Naraya And The Dream Who Save Her Life

Fauziyah Nur Aulia
Chapter #7

Enam

Kejadian hujan petang itu sudah cukup lama berlalu. Liburan sekolah sudah di mulai. Aku membuka jurnalku yang kuberi judul The Dream Who Save My Life. Aku mulai menulis segala asa dan rasa yang tak bisa ku ungkapkan di jurnal berwarna biru ini. Seolah-olah berharap suatu saat apa yang aku tuang menjadi kenyataan.

Aku menatap keluar jendela ruang tidurku. Langit yang sebelumnya berwarna hitam, kini telah berwarna putih biru

dengan awan berarak yang menghiasinya. Sinar mentari menerangi seluruh alam semesta dengan kehangatan dan kehidupan. Membangkitkan semangat baru bagi umat manusia untuk terus berkarya. Seperti aku yang memperjuangkan mimpi menjadi seorang penulis.

Hawa sejuk dari luar jendela berhembus menyergap masuk. Untuk sesaat kunikmati kesejukan itu sambil memejamkan mata. Hadirnya pagi yang cerah ini terasa menerbitkan harapan baru bagi insan yang dirundung keputus asaan dan kekecewaan. Aku menengadahkan kepalaku menatap pohon rindang yang terlihat menari karena tiupan angin yang baru saja melintas. Kuharap embusan angin dengan membawa sejuta kenyataan manis yang siap menanti hari berganti.

Aku mengambil segelas air di dapur. Sekilas aku memandang tiap sudut di sana. Tidak ada yang berubah walau sekarang usiaku delapan belas tahun. Rasanya ingatan manis tiba tiba melintas tanpa seizinku. Saat aku sedang menuang gula ke dalam adonan kue yang Ibu buat untuk merayakan ulang tahun pernikahannya dengan ayah. Bahkan saat aku tak sengaja melukai jariku dengan pisau. Kenangan sederhana yang terlalu manis untuk di lupakan. Aku tersenyum sambil meneguk segelas air dalam genggamanku, bertepatan dengan suara keras bersahutan di ruang depan.

Perlahan-lahan aku membalikkan tubuhku, berjalan dengan hati hati mengintip di celah kecil yang langsung tertuju dengan ruang depan. Aku melihat ibu dan ayah sedang memperdebatkan sesuatu. Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas karena suara-suara itu terdengar keras dan bersahutan.

Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku, menahan rasa takut akan mitos bugenvil yang orang orang bilang. Apa kali ini mitos itu akan menjadi kenyataan? Aku langsung berlari keluar rumah melalui pintu belakang. Rasa ngilu yang hebat menghantam jantungku berkali-kali, aku berlari tanpa arah, tanpa tujuan, bersama dengan air mata yang mengalir mengiringi langkahku.

Langkahku tiba tiba terhenti di hadapan pohon rindang dengan daun yang mulai berubah warna menjadi kuning satu persatu. Tanda awal musim gugur akan tiba. Namun hatiku semakin ribut, pikiranku justru semakin berkecamuk tak karuan. Aku terduduk lesu di bawahnya. Tak tahu harus menghentikan air mata ini dengan apa.

Sehelai daun jatuh di sebelahku. Aku tetap duduk di bangku ini. Menikmati pahitnya hidup yang sudah menyergapku dari segala arah. Hal pahit yang semakin bergemuruh dan tak pernah usai. Rasanya aku sudah runtuh dan akan terjatuh ke tanah. Jika dia tidak menepuk pundakku.

"Kenapa kamu lebih memilih menangis daripada menikmati musim gugur?"

Aku memandang lurus ke arah depan. Daun daun sudah mulai berganti warna kuning, seolah bersaing dengan kuning senja. Hari yang selalu ku harapkan baik baik saja berubah menjadi hari yang buruk. Lebih buruk dari kejadian remasan kertas dan Siska.

Lihat selengkapnya