"I-iya. aku akan pergi." Jawabku setelah menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol irama jantungku yang mulai berdetak kencang.
Aku berjalan mencari orang yang peduli, namun rasanya justru hanya membuat lelah luluh lantah. Sendirian bersama sepi itu menyakitkan, rasanya seolah menancapkan belati pada jiwa yang terdalam. Aku seperti jatuh ke dalam dasar lautan gelap gulita.
Hujan turun tidak mengenal ampun, begitu deras merebas. Aku termenung bersandar pada tiang tua. Mereka semua berlalu-lalang dengan tatapan kebenciannya kepadaku. Tangis menyusup lembut menyela bunyi deras hujan, sampai rasa pedih perih seakan-akan sudah tertanam abadi.
"Hari ini hujan deras. Tidak seharusnya kamu keluar saat cuaca seperti ini dengan pakaian tipis seperti itu."